MOJOK.CO – Jerinx mengaku heran dengan tuntutan jaksa, mengingat IDI Pusat dan IDI Bali pernah diklaim tidak betul-betul ingin memenjarakannya.
Baiklah akui saja, ketimbang pihak yang menyepakati celotehan I Gede Ari Astina alias Jerinx sepanjang isu Covid-19, saya kira ada lebih banyak pihak yang kontra. Maklum, Jerinx ini representasi rebel yang sebenarnya. Ngeyel, urakan, cablak, kalau ngomong suka nggak dipikir dulu.
Dari mulai mempercayai kalau Covid-19 adalah konspirasi “elite global” sampai meyakini bahwa Covid-19 itu tidak berbahaya, Jerinx ini memang menyebalkan. Bahkan kalau kamu masih ingat, Jerinx pernah sempat menantang petugas medis untuk memasukkan virus tersebut ke tubuhnya kalau betul-betul Covid-19 itu mematikan.
Meski begitu tuntutan tiga tahun dari jaksa ke Jerinx dalam kasus “IDI Kacung WHO” dengan UU ITE jadi perdebatan lumayan seru netizen. Ada yang pro dengan jaksa ada pula yang kontra dengan tuntutan jaksa.
“Saya lucu melihatnya, dari pihak IDI Pusat, IDI Bali, mereka semua bilang tidak ingin memenjarakan saya. Jadi siapa sebenarnya yang ingin memenjarakan saya?” kata Jerinx mencak-mencak usai persidangan.
“Saya ingin tahu orangnya siapa yang ingin mememenjarakan saya dan ingin memisahkan saya dengan istri saya,” kata Jerinx.
Kasus Jerinx memang tak bisa disamakan dengan kasus korban-korban UU ITE lainnya seperti Baiq Nuril Makmun, Prita Mulyasari, atau kasus Febi Nur Amelia dalam kasus “Ibu Kombes”. Ini kasus yang berbeda. Mungkin hampir sebelas-dua belas dengan kasus ucapan “idiot” Ahmad Dhani.
Besarnya tuntutan ini menunjukkan bahwa Jerinx dianggap kelewatan oleh jaksa. Terutama kalau kita memperhatikan elemen-elemen yang memberatkan.
Seperti Jerinx yang tak menunjukkan rasa penyesalan, pernah melakukan walk out ketika persidangan berlangsung, dan pernyataan-pernyataannya sebelum kasus ini sering meresahkan. Hayaa maklum kalau jaksa jadi kayak geregetan gitu sama Jerinx.
Kalau dianalogikan menjadi cerita, kasus Jerinx dan tuntutan ini bisa diibaratkan kayak kisah anak remaja tanggung yang suka kebut-kebutan di jalan kampung. Lah, si anak ini sebenarnya tidak pernah melakukan kejahatan, cuma warga sekitar udah nggak suka aja sama kelakuannya.
Kebetulan—iya kebetulan—si anak ini tanpa sengaja menyenggol seorang warga kampung yang cukup dihormati warga sekitar. Dan senggolannya ini pun terjadi pada posisi si anak bukan sedang naik motor.
Nah, karena sudah punya sentimen dengan kelakuan-kelakuan si anak pada masa lalu, si anak yang cuma nyenggol ini pun langsung dihajar habis-habisan oleh warga kampung.
Tiba-tiba, karena kesalahannya nyenggol orang itu bikin si anak harus merasakan hukuman kesalahan kayak pelaku tindak kejahatan yang lebih berat. Semua kesalahan tiba-tiba ditimpakan ke dirinya, meski pemicu si anak jadi pesakitan hanya karena persoalan sepele.
Betul memang, Jerinx ini memang sekali-kali perlu dikasih pelajaran, namun beberapa orang merasa pelajaran yang dikasih jaksa penuntut umum ini udah kelewatan.
Apalagi, jika mau ditelisik lebih jauh lagi, jadi kacung sebuah institusi sekelas WHO itu kan sepertinya nggak buruk-buruk amat. Oke deh, penggunaan istilah “kacung”-nya memang rada nganu, tapi apakah itu setimpal dengan hukuman tiga tahun penjara? Hm.
Keraguan ini mungkin bisa dibantah dengan perilaku Jerinx sebelum-sebelumnya dan posisinya yang merupakan figur publik, sehingga setiap pernyataan Jerinx lebih berpotensi untuk menggerakkan orang lain. Makanya, tuntutan ini menjadi alarm untuk kasih ke siapapun di luar sana agar jangan sembarangan berkicau di media sosial.
Persoalannya, keraguan atas tuntutan jaksa ini bukannya lahir dari tangan kosong. Institusi kejaksaan pun punya citra yang nggak bagus-bagus amat. Sama seperti Jerinx, institusi kejaksaan sedang mendapat cobaan yang begitu berat (harus halus bahasanya biar nggak dituntut, eh).
Ketika Jerinx suka bikin sebal dengan kicauan-kicauannya, kejaksaan pun juga sama aja. Terutama kalau lihat track record mereka belakangan ini. Paling tidak sudah ada dua contoh kejadian bagaimana institusi kejaksaan patut dipertanyakan integritasnya.
Pertama, kasus menerima suap gila-gilaan dari Jaksa Pinangki yang akhirnya dikaitkan dengan kasus kebakaran Kantor Kejaksaan karena putung rokok tukang bangunan. Kebakaran ini dianggap terlalu tepat timing-nya, karena kok ya kebetulan… iya kebetulan sekali, kantor Jaksa Pinangki yang di dalamnya diduga ada banyak bukti ikut kebakar juga.
Benar-benar nasib untung untuk Jaksa Pinangki dan orang-orang yang diduga terlibat di luar sana tentunya.
Kedua, kasus penyiraman air keras ke penyidik KPK Novel Baswedan, di mana dua terdakwa tersebut mendapat banyak sekali privilege. Dari punya kuasa hukum dari pihak kepolisian sampai cuma dituntut satu tahun oleh jaksa penuntut umum. Bahkan tuntutan ini menunjukkan kesan kalau jaksanya malah kayak bela-belain terdakwa.
Padahal dua terdakwa ini diumpetin ngumpetnya bertahun-tahun, selama ditetapkan tersangka suka nyablak sama wartawan, dan—sama seperti Jerinx—terkesan tidak pernah menyesali perbuatannya.
Meski begitu, perbuatan jaksa yang kadang-kadang absurd itu tentu tidak bisa dijadikan alat bukti untuk meringankan kasus Jerinx, tapi paling tidak publik sudah bisa mereka-reka, kalau jaksa pun juga manusia… yang secara person juga punya sentimen dan emosi, cuma urusannya ada yang ketahuan dan ada yang tidak.
Itu.
Jadi buat Jerinx, yang sabar ya. Ente sih, kasusnya UU ITE, coba kalau kasusnya penganiayaan berat nyiram air keras… nggak bakal dituntut selama itu pasti. Mungkin kasus ini juga menjadi hikmah untuk kita semua bahwa kalau mau nakal itu jangan tanggung-tanggung.
Jadi preman kok ya cuma di jalanan, hayaaa remoook.
BACA JUGA UU ITE Harus Segera Dinobatkan Sebagai UU Paling Nggak Jelas Fungsinya atau tulisan soal UU ITE lainnya.