[MOJOK.CO] “Usulan peraturan pembuatan akun media sosial menggunakan e-KTP yang mengakibatkan perasaan ketar-ketir.”
Kepedasan lambe seseorang memang belum ada apa-apanya dibanding keperkasaan jempol netizen di dunia maya.
Yhaa~ Di media sosial, seseorang bisa saja mengkritik sebuah isu habis-habisan, bahkan membuat berita bohong yang meyakinkan banyak orang. Tak jarang, beberapa netizen memiliki akun fake yang membuat mereka lebih leluasa bicara di dunia maya. Lah, di dunia nyata? Boro-boro ngomong, batuk aja diempet.
Gara-gara punya media sosial, misalnya, bapak dan ibu saya jadi up-to-date soal berita terbaru, baik yang normal dan wajar, hingga berita-berita yang nggak penting-penting amat, misalnya sumber dana pernikahan Vicky Prasetyo dan Angel Lelga. Gara-gara media sosial pula, hoaks-hoaks yang saya baca di suatu pagi sambil lalu pun ternyata langsung meluas selepas Zuhur, menyebar seperti racyun~
Seringnya, setelah kabar-kabar tertentu jadi viral, orang-orang melupakan satu hal penting: siapa sumber kabar ini? Validkah?
Dalam penggunaan media sosial, alih-alih ikutan nyebarin hoaks, saya lebih suka curhat di medsos, apalagi soal urusan cinta dan perkuliahan. Biasanya, saya curhat di Twitter, Facebook, atau Instagram Story. Lagi pula, kepada siapa lagi saya harus mengadu? Toh, emang lebih enak ngomel-ngomel di media sosial. Iya, kan? Ngaku jha, deh.
Tanpa repot-repot dan merasa rikuh, di medsos mah cuma tinggal klik tombol Send aja. Kalau diprotes, balik protes aja. Ini kan akun saya, ngapain situ yang repot? Kalau nga suka, ngapain baca?
Huh!
Tapi, tapi, tapi, posisi saya kini terancam. Kenapa saya katakan terancam?
Wakil Sekjen PDIP, Eriko Sotarduga, mengusulkan agar pengguna media sosial harus memiliki e-KTP sebagai dasar registrasi akun. Dalam laman formulir/biodata medsos, netizen harus mengisi data sesuai dengan e-KTP, termasuk Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, alamat, tanggal lahir, hingga status pernikahan.
[!!!!!!!!!!!!!!!!]
Bagi Bapak Eriko, jika hal itu diterapkan, tentu saja netizen akan berpikir ulang untuk menyebarkan berita palsu atau hoaks karena identitasnya tercantum dengan jelas. Tentu, mereka pun akan bersikap lebih bertanggung jawab.
Disebutkan, konten hoaks sering kali bersumber dari akun anonim dan susah ditelusuri.
Masalahnya nih, my lov, tyda semua akun anonim dibuat untuk menyebarkan hoaks~
Saya punya akun anonim, tapi itu murni untuk mengenang mantan 🙁
Setiap satu akun, saya tujukan untuk mengenang satu mantan, biar nga kecampur-campur kenangannya. Ada juga akun khusus saya curhat soal kampus dan dosen-dosen tertentu. Masa iya saya harus menuliskan data e-KTP saya di akun-akun itu??? Mau ditaruh di mana muka saya??? Di Laut Cina Selatan???
Sungguh, Pak Eriko mungkin luput pada kaum-kaum yang seperti saya: menulis untuk meluapkan perasaan galau, sedih, dan terjebak kesendirian.
Kalau orang-orang tukang galau macam saya harus disamakan dengan tukang-tukang bikin hoaks itu, gimana nasib kesejahteraan perasaan saya? Bisa-bisa, saya kepergok pacar saya karena belum move on dari keeenam mantan saya. Ini gawat!
Lagi pula nih, ya, kalau kebijakan itu benar-benar dibuat, saya ramal pengguna medsos akan langsung berkurang drastis. Bukan karena semata-mata pengecut dan tyda bertanggung jawab, tapi karena… e-KTP belum jadi.
Lah gimana, wong rekam data udah lama, tapi belum jadi juga. Emangnya medsos nerima surat keterangan pengganti e-KTP? Terus, setiap enam bulan akun kita di-suspend dulu supaya kita bisa perpanjang surat keterangan, gitu? 🙁
Anyway, kalau nanti aturan ini beneran diberlakukan, saya mungkin harus pura-pura nabrak tiang listrik dulu sampai benjol segede bakpao biar pacar saya nga jadi marah setelah baca cuitan-cuitan saya di medsos.
Repot, tapi kayaknya teruji untuk mengamankan posisi diri. Sedikit. Hehe~