Seni Mengajari Anak Melawan Body Shaming di Lingkungan Pertemanan - Mojok.co
  • Kirim Artikel
  • Terminal
Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Seni Mengajari Anak Melawan Body Shaming di Lingkungan Pertemanan

Ade Kumalasari oleh Ade Kumalasari
24 November 2018
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Body shaming pada anak bisa terjadi kapan saja. Jika anak tidak dibekali cara untuk melindungi dirinya sendiri, yang ada, justru dia merasa rendah diri.

Beberapa minggu terakhir ini saya dan suami saya, Nino, mendampingi anak kami, Ayesha (10 tahun) melawan perundungan yang dia terima di sekolahnya. Ini masalah laten sih, bukan cuma sekali ini saja dia jadi korban bullying, dan nggak cuma di sekolah yang sekarang saja.

Kami pindah dari Surabaya ke Frankfurt karena Nino mendapatkan hibah penelitian post-doctoral dari Yayasan Alexander von Humboldt. Di sini, dia bekerja sebagai peneliti institusi penelitian pendidikan di bawah Universitas Goethe. Kami senang ketika Ayesha dengan mudah diterima di Grundschule (setara Sekolah Dasar) di sini, tapi sekaligus juga cemas, apakah dia bisa diterima dengan baik oleh teman-temannya?

Perawakan Ayesha memang lebih kecil dari teman-teman sebayanya. Di Indonesia pun dia sudah paling kecil di kelas. Bisa dibayangkan kan, perbedaan fisiknya dengan anak-anak di Jerman sini. Kalau pemain sepak bolanya saja rata-rata dua meteran, ya, bisa diperkirakanlah anak SD di sini tingginya seberapa.

Suatu hari dia pulang sekolah sambil mewek. Dia cerita kalau ada temannya yang mengejeknya karena dia kecil. Reaksi pertama saya adalah ikutan mangkel. Ini kejadian byang pertama kali selama berada di sini. Haduh, udah di negara maju kok ya tetap ada beginian.

Baca Juga:

Toxic Parents Merasuki Orang Tua Asia, Stigma Negatif yang Jadi Guyonan di Medsos

Seandainya Semua Anak Perempuan Tahu Seberapa Besar Cinta Seorang Ayah

PTM Adalah Upaya Menambah Jumlah Anak Yatim Piatu di Indonesia

Ketika Ayesha sebut nama si tukang bully. Saya sampai kelepasan bilang, “Udah dikasih nama dengan arti bagus gitu kok kelakuannya jahat.’”

Kedengarannya wajar kan? Namun sedetik kemudian saya ingat catatan di buku The Danish Way of Parenting, yang saya terjemahkan—bagi yang belum baca, beli gih, celetukan saya tadi sudah termasuk menghakimi si pelaku bully. Ini tidak akan menyelesaikan masalah dan malah kesannya tidak apa-apa mengejek balik tukang bully. Padahal maksud saya sebenarnya hanya ingin agar Ayesha merasa lebih baik, bahwa dia sudah selalu berbuat baik, sesuai nama yang dia sandang.

Hari-hari berikutnya, saya selalu menanyakan perkembangan ‘kasus’ ini. Tapi Ayesha selalu bilang, “Nggak papa kok, nggak ada yang perlu dicemaskan.” Lalu suatu hari Ayesha pulang dengan membawa bendera Indonesia yang dibuat dari manik-manik. Ternyata M (sebut saja begitu ya) yang membuatkan bendera ini untuk Ayesha. “Kita berteman sekarang,” kata Ayesha. Saya menarik napas lega. Ah, anak-anak memang begitu, kemarin bertengkar, hari berikutnya sudah baikan.

Tapi kedamaian ini ternyata tidak berlangsung lama. Dua hari yang lalu Ayesha mewek dalam perjalanan ke sekolah. Kali ini yang dicurhatin Ayahnya. Katanya si M kumat lagi merundung, sampai Ayesha males masuk sekolah.

