Jokowi pernah menyampaikan bahwa ia rindu didemo. Menurutnya, pemerintah itu perlu dikontrol, salah satunya lewat demo. Dikontrol oleh rakyat tentu saja, bukan dikontrol partai. Rakyat, tambah Jokowi, perlu memperingatkan pemerintah jika melakukan kekeliruan. Dan ketika tidak ada rakyat yang demo, justru itu yang keliru.
Kerinduan yang menggugah itu disampaikan Jokowi dalam acara Indonesian Young Changemarker Summit (IYCS) di Gedung Merdeka, Bandung. Videonya pertama kali diunggah pada 18 Juli 2012, ketika Jokowi masih menjabat wali kota Solo, hanya beberapa bulan sebelum ia terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta.
Tampaknya kini rindu itu sudah pupus. Lihat saja demo yang digelar Jumat, 20 Oktober 2017 dalam rangka tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK. Jokowi tidak menampakkan dirinya di hadapan peserta demo yang terdiri dari mahasiswa perwakilan BEM se-Indonesia serta aktivis, buruh, dan nelayan.
Jokowi juga tidak memberikan makan dan minum (seperti yang ia ungkapkan beberapa tahun lalu) kepada mereka yang memulai aksi dari Monumen Patung Kuda dan melakukan long march hingga depan Istana Merdeka untuk menyampaikan evaluasi atas tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Demo kali ini menyorot pemerintahan yang dianggap buta terhadap kepentingan sosial, terutama rakyat kecil. Ketimpangan sosial terasa sangat tinggi. Pembangunan yang dilakukan condong kepada kepentingan asing dan masyarakat kelas menengah atas. Selain itu, peserta demo juga menuntut adanya keterbukaan hukum karena banyak pejabat dari partai koalisi yang dianggap kebal hukum. Salah satu contohnya adalah Setya Novanto.
Namun, apalah daya. Hingga larut malam Jokowi tak jua menyapa. Dengan sisa-sisa tenaga dan keyakinan dapat menyampaikan tuntutan langsung kepada Presiden, peserta demo bertahan hingga lewat pukul 22.00. Akhirnya, polisi membubarkan mereka dengan paksa dengan alasan, di peraturan demo hanya bisa dilakukan hingga pukul 18.00. Demo pun berakhir ricuh.
Akibat dari kericuhan tersebut, 14 mahasiswa ditangkap polisi dan dibawa ke Polda Metro Jaya. Mereka dianggap merusak fasilitas umum. Alih-alih angkutan umum atau kaca-kaca kantor yang dirusak, ternyata pot-pot jalan dan kawat milik polisi yang dijadikan dasar penangkapan para mahasiswa ini.
Dari 14 mahasiswa yang diamankan, 12 di antaranya telah dipulangkan. Dua lainnya menjalani pemeriksaan oleh penyidik dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Jika memang ada mahasiswa yang benar-benar merusak pot, ya memang mestinya dinasihati. Bagaimanapun pot adalah tempat tinggal tanaman yang juga makhluk hidup. Tapi, ngomong-ngomong, dari beberapa video yang beredar ada mahasiswa yang kepalanya berdarah-darah. Apa mereka merusak potnya pakai kepala ya?