Ruminah, pemilik Warung Ayam Geprek Bu Rum yang kondang di Jogja, konon adalah orang pertama yang menjual ayam geprek di Indonesia. Sebagai tulang punggung keluarga, Bu Rum menganggap menggeprek ayam sebagai jalan hidup yang penuh berkah dan syukur.
Di warung tenda warna merah selebar 18 x 2 meter itu, pembeli dan layanan makanan online silih berganti datang. Pembeli pun makin ramai jelang jam makan siang, kendati ketika itu, Kamis (15/4), adalah hari ketiga Ramadan.
“Ayamnya krispi, porsinya bisa ambil sendiri, dan yang paling penting murah,” kata Kevin Tirta, mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA, kepada Mojok. Sejak kuliah pada 2019, ia sudah kerap bolak balik ke warung itu.
Seorang pekerja bank, Eka Rahma, bahkan berlangganan sejak ia kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2008. “Dulu ke sini rame-rame sama teman-teman. Sekarang masih suka kangen. Krispi sama pedas ayamnya khas,” kata Eka.
Meski di ruas Jalan Wulung Lor, Papringan, Caturtunggal, Depok, Sleman, itu ada beberapa warung dengan menu serupa, para pembeli seakan mafhum: inilah warung ayam geprek Bu Rum, pionir kuliner ayam geprek.
Sejak ontran-ontran sebuah merek ayam geprek terkenal, ayam geprek Bu Rum kembali populer karena gelarnya sebagai warung ayam geprek pertama di Nusantara tak tergoyahkan. Gelar itu bersama foto Bu Rum muda—dengan muka datar dan rambut tergerai panjang—kini terpajang di warungnya itu.
“Kalau ayam penyet saya tidak tahu, tapi kalau namanya ‘ayam geprek’, mbok aku wani (aku berani), ini yang pertama di Indonesia,” ujar Bu Rum, panggilan Ruminah, 59 tahun, si empunya warung saat berbincang dengan Mojok.
Resep ayam geprek Bu Rum sebetulnya simpel saja. Beberapa butir cabai, potongan bawang putih, juga sejumput garam dan penyedap rasa diulek sampai halus di cobek terlebih dahulu. Sepotong ayam gorek tepung lantas ditumbuk—digeprek!—di atas bumbu itu.
Menu ayam dan sambal sebenarnya sudah banyak tersedia di pasaran. Namun, kebanyakan menu itu hanya menjadikan sambal sebagai pelengkap, sekadar dioleskan atau bertumpuk dengan ayam. Nah, ayam geprek menjadikan sambal sama pentingnya dengan si ayam. Keduanya lumat menyatu tak terpisahkan dalam satu kelezatan. Manunggaling ayam dan sambal!
Sejak 2003, menu ini disuguhkan warung Bu Rum dengan harga terjangkau karena kebanyakan pelanggan warung adalah mahasiswa. Saat ini seporsi ayam dan nasi cukup bayar Rp12 ribu. Aneka lauk dan sayuran pun tersedia, seperti menu siang itu, yakni sop, kari tahu, dan lodeh jipang, cuma Rp3.000. Warung ini buka dari jam 8 pagi sampai 8 malam, termasuk di bulan Ramadan.
Dirintis oleh ibu yang terdesak ekonomi
Warung ayam geprek ini menjadi bagian dari sejarah keluarga Bu Rum. Ia mewarisi warung itu dari ibunya, Ratiyem. Saat menikahi Mardi Utomo, warga Condongcatur, Ratiyem pindah dari desanya di Wonosari, Gunungkidul.
Ayah Bu Rum bekerja sebagai kuli bangunan. Rum sendiri tak tamat SD dan harus berpisah dengan adiknya yang diadopsi keluarga lain. Untuk menopang hidup, ibunda Bu Rum turun tangan mencari nafkah lewat cara yang telah jadi andalan kaum perempuan: berjualan makanan.
“Jualannya ibu saya waktu itu biasa saja. Nasi, sayur, soto, lotek, dan gorengan. Waktu itu namanya cuma ‘Warung Sederhana’,” kata perempuan kelahiran 12 Desember 1961 itu.
Rum sempat menikah dengan seorang koki hotel LPP Yogyakarta hingga dikaruniai empat anak. Setelah berpisah dengan sang suami, dan anak sulungnya kelas 4 SD, sekitar 1995-an Rum mulai serius ikut ibunya berjualan.