Nino, seperti biasanya, lebih rasional daripada saya. Setelah mendengarkan cerita Ayesha, dia menjelaskan bahwa apa yang dialami Ayesha adalah body shaming. Ini tidak hanya dialami oleh orang yang badannya kecil saja, tapi juga orang dengan bentuk badan yang lain.

Ayesha kaget, “Masak yang tubuhnya udah tinggi bisa kena body shaming juga?”

Nino menerangkan, semua yang dianggap ‘tidak normal’ bisa kena body shaming. Bisa karena terlalu pendek, terlalu tinggi, terlalu kriwil, hidung pesek, gigi tonggos, wajah penuh bintik, dan lain sebagainya.

Sesampai di rumah, saya juga cerita kalau saya dulu dirundung karena terlalu pendek dan terlalu putih. Ayesha tambah melongo, “Kok bisa?”

Nino menambahkan bahwa si perundung hanya ingin orang tersebut merasa malu pada tubuhnya. “Tapi kenapa?” tanya Ayesha. “Kok bisa, orang jadi jahat kayak gitu?” tambahnya.

Kemudian Ayesha menebak sendiri, “Mungkin di rumah, anak ini selalu diejek ya, jadinya di sekolah ngejek teman lain biar merasa lebih baik. Mungkin di rumah dimarah-marahi terus…”

Ayesha merasa mendingan setelah tahu dia tidak sendiri menjadi korban perundungan. Nino melanjutkan, “Apa kamu merasa malu kalau kamu nggak setinggi teman-temanmu?”

Ayesha sudah paham bahwa perawakan tubuhnya yang kecil bukan sesuatu yang seharusnya membuatnya malu. “Aku tahu harusya aku nggak perlu malu. Tapi aku tetep sedih pas dibilangin kayak gitu.” Nino berempati, “Iya, Ayah ngerti rasanya.”

Kami menekankan bahwa tidak ada yang salah dengan bentuk tubuh kita. Kalau pun ukurannya dianggap tidak normal, bukan sesuatu yang seharusnya membuat kita malu. Ini kami tekankan pada Ayesha, karena tahu bahwa perundungan ini mungkin akan terjadi lagi di masa depan.

Yang penting, Ayesha mengerti bahwa yang dilakukan perundung itu salah, dan seharusnya mereka yang merasa malu. Nino juga pernah tanya, kenapa kira-kira teman sekelasnya itu melakukan body shaming ke dia. “Mungkin dia iri karena kamu pintar di kelas?” Ayesha mengiyakan, “Bisa jadi.”

Lalu, Nino bilang, setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Nggak usah malu mengakui kekurangan, dan bersyukurlah pada kelebihan yang kita punyai.

Tidak ada rumusan baku untuk menghadapi perundungan seperti ini. Dan kasus seperti ini juga bukan yang akan langsung selesai dalam satu waktu. Ini langkah-langkah yang kami lakukan:

Pertama, dengarkan cerita anak. Sampaikan kalau Anda senang bahwa si anak mau bercerita pada Anda. Dengarkan sampai selesai, jangan ikut emosi duluan.

Kedua, berikan empati, jangan meremehkan. Kalau anak menangis, biarkan dia mengeluarkan emosinya. Jangan meremehkan, “Duh, cuma gitu aja nangis.” Pasalnya, sekali Anda meremehkan apa yang dirasakan anak, dia nggak akan cerita atau percaya lagi pada orang tuanya.

Ketiga, bantu anak untuk menguraikan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana menghadapinya. Beri dia sikap positif terhadap dirinya.

Keempat, kalau terjadi perundungan fisik atau perundungan verbal yang parah, dorong anak untuk membicarakan dengan gurunya.

Perkembangan terakhir, kemarin sepulang sekolah saya tanya ke Ayesha lagi. Dia bilang, “Biasa aja, Ma. Dia mau ngapain aja udah nggak penting buatku.”

