Jeng! Jeng! Jika Hasil Quick Count Pilpres 2019 Ternyata Salah - Mojok.co
  • Kirim Artikel
  • Terminal
Mojok
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
No Result
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
Home Esai

Jeng! Jeng! Jika Hasil Quick Count Pilpres 2019 Ternyata Salah

Robertus Bellarminus Nagut oleh Robertus Bellarminus Nagut
21 April 2019
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Apa jadinya kalau semua lembaga yang melakukan quick count pilpres ternyata salah semua? Tentu saja semua di sini maksudnya yang punya Prabowo juga. Eh.

Hitung cepat di Indonesia tahun ini memang bikin masalah. Dua kubu di perhelatan Pilpres kita, sama-sama tidak percaya.

Melihat hasil yang diumumkan oleh beberapa lembaga penyelenggara quick count, kubu 01 yang diumumkan sebagai pemenang (versi hitung cepat) sempat memilih diam. Katanya, mau menunggu pengumuman resmi KPU saja.

Ini seperti sikap pencari cinta WA-nya dibalas gebetan tetapi tidak buru-buru di-read. Tunggu setengah jam, biar tidak lekas centang biru. Karena kalau terlalu cepat di-read, akan dianggap sedang sangat menunggu penuh harap. Gengsi, Kakak.

Kita tahan-tahan saja kegembiraan ini. Sambil berdoa. Semoga rindu ini tidak menampar angin. Cie cieee… akhirnya tetep pengumuman juga. Kagak tahaan, Baaaang.

Baca Juga:

Klaim Abal-abal Program Kartu Prakerja ala Menteri Airlangga

Dahsyatnya Nasida Ria hingga Koalisi Prabowo-Cak Imin

Jokowi: Subsidi Energi Setara dengan Biaya Pembangunan Ibu Kota Baru

Kubu nomor 02 juga tidak percaya. Mereka memang tidak memilih mendiamkannya, tetapi menyerukan agar semua orang mematikan televisi mereka, biar tidak bisa lihat pengumuman quick count.

Sayang sekali, mereka tidak menyerukan agar kita semua sebaiknya mematikan akun-akun media sosial, tidak dengar radio, dan berhenti baca koran. Karena, bahkan jika kita berlari ke hutan sekarang ini, kita mungkin akan tetap bertemu dengan data-data quick count itu, yang barangkali diteriakkan Dian Sastro yang sedang berlari dari AADC.

Apakah dengan mematikan televisi maka angka quick count akan berubah dan Nicholas Saputra nggak jadi selfie di feed Instagramnya?

Harusnya sih, quick count Pilpres tahun ini dapat dipercaya. Tanpa alasan-alasan politis. Quick count yang menggunakan metodologi yang tepat memang biasanya menampilkan hasil yang benar.

Toh lembaga-lembaga penyelenggara hitung cepat pada Pilpres kali ini telah terbukti kebenaran “prediksi”-nya saat melakukan hal serupa pada Pilpres 2014 silam, pada berbagai Pilgub—termasuk Pilgub DKI yang panas itu. Hasilnya tidak beda jauh dengan peghitungan resmi KPU sebagai penyelenggara Pemilu.

Tetapi tentu terbuka juga peluang bahwa terjadi kekeliruan yang masif pada tahun ini. Misalkan, ternyata responden yang ditemui lembaga-lembaga quick count itu sepakat berbohong, atau tim kerja mereka dari berbagai titik survei sepakat mengirimkan data atau foto penghitungan yang salah. Bisa saja. Artinya, lembaga quick count masih bisa salah.

Jika benar demikian, untuk kesalahan yang tidak diperkirakan itu, tiga hal yang harus segera dilakukan oleh para penyelenggara hitung yang melaporkan hasil yang keliru itu.

Pertama, meminta maaf secara terbuka

Ini penting. Meski tampaknya masih sulit menjadi budaya kita, tetapi sebagai kelompok intelektual yang menjunjung tinggi kebenaran ilmiah, bolehlah kalau kekeliruan hitung cepat itu diselesaikan dengan permintaan maaf.

Siapa tahu, nanti akan melahirkan permintaan maaf lainnya dari pihak-pihak lain.

Misalnya yang dulu menghilangkan orang secara paksa, atau yang menyerang kelompok minoritas, atau yang meninggalkan kekasihnya di pelaminan, atau yang belum membayar gaji karyawannya, atau yang mengaku memerangi korupsi tetapi berkoalisi dengan penguasa hutan, atau ke gereja untuk misa paskah dengan menggandeng pacar orang lain. Semua minta maaf. Kan asyik. Persis suasana hari raya. Damai nian.