Sepeninggal kedua orang tuanya, tahun 2002 Bu Rum sepenuhnya mengelola Warung Sederhana. Selain meneruskan masakan ibunya, Rum menambahkan menu ayam kentaki dan khusus menyediakan gulai kambing tiap Rabu dan Sabtu.
Kebanyakan pembeli masakan Rum adalah mahasiswa. Suatu hari, seorang mahasiswa UGM langganannya, Andri, meminta dibuatkan sambal untuk melengkapi lauk ayam goreng. Tak cuma pesan makan, ucapan Andri juga menantang Bu Rum.
“Gawe (buat) ide apa, Bu. Jangan sama kayak yang lain. Penyetan dan pecel kan sudah banyak,” tutur Bu Rum mengenang ucapan si mahasiswa.
Saat itu, menu ayam dan sambal dikenal dengan ayam gejrot atau ayam ulek. Tapi, ya itu tadi, sambal cuma jadi pelengkap dan sensasi pedasnya kurang menyatu dengan gurih ayam. Ayam geprek olahan Bu Rum rupanya digemari hingga getok tular di kalangan mahasiswa, bahkan menyebar lewat SMS layaknya iklan.
Sejak itu, menu ayam geprek Bu Rum terus meraup pelanggan, hingga masuk lingkungan kampus. Sebelum ada layanan pesan antar seperti saat ini, Rum mengantar sendiri pesanan-pesanan ke kampus hingga 50-100 bungkus per hari.
Meski mulai banyak pesanan, Rum tetap membanderol harga masakannya sesuai kantong mahasiswa. Jika harga-harga naik, seperti ongkos ayam dan cabai saat ini, ia tak lantas mengerek harga.
“Harganya ajek. Keuntungan ya berkurang. Mau naikkan, nggak tega. Itu disyukuri saja. Berarti rezekinya memang segitu. Besok pas harga mudun (turun), kita dapat lebih,” tuturnya.
Rum punya prinsip hendak membantu mahasiswa sebagai perantau yang jauh dari orang tua. Dengan prinsip ini, Bu Rum juga tak memberlakukan tarif parkir di warungnya. “Istilahe aku nolong. Mesakke (kasihan), orang di perantauan kayak gitu. Semua kok diperhitungkan. Malah saya yang beban,” ujar dia.
Seiring larisnya, kini Bu Rum telah membuka 5 cabang warung. Selain warung pertama di Papringan, ia membuka warung di Lembah UGM, Resto PKL, di Jalan Moses Gatotkaca, di daerah Pringwulung tak jauh dari warung pertama, dan di rumahnya di Berbah yang dijaga suaminya, Pak Darmo.
Sejak awal usaha, Bu Rum mendapat bahan utama dari tetangganya yang pemasok ayam. Dalam sehari, setiap warung menghabiskan 40-50 kilogram ayam per hari. Bahkan gerai di dekat kampus UGM dan Universitas Sanata Dharma butuh 80-90 kilogram saat ramai-ramainya. Berapa kira-kira omzet rupiahnya? Bu Rum menjawab diplomatis: “Tidak mesti, karena juga melalui GoFood. Yang penting bisa belanja tiap hari.”
Semua ayam dan sayur dimasak di warung pertama oleh Bu Rum sendiri untuk didrop di warung cabang. Karena usia dan kondisi fisiknya, apalagi sejak dihinggapi asam urat dan kolesterol, Bu Rum tak selalu turun tangan di warung. Empat anaknya turut terlibat mengelola transaksi di cabang-cabang itu. “Biar adil diputar sekeluarga,” ucap Rum.
Sayangnya, seperti kebanyakan usaha kecil, warung ayam geprek Bu Rum turut digebuk pagebluk Covid-19. Kuliah libur, mahasiswa pulang kampung. Warung pun sepi. Pasokan ayam anjlok tinggal separuhnya. “Pandemi pengaruhnya besar. Cuma 5-10 porsi sehari ya gimana nggak tutup.”
Sejak buka 18 tahun silam, Rum tak pernah terpikir untuk mandek berjualan. Baru pada pandemi ini, warung utama dan gerai-gerainya tutup hingga tiga bulan. Hanya gerai di Lembah UGM yang buka karena pekerjanya berani ambil risiko. Di masa wabah pula, pekerja Bu Rum susut dari 10 menjadi tinggal 4 orang.
