Ratusan aktivis 98 dan alumni berbagai kampus serta organisasi rakyat di Jogja berkumpul lagi untuk pertama kalinya setelah 27 tahun usia reformasi. Tidak hanya reuni, momen tersebut juga menjadi momen peluncuran buku “Mendongkel Kursi Sang Tiran”.
Reuni akbar sekaligus peluncuran buku berlangsung di Akademi Bahagia, Sleman, Jogja pada Jumat (305/5/2025).
Buku “Mendongkel Kursi Sang Tiran” ditulis oleh Sri Wahyuningsih dan Kiswondo. Buku ini menjadi catatan kilas balik tentang kiprah Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP) di masa reformasi.
KPRP sendiri merupakan komite aksi yang berbasis di UGM pada tahun 1998. Organisasi yang dikenal radikal ini dengan sadar memilih metode aksi massa dan bentrok untuk memperluas perlawanan terhadap rezim otoritarian Orde Baru.
Organisasi pertama di Jogja yang awali aksi mahasiswa mogok makan
Pada awal 1998 KPRP menjadi organ pertama yang mengawali aksi-aksi mahasiswa Jogja melalui aksi mogok makan untuk menentang rezim. Mereka juga mendirikan posko di fakultas filsafat UGM.
Komite aksi ini juga menjadi organisasi Gerakan Mahasiswa pertama yang dengan terbuka menolak penyelenggaran Sidang Umum MPR di bulan Maret 1998, yang hendak mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden.
KPRP kemudian membakar patung bergambar Soeharto di halaman Gedung Pusat UGM di tengah aksi ribuan orang pada saat MPR melantik kembali Soeharto sebagai Presiden.
Perjuangan merebut demokrasi belum selesai
Peluncuran buku diisi pemaparan oleh kedua penulis sekaligus penyerahan buku kepada beberapa tokoh alumni KPRP, antara lain Dhohir Farisi (Korlap aksi-aksi KPRP), Wibowo Arief, Titik Murtiningsih (Dekan Fakultas Filsafat UGM), Iwa Ikhwanudin (Jurnalis Jawa Pos), Bambang KR (Jurnalis Harian Kedaulatan Rakyat).

Peluncuran ini sekaligus menjadi ajang reuni bagi para aktivis KPRP yang sudah tersebar dan datang dari berbagai kota seperti Jakarta, Malang, Tangerang, Bekasi, Bali, Banjarmasin, Samarinda, Kupang, Manado. Bahkan beberapa alumni KPRP dari Swiss, Belanda, Belgia, Jerman, Amerika, Australia ikut menyapa melalui video.
Tampak hadir pula para aktivis KPRP seperti Haris Rusly Moti, Fendry Ponomban, Puthut EA, Jerry Borang, Lina Christine (UAJY), Irmawati, Samsul Joyobintoro, dan Tony Heru Sudigdo (UII). Tampak pula Nezar Patria, Wamenkomdigi, yang juga dikenal sebagai aktivis 98.

Mantan Sekjen KPRP Fendry Ponomban menyebut perjuangan rakyat dan mahasiswa merebut demokrasi di tahun 1998 sejatinya belum selesai.
“Kita baru berhasil menghapus regulasi yang tidak demokratis dengan pencabutan 5 Paket UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI. Demokrasi berhasil kita rebut, namun demokrasi harus terus dikawal, dijaga, dipupuk, dikembangkan, agar menjadi pondasi yang kuat bagi suatu bangsa. Demokrasi juga bisa mengalami kemunduran atau bahkan dibajak oleh kekuatan oligarki yang tidak berpihak kepada rakyat,” ujar alumni filsafat UGM ini.
Sementara itu, menurut mantan ketua KPRP Haris Rusly Moty, demokrasi politik sudah berjalan relatif baik, ditandai oleh pemilihan presiden dan pilkada langsung.
Namun, agenda demokrasi ekonomi dan pemerataan ekonomi masih menjadi agenda besar. Menurutnya, pemerintahan Presiden Prabowo memiliki momentum untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan ekonomi ini.
“Demokrasi politik harus segera diikuti oleh demokratisasi ekonomi. Rakyat harus memiliki akses kepada sumber daya ekonomi. Inilah agenda besar yang menjadi tantantangan ke depan. Demokrasi politik harus memiliki dampak terhadap ekonomi riil rakyat,” ujar alumni Sastra UGM ini.
BACA JUGA: Kesempatan Orang Biasa untuk Menulis Buku, Dobrak Standardisasi Kampus Khas Rezim Akademik atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan