ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Pojokan

Gombalan Titip Presensi yang Lebih Mirip Permainan Psikologi

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
14 Desember 2018
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Perkara titip presensi dalam perkuliahan sesungguhnya lebih dari sekadar permintaan tolong—ia adalah permainan psikologi.

Di masa perkuliahan, kelas saya pernah ditegur seorang dosen gara-gara insiden titip presensi, atau yang sering juga disebut dengan titip absen—meski salah secara bahasa. Waktu itu, dosen saya menerangkan materi sambil memberikan daftar presensi mahasiswa agar kami menandatanganinya sebagai tanda kehadiran.

Beberapa teman tidak datang ke kuliah tersebut, tapi sahabat-sahabat dekatnya dengan senang hati memalsukan tanda tangan mereka. Tak hanya satu—mungkin ada sekitar lima orang yang titip presensi. Mereka semua berpikir akan baik-baik saja karena dosen ini biasanya hanya memberikan daftar presensi, mengajar, lalu pulang.

Tapi ternyata, siang itu berbeda. Selesai kami tanda tangan, dosen saya berdiri memandangi daftar presensi, lalu…

…memanggil kami satu per satu!!!!11!!!!11!!1!

Cewek-cewek yang tadi haha-hihi memalsukan tanda tangan sahabat tercintanya langsung kelimpungan. Mukanya pucat pasi, persis kayak pasangan kekasih yang kepergok chatting-an sama orang lain.

Adegan selanjutnya yang terjadi adalah: dosen marah-marah dan mengancam nilai kami sekelas akan dikurangi kalau tak ada yang mengaku sudah membantu teman-temannya titip presensi. Selama sepuluh menit yang alot dan canggung, cewek-cewek tadi akhirnya mengaku, lalu mereka mengikuti dosen pergi ke ruangannya.

Namun, akhir kisah perjuangan titip presensi yang terjadi di depan mata itu ternyata tidak membuat teman-teman sekelas yang tersisa ciut nyalinya. Dalam kelas berikutnya, selagi ada kesempatan, selalu saja ada yang kirim SMS (iya, dulu belum ada WhatsApp, mylov), meminta bantuan titip presensi.

“Titip absen, ya,” tulis teman saya, suatu hari. Saya cuma membalas, “Baca KBBI dulu, nanti SMS aku lagi,” tapi ujung-ujungnya tetep menandatangani daftar presensi di kolom namanya karena merasa berutang budi pada persahabatan kami yang terjalin selama satu semester.

[!!!!!!!11!!!1!!!!]

Ya, ya, ya, perkara titip presensi ini sesungguhnya lebih dari sekadar permintaan tolong—ia adalah permainan psikologi, mylov, permainan psikologi!!!

Kenapa saya bilang permainan psikologi? Karena kita—mahasiswa-mahasiswa yang sesungguhnya konservatif dan merupakan titisan karakter Dekisugi ini—tentu ingin semua orang di dalam kelas bersikap adil dan fair. Lah wong kita aja bangun pagi, antre mandi di kosan, dan jalan kaki ke kampus demi masuk kelas, kok ini ada aja teman yang dengan santainya bangun jam 10 dan SMS minta titip presensi supaya nilai kehadirannya tetap utuh??? Itu apa namanya kalau bukan curang??? Situ mau nggak kalau dicurangi??? Dicurangi dalam hubungan asmara aja katanya nggak kuat, tapi kok situ nekat mencurangi hubungan diri sendiri dan kehidupan akademik???

Huft, tenang. Rileks. Tarik napas.

Nah, sekali lagi: kita-kita ini—mahasiswa-mahasiswa yang sesungguhnya konservatif dan merupakan titisan karakter Dekisugi—tentu tidak setuju pada perkara titip presensi. Namun, teman-teman kita—yang sama sekali tidak konservatif dan percaya bahwa bersikap sok akrab pada ibu kantin kampus akan memberi keuntungan berupa es teh gratis—dengan ajaibnya akan membuat kita tergerak hatinya untuk melakukan aksi titip presensi. Pengaruh mereka dalam kondisi psikologi kita biasanya dimulai dari kalimat-kalimat andalan berikut:

1. “Tanda tanganku gampang, kok.”

Ini dia, mylov, ini dia cara mereka—pemohon titip presensi—memotivasi kita sampai akhirnya berani melakukan pemalsuan tanda tangan. Mereka pikir, dengan menunjukkan mudahnya tanda tangan mereka, diri kita akan langsung bersemangat menirunya sepenuh hati. Bahkan, jika kita bisa membuat tanda tangan palsunya selama sesi latihan, mereka akan memuji kita seakan-akan kita melakukan hal besar yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia di Planet Bumi. Duh!

Dear kawan-kawan pemohon titip presensi, gini loh: mau tanda tanganmu gampang kek, cuma satu goresan kek, bentuknya cuma blondo-blondo kek, yang namanya titip presensi ya tetap titip presensi. Manusia-manusia kolot kayak kita (hah, kita???) pastilah merasa berat melakukannya—bukan karena kita payah dalam menirukan tanda tangan, tapi karena…

…ya karena kesel aja, gitu, kenapa situ nggak masuk sendiri aja, sih???

2. “Kita, kan, teman.”

Gombalan kedua dari pemohon titip presensi biasanya menekankan persahabatan yang terjalin antara kita dan dia. Baginya, kita adalah makhluk sensitif yang hatinya bakal terketuk dengan ungkapan-ungkapan sendu soal hubungan manusia kayak tulisan-tulisan Rupi Kaur, termasuk permohonannya untuk titip presensi.

Padahal, kalau dipikir-pikir, apa coba hubungannya menjadi teman seseorang dan membantunya untuk bolos kuliah??? Ya mending kalau titip presensinya lancar dan sukses, lah kalau kejadiannya kayak cerita saya di awal tulisan ini gimana??? Mana bisa teman itu melindungi kalau kita yang disalahkan gara-gara mendukung tindakan bolos kuliah??? Hadeeeh~

3. “Kan gantian…”

Tipe pemohon titip presensi ini adalah tipe yang sukanya mengungkit-ungkit apa saja yang bisa dia ungkit-ungkit. Kalau kita menolak dititipi presensi, kalimat balasannya bisa beragam, seperti, “Tapi aku kan kemarin udah bantuin kamu kerjain laporan,” atau, “Kemarin pas kamu kehabisan bensin, kan, aku nebengin kamu.” Dengan flashback soal kebaikan mereka, kita pun dibuat merasa bersalah jika tidak meloloskan permintaannya.

Uh, dasar culas :(((

Padahal, menurut Benjamin Franklin dan Ralph Waldo Emerson, kebaikan itu bukan sesuatu yang perlu dibalas; ia hanya perlu diteruskan hingga meluas menjadi jejaring kebaikan. Secara sederhana, hal ini digambarkan dengan pepatah “Utang emas boleh dibayar, utang budi dibawa mati”. Dengan kata lain, kamu tidak perlu merasa berutang budi kalau mereka memang berniat membantumu sejak awal.

“Halaaaaah!” sahut temanmu, “Dua minggu lalu kan kamu titip presensi ke aku. Gantian, dong!”

Ups.

Ehm. Yah, kalau jawabannya gitu, mau gimana lagi? Sesama teman memang harus saling membantu, kan?

Terakhir diperbarui pada 12 Agustus 2021 oleh

Tags: bolos kuliahDosenMahasiswatanda tangan palsutitip absentitip presensi
Iklan
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

Mahasiswa semester tua pura-pura wisuda sampai bawa orangtua ke kampus MOJOK.CO
Kampus

Mahasiswa Semester Tua Pura-pura Wisuda padahal Belum Lulus, Demi Senangkan Orangtua Foto Bareng di Kampus

6 Mei 2025
dosen, lulusan s3, jogja.MOJOK.CO
Kampus

Mahal-mahal Bayar Kuliah sampai S3 tapi Menolak Jadi Dosen karena Tahu Sisi Gelap Dunia Pendidikan di Jogja

5 Mei 2025
Kali Code adalah Sebaik-baiknya Tempat Bertahan Hidup di Jogja.MOJOK.CO
Ragam

Kali Code Jogja Tak Menawarkan Kemewahan, Tapi Memberi Harapan Para Perantau untuk Bertahan Hidup

14 Februari 2025
Ketika Mahasiswa Sudah Tak Tertarik Demo MOJOK.CO
Kampus

Ketika Demo Tak Lagi Menarik di Mata Mahasiswa karena Kehidupan Makin Kapital

12 November 2024
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya

Kontroversi La Nyalla: Akui Pernah Sebut Jokowi PKI sampai Sentil Salat Jumat Prabowo

Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Sulitnya Pegawai Pinjol Menjelaskan ke Tetangga tentang Pekerjaannya: Ngaku Kerja di Bank hingga Jadi Sasaran Pinjam Uang.MOJOK.CO

Sulitnya Pegawai Pinjol Menjelaskan ke Orang Tua soal Pekerjaannya: Ngaku Kerja di Bank hingga Jadi Sasaran Pinjam Uang Tetangga

16 Mei 2025
Ironi di Balik Perkantoran Mewah Slipi Jakarta Barat: Ijazah S2 Dianggap Tak Berguna, Pekerjanya Sengsara.MOJOK.CO

Ironi di Balik Perkantoran Mewah Slipi Jakarta Barat: Ijazah S2 Dianggap Tak Berguna, Pekerjanya Sengsara

16 Mei 2025
Bersyukur jadi lulusan SMK meski diremehkan karena lebih mudah cari kerja ketimbang sarjana MOJOK.CO

Lulusan SMK Diremehkan, Tapi Bersyukur Nasib Lebih Baik ketimbang Sarjana yang Banggakan Gelar tapi Nganggur

14 Mei 2025
Alumnus PENS, Surabaya lebih suka merantau ke Bandung. MOJOK.CO

Sisi Gelap Bandung yang bikin Resah Perantau Asal Surabaya, padahal Terkenal sebagai Kota Pelajar

14 Mei 2025
10 Tahun Derita, Kecamatan Kandangan Dibuang Temanggung MOJOK.CO

Ribuan Warga Kecamatan Kandangan Dibiarkan Menderita Selama 10 Tahun Lebih oleh Temanggung

17 Mei 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.