MOJOK.CO – Bau amis sudah menguar begitu tajam dari balik tabir kebusukan Bartomeu. Puncaknya, ketika Lionel Messi sudah tidak kerasan di rumah bernama Barcelona.
Titi mangsa 1930/1931, Barcelona mencatatkan rekor kekalahan terburuk. Mereka kalah dengan skor 12-1 dari Athletic Bilbao di kompetisi La Liga. Musim 1940/1941, di ajang yang sama, Blaugrana kalah 11-1 dari Sevilla. Jika bicara angka delapan, pada musim 1945/1946, untuk kali pertama, Barcelona kalah dengan skor 8-0 dari Sevilla.
Dua kekalahan di atas memang sangat memalukan. Namun, skor yang terjadi hanya sebatas “skor di sebuah pertandingan”. Tidak ada dampak yang dirasakan Barcelona selain rasa malu. Titi mangsa 2019/2020, mereka kembali kalah dengan skor besar, 8-2, dari Bayern, di Liga Champions. Kali ini, bukan hanya rasa malu yang dipetik Barcelona.
Kekalahan 8-2 menyingkap banyak hal. Membantu bau amis yang menguar dari balik tabir tercium lebih luas. Sid Lowe, jurnalis The Guardian, selepas malam yang muram di Portugal itu menulis begini: “Sudah tidak ada rasa percaya di antara jajaran manajemen dan ruang ganti pemain. Bagaimana cara mereka untuk memperbaiki diri?”
Sid Lowe tidak memberi jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan sendiri. Namun, kita tahu kalau pertanyaan yang dia sematkan di bagian judul adalah pertanyaan retoris. Jawabannya sudah mengambang di udara dan kita semua sepakat, fans Barcelona terutama, bahwa Presiden, Josep Maria Bartomeu, harus lengser.
Barcelona dirusak Bartomeu
Skuat Barcelona saat ini adalah wujud kegagalan manajemen merancang sebuah pasukan. Tidak ada imajinasi, tidak ada kejujuran, tidak ada determinasi. Yang ada adalah pameran rasa dengki dari Bartomeu yang dialamatkan kepada beberapa sosok penting. Mulai dari mantan presiden, mantan pemain, mantan pelatih, hingga Lionel Messi.
Ketika Neymar hengkang pada 2017, Barcelona kehilangan banyak hal. Dana 222 juta euro dari penjualan Neymar gagal diwujudkan ke dalam pembelian pemain yang baik. Setelah 29 pemain baru, Blaugrana tidak berjalan maju. Mereka justru memicu detak bom waktu ketika Bartomeu tidak punya imajinasi. Hal kedua yang hilang adalah proses suksesi Lionel Messi, yang direncanakan dalam diri Neymar.
“Saya rasa, manajemen tidak pernah serius, tidak menggunakan semua daya untuk membeli Neymar kembali,” suatu kali Lionel Messi angkat bicara. Klub ini memang gagal mencari jawaban atas kepergian Neymar. Berbagai pembelian tidak perlu, termasuk usaha membeli kembali Neymar, gagal dilakukan.
Mereka tidak punya uang, atau mungkin lebih tepatnya, membuat diri sendiri “bangkrut” dengan berbagai perjudian. Berbagai perjudian dalam diri Ousmane Dembele, Philippe Coutinho, hingga Antoine Griezmann. Hingga pada suatu titik di mana Barcelona ingin membeli kembali Neymar.
Sayang, Barcelona tidak bisa melakukannya. Saat ini, mereka adalah klub dengan beban gaji terbesar di muka bumi ini. Yang bisa mereka lakukan adalah bermanuver di meja transfer, bukan untuk memperkuat skuat, tetapi mengakali beban gaji. Kejadian “pertukaran” Arthur Melo dan Miralem Pjanic pun bukan urusan teknis, tetapi lebih kepada manuver menyelamatkan gaji.
Sid Lowe kembali menulis: “Di Barcelona, para akuntan ternyata lebih kreatif ketimbang para pemain.” Ahh, kita tahu, Sid sebenarnya juga ingin menegaskan kalau bangkai yang kini menumpuk adalah buah karya Bartomeu. Sosok Presiden Barcelona yang lebih bangga kepada dirinya ketimbang identitas dan tradisi klub.
Sepertiga malam waktu Lionel Messi
Keretakan yang terjadi tidak bisa lagi direkatkan. Puncaknya di sepertiga malam, Rabu dini hari, waktu Indonesia, ketika Lionel Messi secara resmi mengajukan permohonan kepada klub untuk melepas dirinya. Faktor non-teknis yang membusuk, dibungkus dengan sangat rapi oleh Lionel Messi dengan rencana kepergiannya.
