MOJOK.CO – Stigma ini sebenarnya nggak muncul tiba-tiba. Beberapa orang yang pakai aplikasi kencan mengaku cowok lokal lebih “gradak-gruduk”.
Aplikasi kencan memang bukan sebuah terobosan baru 4.0 yang mampu menghadirkan cinta kepada mereka yang masih berjuang mendapatkan pasangan. Sebut saja Tinder, Bumble, OkCupid, sampai Coffee Meets Bagel. Sekarang, nggak cuma orang yang pengin dapet pasangan yang main aplikasi kencan. Mereka yang pengin bergaul, dapet teman baru, sampai dapat pasangan kencan satu malam juga pakai alternatif ini buat ketemu orang baru.
Sebagai orang yang nggak pernah lelah memperjuangkan cinta, azek, saya juga pakai aplikasi kencan. Walaupun sampai sekarang masih belum ketahuan menghasilkan kesan yang baik, setidaknya buat mengetahui sepak terjang buaya-buaya, aplikasi jenis ini cukup berguna.
“Kalo ke Bali, banyak match sama bule lewat Tinder itu seru! Cowok Indonesia mah dikit-dikit minta pap.”
Kawan saya sebenarnya bermaksud nyeletuk soal perjuangan cintanya menghadapi lautan lelaki yang bertebaran di aplikasi kencan online. Menurutnya, cowok bule selalu lebih asyik dan menantang. Hal ini dia pelajari dengan baik saat berlibur ke Bali .
Memang, muncul anggapan kalau perlakuan bule di aplikasi kencan jauh lebih sopan ketimbang cowok lokal yang mungkin straight to the point menunjukkan bahwa mereka pengin ena-ena. Baik di Bali dan di Yogyakarta, saya juga pernah match dan ngobrol tipis-tipis dengan bule. Bule dari mana saja banyak, yang jelas mereka bukan WNI. Bule kaukasoid sering menyapa duluan dengan kalimat klasik, “Hi how are you?” Ada juga yang obrolannya langsung santai, “Hey, howdy, glad you swipe me right.” Namun, kawan bule yang saya temui di aplikasi kencan yang akhirnya jadi kawan dan masih berkomunikasi dengan baik hingga hari ini hanya bule dari Pakistan. Mungkin ini karena faktor doi yang statusnya sama-sama mahasiswa kayak saya, usianya nggak terpaut jauh, dan kami seiman.
Dari sederet pengalaman mengarungi aplikasi kencan, saya perlu mengakui bahwa saya nggak punya pengalaman buruk saat match dengan bule. Not a single one. Tapi, kalau ditanya pernah bermasalah dengan cowok Indonesia? Hmmm, jelas nggak cuma sekali.
Seorang cowok yang match dengan saya di Tinder pernah dengan santainya tanya ukuran beha, padahal say hi saja belum. Ya, jelas, langsung blokir dong. Ada juga cowok yang ketika kami sudah enak ngobrol dan santai, dia salah paham dengan tujuan saya main Tinder. Dia pikir saya cari FWB dan available kapan pun kali ya. Lha wong begitu saya nggak balas pesannya di Tinder, dia mencari keberadaan saya di Instagram dan mengirimkan pesan yang bikin saya kaget.
“Kamu malam ini selo nggak? Kalo mau ntar malam ke kosan aku ya, aku shareloc.”
Lho lho lho mas, dikira mau COD tanaman hias apa gimana? Padahal secara literal saya nggak pernah mengatakan setuju untuk melakukan hubungan seksual. Kami juga baru mengobrol sebentar. Ada sebuah kesalahpahaman yang disimpulkan terlalu cepat. Nggak masalah jika memang gaya hidup mas-mas yang menyuruh saya ke kosannya ini memang model one night stand, cinta satu malam oh indahnya. Saya nggak berhak mendikte dia sangean atau kesepian. Apalah saya baginya kan cuma kebetulan match di aplikasi kencan. Gitu doang. Tapi, Mas, mbok ya dipastikan dulu soal consent ini. Kalau saya benar-benar cupu dan nggak paham yang dia maksud “malam ini ke kosan” adalah untuk yuhu-yuhu, tentu saya bakalan trauma. Ngeri betul.
Saya nggak ingin cepat menyimpulkan, tapi kok beberapa cowok lokal memang lebih gradak-gruduk ketimbang bule ya? Ah, apa ini sebatas perasaan saya yang kadang emosi karena berulang kali gagal? Tentu, harus cari validasi dari orang lain.
“Tapi, emang sih, entah. Aku matchnya kalau sama orang Indonesia kebanyakan ya gitu, kampret. Kalo bule, even orang Asia biasanya lebih terbuka dan consent banget.” ujar D, 28 tahun.
D yang punya banyak teman bule menyetujui stigma buruk cowok lokal yang seringnya main aplikasi kencan hanya untuk kebutuhan seks. Sedangkan, banyak orang menggunakan aplikasi itu juga untuk mencari teman ngobrol, atau sekadar iseng. Lucunya, banyak cowok Indonesia yang seolah-olah memberi stigma baru pada pengguna aplikasi kencan. Konon, aplikasi itu ya memang buat cari teman ngew*, jadi kalau ada cewek yang heran kenapa digoda dan dimintai PAP, berarti dia terlalu polos dan salah tempat. Hmmm, coba dicerna dengan baik dulu.
Saya rasa kita perlu sepakat bahwa pengguna punya motivasi bebas dalam menggunakan aplikasi. Kalau mereka memang pengin iseng, ya apa boleh buat? Justru memberikan stigma baru bahwa Tinder, Bumble, dan kawan-kawan adalah aplikasi seks itu yang agak maksa. Intensi setiap orang berbeda, dan jangan lagi deh bikin banyak orang berpikiran bahwa dua insan cowok-cewek yang sedang kenalan itu menjurus ke seks dan seks dan seks. Siapa tahu mereka mau bisnis cupang.
Sebenarnya anggapan bahwa cowok bule dianggap lebih sopan dari cowok lokal bakal jadi bitter truth. Tapi, anggapan ini nggak boleh diteruskan karena saya masih percaya banyak cowok bibit unggul yang suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan di luar sana. Mereka lebih tidak dominan karena cowok-cowok yang pikirannya seputar ena-ena di kosan jumlahnya jauh lebih banyak dan lebih vokal. Iya, iya, nggak masalah kalau mau jungkir balik sekalian di kosan. Masalahnya, nggak perlu memaksa cewek yang tadinya nggak mau jadi mau dong. Belajar dari PDKT cowok bule, mereka selalu ancang-ancang sebelum mengajak bertindak lebih jauh. Mereka mengukur, menimbang, memperkirakan apa yang perlu dilakukan agar dirinya dan kawan aplikasi kencannya nyaman. Simpel.
BACA JUGA Kenapa sih kok Harus Malu Kalo Kepergok Main Tinder? atau artikel AJENG RIZKA lainnya.