Pemerintah dan DPR menolak gugatan uji formil UU TNI. Pengamat hukum melihat ini menjadi bukti bahwa suara rakyat memang tidak dianggap. Pemerintah hanya mau memfasilitasi kepentingan kekuasaan.
***
Pemerintah, melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, menyebut bahwa penggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 (UU TNI) tidak memiliki legal standing.
Hal itu ia sampaikan dalam sidang pengujian formil UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (23/06/25) kemarin.
“Para pemohon perkara 81, yang merupakan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat, serta pemohon lainnya yang berprofesi sebagai mahasiswa, aktivis, ibu rumah tangga tidak memiliki pertautan langsung karena para pemohon bukan merupakan prajurit aktif dan bukan siswa kedinasan militer, serta tidak mendaftar sebagai calon prajurit Tentara Nasional Indonesia,” ucap Supratman saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam sidang uji materi UU TNI, Senin (23/06/25).
Lebih lanjut, Supratman menyebut bahwa para pemohon tidak berpotensi dirugikan dengan perluasan kewenangan militer di pos sipil. Sehingga, menurut dia, mereka tidak memiliki kepentingan atas materi yang termuat dalam UU TNI.
“Kedudukan para pemohon perkara 45, para pemohon perkara 56, para pemohon perkara 69, para pemohon perkara 75, para pemohon perkara 81 yang memiliki fiduciary duty tidak dapat dijadikan alasan adanya kerugian dan pertautan langsung dengan undang-undang a quo,” imbuhnya.
Kepada wartawan, Supratman juga menyebut bahwa legal standing mengharuskan penuntut memiliki kepentingan secara langsung yang terganggu.
Semua warga negara berhak atas uji materi UU TNI
Klaim pemerintah ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan UGM, Herlambang Perdana Wiratraman, menyebut bahwa semua warga negara Indonesia berhak mengajukan gugatan uji materi dan uji formil UU TNI.
Menurutnya, hal itu terjadi karena UU TNI sudah melegitimasi diri dengan memasuki ranah sipil secara berlebihan. Jabatan publik, yang seharusnya diisi sipil, justru bisa dimasuki TNI aktif.
Bagi Herlambang, UU ini memang keliru dan merusak negara hukum demokrasi. Sehingga, sudah seharusnya digugat.
“Warga negara Indonesia, warga sipil, termasuk mahasiswa, ibu rumah tangga, karyawan swasta, dan lain-lain, berhak atas upaya uji materi UU TNI,” ujarnya kepada Mojok, Rabu (25/6/2025).
Menurut dosen hukum UGM ini, ada kerugian konstitusional warga negara atau warga sipil akibat multifungsi TNI. Apalagi, proses pembentukannya sendiri—saat revisi—dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tertutup di hotel mewah.
“Tentu itu menyakiti warga sipil, karena semua warga negara membayar pajak. Ada prinsip partisipasi bermakna yang dilanggar dalam proses pembentukan UU TNI,” tegasnya.
“Seharusnya, MK tak perlu ragu menerima legal standing pemohon di uji materi MK ini.”
Bukti bahwa suara warga tak dianggap
Herlambang menambahkan, bahwa klaim pemerintah yang menolak gugatan uji formil UU TNI ini memperlihatkan setidaknya tiga hal. Pertama, pemerintah hendak menghalangi hak publik untuk mempersoalkan UU TNI.
Yang artinya, juga menghalangi partisipasi politik kewargaan dalam mekanisme konstitusional yang absah di republik ini.
Alasan “tidak memiliki pertautan langsung karena para pemohon bukan merupakan prajurit aktif dan bukan siswa kedinasan militer” sama sekali tidak masuk akal. Sebab, UU TNI bakal memengaruhi kehidupan sipil kedepannya.
Kedua, lanjut Herlambang, pemerintah selama ini memang tidak memiliki keberpihakan ke rakyatnya.
“Pemerintah lebih cenderung berpihak pada upaya memfasilitasi kepentingan ekonomi politik kekuasaan, bukan pada upaya perlindungan rakyatnya,” katanya.
Lebih lanjut, Herlambang juga menilai kalau pemerintah tidak mengikuti perkembangan hukum konstitusi yang telah maju, atau bisa jadi memang tak peduli perkembangan soal legal standing di MK.
“Protes publik yang meluas di tengah masyarakat, termasuk mahasiswa dan akademisi, merupakan cerminan publik keberatan atas upaya revisi UU TNI. Artinya memang ada kepentingan publik di sana,” ungkapnya.
Kesesatan pikir pemerintah
Pernyataan pemerintah yang menolak uji formil UU TNI, juga dianggap sebagai bentuk kesesatan pikir dan bentuk nyata ketidaktahuan konstitusional maupun kaidah yang berkembang terkait konstitusi publik.
Direktur LBH Jakarta yang menjadi salah satu pihak penggugat UU TNI, Muhammad Fadhil Alfathan, menilai bahwa argumentasi pemerintah dan DPR terkait gugatan yang dilayangkan masyarakat itu salah.
Pasalnya, uji formal terhadap UU TNI itu fokus pada minimnya partisipasi masyarakat dalam penyusunannya. Selain itu, masyarakat memiliki kepentingan yang erat dengan kerja-kerja TNI.
“Yang diuji adalah proses pembentukan nirpartisipasi publik dan tidak sesuai dengan tahapan maupun kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Dan itu bisa dilakukan oleh siapa saja, walaupun undang-undang hanya spesifik bicara terhadap satu ketentuan atau bicara spesifik dalam hal ini TNI,” ujarnya.
Fadhil beragumen bahwa MK sebelumnya telah mengakui partisipasi masyarakat dalam gugatan terhadap UU Cipta Kerja.
“Misalnya [UU] Cipta Kerja, MK mengakui masyarakat luas bukan hanya buruh, masyarakat yang bergerak di isu lingkungan dan lain sebagai punya hak. Tapi, masyarakat luas bisa [mengajukan uji formal], asal dalil relevan dan dapat dibuktikan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mencaci Maki UU TNI Tak Membatalkan Puasa, Marhaban ya Melawan! atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.