Terakhir diperbarui pada 24 November 2018 oleh

Tags: anakBody Shamingparentingsekolah
Ade Kumalasari

Ade Kumalasari

Artikel Terkait

ilustrasi Toxic Parents Merasuki Orang Tua Asia, Stigma Negatif yang Jadi Guyonan di Medsos mojok.co

Toxic Parents Merasuki Orang Tua Asia, Stigma Negatif yang Jadi Guyonan di Medsos

29 November 2021

Seandainya Semua Anak Perempuan Tahu Seberapa Besar Cinta Seorang Ayah

31 Oktober 2021
PTM Adalah Upaya Menambah Jumlah Anak Yatim Piatu di Indonesia. MOJOK.CO

PTM Adalah Upaya Menambah Jumlah Anak Yatim Piatu di Indonesia

5 Oktober 2021
ilustrasi Krisdayanti Dikritik Netizen Bule Soal Baby Car Seat yang Kebanyakan Orang Indonesia Bodo Amat mojok.co

Krisdayanti Dikritik Netizen Bule soal Baby Car Seat yang Kebanyakan Orang Indonesia Bodo Amat

28 September 2021
Guru Honorer Sepuh Susah Kencing Berdiri, Kita Malah Tuntut Mereka Kencing Berlari MOJOK.CO

Guru Honorer Sepuh Susah Kencing Berdiri, Kita Malah Tuntut Mereka Kencing Berlari

20 September 2021
ilustrasi Jika Belum Paham Angkat Besi, Mending Nonton 'Weightlifting Fairy: Kim Bok-joo'. Nggak Usah Ngatain Nurul Akmal mojok.co

Jika Belum Paham Angkat Besi, Mending Nonton Weightlifting Fairy: Kim Bok-joo. Nggak Usah Ngatain Nurul Akmal

6 Agustus 2021
Pos Selanjutnya
jengkolan

Bagaimana Saya Kena Jengkolan, Merasakan Betapa Sakitnya, dan Bagaimana Saya Sembuh

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Tren Stiker WhatsApp Pakai Wajah Sendiri: Cara Menjadi Seleb yang Dimintai PAP

Seni Mengajari Anak Melawan Body Shaming di Lingkungan Pertemanan

24 November 2018
Horor Apartemen Tertua di Jogja yang Menghilang dari Ingatan MOJOK.CO

Horor Apartemen Tertua di Jogja yang Menghilang dari Ingatan

26 Mei 2022
Sinar Mandiri melaju di Pantura MOJOK.CO

Melintasi Pantura Bersama Roda Lusuh Bus Sinar Mandiri

21 Mei 2022
makam giriloyo mojok.co

Makam Giriloyo, Rumah Peristirahatan Terakhir Sultan Agung yang Dibatalkan

26 Mei 2022
Rumah milik Mbah Ngadiyo yang jadi tempat syuting KKN di Desa Penari

Cerita Sebenarnya di Rumah Tempat Syuting Film KKN di Desa Penari

25 Mei 2022
mie ayam om karman mojok.co

Mie Ayam Om Karman, Filosofi Meja Terisi, dan Semangat Perantau Wonogiri

22 Mei 2022
gelanggang mahasiswa ugm mojok.co

UGM akan Bangun GIK, Pengganti Gelanggang Mahasiswa

24 Mei 2022

Terbaru

Sungai Aare, Swiss untuk berenang

Orang Swiss Suka Hanyutkan Diri di Sungai pada Musim Panas

29 Mei 2022
buya syafii maarif mojok.co

Melepas Kepergian Buya

28 Mei 2022

Jokowi: Buya Syafii Maarif Sosok yang Menyuarakan Toleransi 

27 Mei 2022
Buya Syafii Maarif

Haedar Nashir Sempat Menemui, Buya Syafii Maarif Ditangani Tim Dokter Kepresidenan

27 Mei 2022
Indonesia Berduka, Buya Syafii Maarif Wafat Jelang Usia ke-87

Indonesia Berduka, Buya Syafii Maarif Wafat Jelang Usia ke-87

27 Mei 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Kilas
    • Susul
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In