MOJOK.CO – Tidak hanya bikin ieuh masyarakat sekitar. Menjadi bucin juga punya risiko kesehatan.
Menunjukkan kasih sayang pada seseorang yang kita cintai, sebetulnya wajar-wajar saja. Lha wong perasaan adalah fitrah bagi manusia. Akan tetapi, kalau ketika proses menunjukkan rasa sayang tersebut kita sampai terjebak menjadi seorang bucin alias budak cinta, ini yang perlu diwaspadai.
Ya, bukannya gimana-gimana. Sebagai bucin pun sebetulnya suatu yang manusiawi dan nggak ada masalah yang terlalu berarti. Dengan catatan besar yang distabilo, kalau saja kita bisa memberikan batasan soal memanajemen perasaan tersebut. Pasalnya, tidak banyak orang yang berhasil menjadi bucin cerdas, sehingga ia betul-betul rela diperbudak cintanya begitu saja. Padahal, selain nggak baik buat kondisi psikis kita. Hal ini juga bisa berdampak buruk untuk kesehatan fisik. Misalnya saja nih, yaaa….
Pertama, menjadi bucin berarti siap untuk telpon-telponan. Apalagi kalau ternyata jarak di antara kalian cukup jauh. Itu artinya, proses “pertemuan jiwa” kalian, mau nggak mau ya lewat telepon. Dan namanya aja bucin yang selalu pengin bersama, penting atau nggak penting hal yang dibicarakan, yang terpenting adalah telpon-telponan kalau bisa selama mungkin.
Dampaknya apa, Saudara-saudara? Tentu saja hal ini nggak baik untuk kesehatan telinga. Apalagi kalau telponannya pakai headset biar tangannya nggak capek. Ya, jelas makin buruklah kondisi telinga kita. Kita tahu kan, kalau penggunaan headset yang terlalu lama bisa menyebabkan gangguan pendengaran, kelelahan pada telinga, hingga kerusakan otak.
Kedua, sebagai seorang bucin, berarti juga punya kerelaan yang nggak logis untuk menraktir makanan atau membelikan barang-barang tertentu sebagai perwujudan rasa sayang. Belum lagi kalau ternyata kalian sedang LDR dan penginnya bisa ketemuan secara langsung. Artinya, banyak uang yang jadinya dikeluarin dengan cuma-cuma demi menuntaskan hasrat bucin tersebut. Uang yang cepat tandas tersebut berisiko bikin kita nggak punya uang simpanan. Ini berpotensi besar buat kita nggak mampu beli makan dan kelaparan.
Padahal kan, setiap motivator kesehatan selalu mengingatkan kita untuk makan teratur dan tidak menunda-nundanya. Pasalnya, menunda makan bisa bikin kita kelaperan. Kelaperan bisa bikin daya tahan tubuh lemah, sehingga kita jadi mudah sakit. Lha, tapi kalau ternyata kita nggak berniat nunda makan, tapi emang uang kita yang habis karena terlalu fokus nge-bucin, gimana?
Ketiga, menjadi bucin juga punya potensi untuk sering terjaga memikirkan tentangnya. Dampaknya kita bisa jadi susah tidur. Susah beristirahat. Lantaran pikiran tentangnya seperti tak ada bosan-bosannya untuk hadir. Belum lagi telpon-telpon tengah malam yang memang mengurangi jam tidur—tapi selalu berhasil untuk ditunggu-tunggu.
Susah tidur tentu saja bikin kita jadi kurang tidur. Padahal, tidak ada seorang pun ahli kesehatan yang meminta kita untuk begadang—yang kata Bang Rhoma nggak ada artinya itu. Pasalnya, kurang tidur bisa menyebabkan kita nggak fokus, mempercepat penuaan dini, dan masalah kesehatan lainnya. Oleh karena itu, para ahli kesehatan sudah mewanti-wanti bahwa orang dewasa butuh tidur 8 jam sehari. Sebuah kebutuhan yang tampaknya akan sulit dipenuhi oleh kaum-kaum bucin.
Keempat, terlalu fokus soal kehidupan kita dengannya dan pengin bisa selalu bareng-bareng ke mana pun, sungguh nggak baik buat diri kita sendiri. Memang, kita membutuhkan orang lain untuk bisa membersamai kita. Akan tetapi, jangan lupa kalau kita juga nggak bisa terus-terusan nempel-nempel orang lain—meskipun dia adalah orang yang kita bucini. Kita butuh waktu untuk diri kita sendiri. Me time biasanya sebutannya. Supaya pikiran kita jadi lebih segar. Supaya otak kita lebih sanggup berpikir jernih dan nggak terkungkung dengan orang yang itu-itu saja.
Bagaiamana, Teman-teman? Siapkah menjadi bucin yang cerdas demi masa depan cemerlang? Wqwq. (aul)
BACA JUGA 5 Ciri-Ciri Bucin Alias Budak Cinta: Romantis, tapi Nalarnya Tipis atau artikel Audian Laili lainnya.