Maksudnya, selain menunjukkan kesadaran atas kekeliruan sampling-nya, lembaga penyelenggara quick count juga mengganti tugas para pengkotbah, yang berapi-api menyuarakan cinta kasih tapi juga memprovokasi umatnya agar membenci kelompok lain, dengan contoh perbuatan.

Ya. Begitu. Barangkali memang bukan budaya kita. Tapi harus dilakukan. Minta maaf lah. Secara ksatria. Bila perlu, lebih ksatria dari ksatria itu sendiri.

Tidak apa-apa jika itu bukan budaya kita. Toh asal tuduh juga bukan budaya kita. Tetapi kita lakukan juga. Hiks… Lagipula, kalau akademisi tidak mulai belajar meminta maaf secara terbuka atas kekeliruan metodologi penelitiannya, bagaimana kita berharap orang lain seperti pemegang kekuasaan bisa belajar meminta maaf?

Orang-orang pintar saja tidak tahu minta maaf, mengapa kami harus pintar kalau begitu? Cuma biar bisa sembuh dari masuk angin?

Kedua, sekolah lagi

Ini penting sekali. Para penyelenggara hitung cepat yang ternyata menampilkan hasil yang salah harus sekolah lagi. Belajar statistik dan ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan.

Statistik jelas penting dan menjadi em-ka-de-u alias mata kuliah dasar umum. Harus dipelajari lagi. Dengan sungguh-sungguh. Diulang lagi jika masih dapat nilai C. Sogok dosen jika kali berikut masih C juga. Eh?

Tetapi belajar lagi ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan juga penting. Agar tahu, tipe masyarakat mana yang percaya pada kaidah-kaidah ilmiah, dan masyarakat mana yang percaya ramalan dukun.

Untuk kelompok kedua ini, kalian akan tahu bahwa mereka tidak perlu mengumumkan hasil penghitungan cepat yang mematuhi kaidah ilmiah dan akurat. Umumkan saja yang sesuai dengan harapan mereka.

Seperti satu lembaga yang tahun 2014 silam itu lakukan. Masih ingat, tidak? Setelah mereka melakukan kekeliruan, lalu menghilang. Toh nanti masih bisa bentuk lembaga lain.

Atau, jual saja hasil survey bo’ong-bo’ongan itu kepada pihak yang pasti akan merasa senang, lalu nikmati hasil jualannya dengan cerah ceria. Pastikan harganya cukup untuk hidup lima tahun ke depan.

Ketiga, pindah ke Antartika

Yup. Sastrawan dan sosiolog Denny JA dan lembaganya, tim litbang Kompas, IndoBarometer, dan lain-lain, harus segera pindah ke Antartika. Yang bikin polling di facebook juga siap-siap angkat kaki.

Berhubung Antartika itu dingin, siapkan selimut tebal, topi hangat, dan ikan-ikan tropis. Konsultasikan dengan Ibu Susi tentang jenis ikan yang cocok dibawa serta.

Ikan-ikan itu bukan untuk kalian. Ikan-ikan dari negeri gemah ripah loh jinawi ini adalah oleh-oleh yang harus dibawa agar segera mendapat kawan baru setibanya di kutub selatan itu.

Para penguin sebagai tuan rumah tentu perlu Anda sogok. Suguhi ikan-ikan sebagai hidangan pertemanan dari bangsa yang jales veva jaya mahe ini.

Nah, jika beruntung, barangkali akan diajak ke pesta dansa. Untuk itu, siapkan tuxedo juga di koper kalian. Kemejanya harus warna putih, dasinya harus kupu-kupu. Warna hitam. Tuxedo sama dasi kupu-kupunya. Biar lebih mudah berbaur dengan pribumi antartika.

Jangan pakai tenun ikat. Karena itu bukan budaya mereka. Budaya Antartika adalah busana hitam putih, dan budaya antarkita adalah mengusir orang-orang yang tidak sepaham—kita anggap kelompok itu sebagai komunitas tak menyenangkan.

Namun, jika ternyata yang benar justru quick count, maka yang menuduh bahwa hitung cepat itu salah (baca: melakukan perbuatan tidak menyenangkan karena meragukan kaidah-kaidah ilmiah), juga seharusnya pindah ke Antartika secara sukarela.

Persiapannya praktis sama. Tambahkan juga selimut tebal dan album lama Rida Sita Dewi yang ada lagu Antara Kita di dalamnya. Biar identitas Keindonesiaan tetap ada.

Album lain juga boleh. Lagu Peter Pan yang dengar larakuuuu, suara hatikuuuu memanggil namamuuuu, atau Berhenti Berharap-nya Sheila on 7.

