MOJOK.CO – Cibubur adalah anomali. Bahkan kadang daerah ini disebut mengalami krisis identitas. Di mana posisinya adalah pembangunan Jakarta?
Para rekan kerja sering sekali mengasihani saya yang tinggal di kota satelit suburban. Apalagi ketika kami mempunyai janji untuk ketemu di Jakarta.
Lantas, sebuah pertanyaan mengikuti pernyataan di atas: “Jauh banget! Naik apa ke sini?”
Itu adalah respons default setiap saya mengungkap di mana saya tinggal saat ini. Selanjutnya, interogasi umum mengenai apa, siapa, di mana Cibubur sebenarnya mengikuti pertanyaan basa-basi tadi. Saya selalu menjawab dengan kalimat pembuka, “Nah itu dia, saya juga bingung!”
Meski bukan hal baru, pertanyaan bertubi mengenai Cibubur ini benar-benar menjengkelkan. Bukan saja pendatang seperti saya tidak memiliki cukup pengetahuan geografis dan administratif terhadap klaim wilayah Cibubur, saya juga harus berhadapan dengan stereotip “kaya raya” karena mengaku tinggal di kawasan elite.
Padahal, sebagai anak rantau dari keluarga menengah, tinggal di rumah keluarga saudara bisa menjadi pilihan yang lebih murah. Terutama ketika kita membandingkannya dengan ngekos di tengah Jakarta yang sepetaknya bisa Rp1,5 juta.
Kadang saya ingin bohong saja. Misalnya dengan bilang bahwa rumah saya di Jatiasih atau Depok sekalian. Tapi, saya adalah pembohong yang payah dalam sesi tanya-jawab basa-basi seperti ini.
Hal ini yang akhirnya mendorong saya melakukan riset singkat. Ini menjadi semacam sebagai amunisi untuk jawaban dari pertanyaan lanjutan tentang Cibubur, yang mungkin akan membuat “non-cibuburian” akan berhenti tanya-tanya saya hari-hari ke depan.
Anomali nama “Cibubur”
Sebagai wilayah, Cibubur memang aneh. Secara faktual, Cibubur sebenarnya hanyalah nama kelurahan yang ada di Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Luasnya tidak lebih dari 289 hektare.
Namun, wilayah yang kini dikenal sebagai “Kawasan Cibubur” pada akhirnya mencakup 4 kabupaten/kota sekaligus; Jakarta, Depok, Bekasi, dan Bogor. Total area pengembangan mencapai lebih dari 3.000 hektare.
Pencatutan nama “Cibubur”, dari yang awalnya hanyalah kelurahan menjadi 10 kali lipat lebih besar, tidak lepas dari peran pengembang swasta yang secara eksploitatif menggunakan nama Cibubur untuk menjajakan hunian di sekitar Jalan Raya Transyogi (atau sekitar-sekitarnya lagi). Dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun, kompleks di sana tumbuh pesat menjadi kota-kota satelit yang mandiri.
Ambillah contoh satu mega kompleks bernama Kota Wisata Cibubur. Kawasan ini secara administratif sebenarnya masuk ke wilayah Kelurahan Ciangsana, Kabupaten Bogor. Kota Wisata ini telah menjadi primadona perumahan premium sejak 1997.
Untuk kawasan seluas 700 hektare, kompleks ini memiliki 45 kluster yang dimanjakan dengan ratusan pilihan restoran, layanan olahraga, mall, rumah sakit, bahkan sekolah dan rumah ibadah lengkap. Meski telah 29 tahun berdiri, pembangunan masih terus berjalan hingga hari ini.
Kamu bisa melihat secara langsung lewat banyaknya kompleks ruko, pusat perbelanjaan, dan akses tol Nagrak yang berdiri tepat di bibir terluar kompleks. Tak tanggung-tanggung, perumahan ini menawarkan kelengkapan dan aksesibilitas, yang membuat nilai jualnya mencapai Rp1,6 miliar sampai Rp5 miliar untuk setiap unitnya.
Fenomena ini tentu tidak terjadi di Kota Wisata saja. Kompleks-kompleks besar lainnya seperti Legenda Wisata, Cibubur Country, dan Raffles Hill Cibubur menerapkan hal yang sama. Setiap kompleks berlomba-lomba menyediakan fasilitas paling baik dan lengkap sebagai bagian dari strategi pemasaran.
Namun, mengapa pembangunan residensial elite berkembang biak bak jamur musim hujan di Cibubur. Padahal ini wilayah pinggiran yang notabene jauh dari pusat ekonomi dan pemerintahan Jakarta?
Baca halaman selanjutnya: Posisi Cibubur yang aneh di tengah pembangunan Jakarta.