“Saya juga enggak maksa karena ini kondisi alam. Baru kali ini tutup lama. (Baru) setelah Lebaran (tahun lalu) sampai sekarang, warung buka lagi. Alhamdulillah, bisa lanjut terus dan bisa bertahan,” katanya.
Resep ayam geprek Bu Rum ada di tangan penguleknya
Kesuksesan ayam geprek Bu Rum melahirkan pengusaha ayam geprek lainnya. Mulai dari tetangga yang berjualan sembunyi-sembunyi, sampai mantan anak buah yang membuka warung dengan menu serupa. Namun Bu Rum menanggapinya enteng.
“Kabeh sing ngatur sing gawe urip (semua yang ngatur Sang Pencipta). Kerja itu jodoh. Kalau nggak fasih, ya nggak jadi. Alhamdulillah, rezeki masih diparingi (diberi) sampai sekarang, menghidupi keluarga dan mberkahi (berkah),” tuturnya.
Selama ini ia memang tak merahasiakan resep ayam gepreknya. Semua pembeli dapat melihat langsung “jurus” geprek ayam andalannya. Semua pekerja juga telah diajari supaya dapat meladeni pembeli secara bergantian. Kendati simpel, ia yakin hasil geprekan tiap orang berbeda.
“Istilahnya tanganan, nangani teko hati. Pakai perasaan. Saya nggak ada rahasia-rahasiaan.”
Namun, sepanjang riwayat membuat menu andalannya itu, Bu Rum merasa ayam geprek baru benar-benar mencuat saat muncul merek Preksu dan Geprek Bensu. Ia pun sadar akan pentingnya brand ayamnya sehingga telah mengurus pendaftaran merek beberapa tahun lalu. “Sudah bayar Rp3 juta, tapi sampai sekarang belum terbit.”
Toh, Bu Rum bersikukuh emoh menjalin kerja sama usaha dengan pihak lain, termasuk menjadikan ayam gepreknya sebagai waralaba. Padahal banyak pihak telah menawari, seperti pengusaha dari Jakarta dan Surabaya.
“Ada yang mau modali, tapi atas namanya aku. Hasilnya nanti dibagi. Aku ra dong (nggak ngerti). Aku ndak mau ada risikonya.”
Bu Rum merasa cukup dan tak henti mengucap syukur. Dari menggeprek ayam, ia menghidup keempat anaknya hingga memilliki “gubuk” dan “gerobak”—ungkapan orang Jawa untuk mobil dan rumah.
“Jaminannya ya kayak gini,” ucap Rum sambil melirik warungnya yang setahun ini telah bersalin dari terpal ke atap besi ringan.
Ia bercita-cita memiliki warung permanen di lahan sendiri dan mengembangkan warung di UGM. Maklum saja, warung utama yang menempel di belakang tembok Panti Asuhan Rekso Putra ini berdiri di lahan desa. Untuk usahanya, Rum mesti rutin menyumbang kas desa Rp100 ribu per bulan.
Rum juga menaruh harapan pada salah satu dari delapan cucunya, Aliyah, yang tengah menempuh studi SMK jurusan boga. Menurutnya, Aliyah mewarisi keterampilannya dan menyukai masak, bahkan menjadi food tester andalan neneknya. “Dia sering beli ayam geprek lain lalu laporan ke saya,” ucap Rum lalu tergelak.
Sejauh ini ia merasa bahagia saat melihat mahasiswa langganannya dulu mampir di warungnya saat liburan. Para mahasiswa itu sekarang sudah jadi “orang”. “Kalau bocah-bocah lawas itu datang, mereka pasti minta saya yang ngulek,” kata Rum lirih.
Kalau sudah begitu, Bu Rum tak akan menampik untuk melanjutkan aksinya. Ia akan segera menggenggam ulekan, menaburkan cabai dan bumbu, lalu, prekkkk! Prekkk! menggilasnya bersama ayam goreng tepung. Sebagai sang pelopor, Bu Rum agaknya yakin selagi sanggup ia tak akan pernah berhenti menggeprek ayam.
BACA JUGA Kisah Rumah yang Nyempil Sendirian di Halaman Hotel Hyatt Jogja dan liputan menarik lainnya.
[Sassy_Social_Share]