Pokoknya asal ada bekal asli Indonesia, biar tidak senasib dengan saudara-saudara kita yang kehilangan tanah air di zaman ’66 itu.

Kalau Antartika terlalu jauh dan tuxedo bukan budaya kita, mungkin perlu segera menelepon bapak bijak berjenggot yang takut pulang ke Indonesia itu. Siapa tahu masih ada tempat di sana. Setibanya di sana, jangan lupa sujud syukur. Biar lebih afdol.

Terakhir diperbarui pada 21 April 2019 oleh

Tags: AntartikajokowipilpresprabowoQuick Count
Robertus Bellarminus Nagut

Robertus Bellarminus Nagut

Artikel Terkait

Klaim Abal-abal Program Kartu Prakerja ala Menteri Airlangga MOJOK.CO

Klaim Abal-abal Program Kartu Prakerja ala Menteri Airlangga

23 Juni 2022
Dahsyatnya Nasida Ria hingga Koalisi Prabowo-Cak Imin

Dahsyatnya Nasida Ria hingga Koalisi Prabowo-Cak Imin

22 Juni 2022
subsidi energi mojok.co

Jokowi: Subsidi Energi Setara dengan Biaya Pembangunan Ibu Kota Baru

21 Juni 2022
Politisi diangkat Jokowi jadi menteri

Perbanyak Politisi di Kabinet, Jokowi Dianggap Ingin Lebarkan Pengaruh Politik

17 Juni 2022
Pengamat politik UGM, Mada Sukmajati, Jokowi

Reshuffle Ketujuh Kalinya, Pengamat Politik Sebut Jokowi Amankan IKN

16 Juni 2022
jokowi mojok.co

Jokowi Kesal Banyak Produk Impor dalam Belanja Pemerintah Pusat-Daerah

14 Juni 2022
Pos Selanjutnya
5 Alternatif Alas Tidur Nyaman Anti Bocor Saat Menstruasi

5 Alternatif Alas Tidur Nyaman Anti Bocor Saat Menstruasi

Komentar post

Terpopuler Sepekan

Jeng! Jeng! Jika Hasil Quick Count Pilpres 2019 Ternyata Salah

Jeng! Jeng! Jika Hasil Quick Count Pilpres 2019 Ternyata Salah

21 April 2019
warung kopi mbah kuwot mojok.co

Kisah Mbah Kuwot Selamat dari Romusha dan Buka Warung Kopi Legendaris di Trenggalek

19 Juni 2022
Universitas Sanata Dharma

Bakso Dab Supri Sanata Dharma yang Mencatat Kisah-kisah Mahasiswa 

18 Juni 2022
Teror Pulung Gantung: Air Mata dan Seutas Tali Pati di Pohon Jati MOJOK.CO

Teror Pulung Gantung: Air Mata dan Seutas Tali Pati di Pohon Jati

23 Juni 2022
UTBK bocor di jogja

Viral di Sosmed, UTBK di UPN “Veteran” Yogyakarta Bocor, Pelaku Ditangkap

20 Juni 2022
Bank Plecit Menyaru Bank BUMN: Agen Rahasia Utang Ibu Rumah Tangga di Desa MOJOK.CO

Bank Plecit Menyaru Bank BUMN: Agen Rahasia Utang Ibu Rumah Tangga di Desa

20 Juni 2022
baskara aji mojok.co

Soal Jam Malam, Sultan Minta Menyeluruh di Jogja

24 Juni 2022

Terbaru

Kasman Singodimedjo tagih janji ke Sukarno sial Piagam jakarta

Kasman Singodimedjo, Menagih Janji 7 Kata Piagam Jakarta pada Sukarno

26 Juni 2022
Garuda Pancasila, Sudharnoto

9 Fakta Pencipta Lagu Garuda Pancasila yang Tersingkir dari Sejarah

26 Juni 2022
Makan Bersama di Tepikota, kuliner jawa timur di Yogyakarta

Minggu Bersama di Tepikota, Menikmati Kuliner Jawa Timur di Jogja

25 Juni 2022
Pentingnya ganti oli mesin mobil

5 Alasan Ganti Oli Mesin Perlu Dilakukan Berkala

25 Juni 2022
hasil pertandingan piala presiden PSS Sleman PSIS Semarang

Takluk dari PSIS Semarang, PSS Sleman Harus Menang di Laga Terakhir Grup A Piala Presiden

24 Juni 2022

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
DMCA.com Protection Status

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

No Result
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Podcast
  • Mau Kirim Artikel?
  • Kunjungi Terminal

© 2022 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In