Setelah kalah dari Bayern, saya menulis di Terminal Mojok. Bahwa klub raksasa dari Bavaria itu sudah memaku paku terakhir di “peti mati Barcelona”. Tidak ada harmoni di antara dua faktor; teknis dan non-teknis, menghukum klub ini. Dan kepergian Lionel Messi, di mata saya, adalah titik nadir dari sebuah klub yang selalu mendaku: “Lebih dari sekadar klub.” Memang benar, Barca lebih dari sekadar klub. Mereka adalah lahan bermain Bartomeu.
Untuk mempertegas intensinya, Lionel Messi mengirim burofax kepada manajemen. Burofax adalah sebuah layanan dari Kantor Pos Spanyol, di mana dokumen dan isinya yang dikirim akan dipastikan sampai di tangan penerima, di hari itu juga.
Burofax digunakan ketika pengirim dokumen ingin memastikan secara hukum bahwa penerima menerima dokumen di hari itu juga. Pengadilan di Spanyol juga menerima salinan dari dokumen yang dikirim sebagai bukti yang sah. Dengan begitu, penerima dokumen tidak bisa berkilah mereka tidak menerima di tanggal dokumen dikirim.
Lionel Messi menggunakan burofax karena ingin memastikan Barcelona menerima permintaan melepas dirinya di 25 Agustus 2020. Alasannya adalah Lionel Messi ingin memastikan dirinya bisa pergi dengan proses pemutusan kontrak sebelum musim 2019/2020 berakhir.
Supaya menjadi jelas, kita semua harus tahu bahwa di dalam kontrak Messi terdapat sebuah klausul yang mengizinkan dirinya memutus kontrak yang tengah berjalan. Klausul itu, seharusnya kedaluwarsa di Juni 2020. Namun, pengacara Messi berpendapat lain.
Pandemi virus corona membuat musim 2019/2020 mundur, tidak habis di Juni 2020. Oleh sebab itu, seharusnya, Lionel Messi bisa mengaktifkan klausul tersebut. Langkah ini harus diambil mengingat di dalam kontrak Messi juga terdapat buy-out clause senilai 700 juta euro, di mana tidak ada klub yang cukup waras untuk menebusnya.
Lain ceritanya jika Messi bisa pergi dengan status bebas transfer. Klub peminat hanya perlu memikirkan gaji pemain asal Argentina itu yang mencapai 900 ribu euro per minggu! Rinciannya seperti ini:
Paket pendapatan Lionel Messi bersama Barca: gaji pokok tahunan adalah 60 juta euro, dengan per minggu dia menerima 980 ribu euro. Untuk image right, Messi menerima 13 juta paun atau sekitar 15 juta euro per tahun. Untuk segala bonus dan loyalty fee, dia menerima 120 juta euro untuk masa bakti lima tahun.
Saya rasa, jika tidak memasukkan aspek buy-out clause, hanya ada tiga klub yang sanggup membayar gaji Messi. Mereka adalah Manchester City, Manchester United, dan PSG. Jika mempertimbangkan faktor kedekatan, hanya City dan PSG dan berpeluang. Messi dekat dengan Pep Guardiola, pelatih City. Sementara itu, untuk PSG, kedekatan yang dimaksud adalah soal Qatar, Neymar, dan UEFA. Silakan terjemahkan sendiri.
Kenyataan ini membuat proses penurunan Barcelona ke liang lahat semakin cepat. Lionel Messi, meski hanya satu bagian dari dampak rusaknya manajemen, sudah cukup menegaskan bahwa Barcelona memang sudah hancur. Tidak ada lagi kata “akan” atau “hampir”. Seperti kata Gerard Pique, klub ini sudah jatuh di jurang paling dalam.
Apakah pergantian presiden akan menyelesaikan masalah? Perlu kita pahami bahwa jabatan Bartomeu akan habis di Maret 2021. Jika ingin memajukan proses pemilihan pun hanya bisa mentok di awal 2021. Tolong dikoreksi kalau salah. Satu hal yang pasti, jika Bartomeu lengser, Barca masih butuh banyak waktu untuk membuang dead wood, baik di jajaran manajemen dan pemain di dalam skuat.
Masalahnya adalah, seperti kata Sid Lowe, sudah tidak ada kepercayaan di antara jajaran manajemen dan ruang ganti pemain. Kepercayaan, seharusnya lebih kuat ketimbang ikatan kontrak di atas kertas.
Merekatkan kembali kepercayaan mungkin seperti seni kintsugi, seni merekatkan barang pecah belah dengan emas. Namun, meski merekat kembali, bekas lukanya tidak bisa hilang. Sedap untuk dipandang mata, tetapi luka itu ada di dalam hati dan goresannya sudah kadung terlalu dalam.
Lionel Messi, selama hampir 20 tahun memeluk Barcelona dan menganggapnya seperti rumah. Namun, sayangnya, yang kita sebut rumah pun bisa menorehkan sakit hati yang begitu dalam. Pada akhirnya, yang bermakna rumah dan pulang bukan orang lain, tetapi sebuah kuil bernama diri sendiri.
BACA JUGA Penderitaan Guardiola Adalah Jatuh Cinta Seribu Kali Kepada Barcelona atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.