MOJOK.CO – Tahun politik sudah dimulai. Media sosial akan dipenuhi wajah para politisi dengan kata-kata yang manis. Melihat kasus Trump di AS, penting untuk kita ketahui pola kampanye digital para kandidat yang bertarung di Pemilu 2024.
Gong pergantian tahun telah berdentang. Kembang api ramai menghiasi langit Indonesia. Seluruh warga bergemuruh menyambut tahun yang baru. Pada saat yang sama, pesta demokrasi dimulai. Waktunya partai politik dan politisi bernegosiasi satu sama lain karena tahapan pemilu sudah berjalan.
Selanjutnya, tentu saja sorotan publik akan tertuju pada strategi dan langkah pencalonan presiden dan wakil presiden, anggota legislatif, dan kegiatan masa kampanye. Beberapa ahli telah memperlihatkan kekhawatiran dengan dimulainya tahun politik ini, seperti semakin pendeknya masa kampanye, pola kandidasi partai politik, dan politik uang.
Namun, tulisan ini tak akan mengulas kekhawatiran tersebut. Fokusnya tentang strategi kampanye digital yang akan banyak digunakan oleh partai politik dan politisi pada Pemilu 2024.
Kampanye digital
Kampanye politik dengan pemanfaatan media sosial bukanlah sesuatu yang baru. Studi dari Ardha (2014) misalnya, menunjukkan tentang kampanye politik dengan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan YouTube telah menjadi kebiasaan baru. Ahmad & Popa (2014) turut memberikan pendapat bahwa penggunaan media sosial telah mengubah pola marketing dan kampanye politik di Indonesia.
Dalam bentuk penekanan yang berbeda, Lim (2017) mengungkapkan bahwa media sosial telah shaping (membentuk) satu dengan yang lain antara pengguna dan algoritma sehingga muncullah “algorithmic enclaves”. Dampak atas hal ini adalah menumbuhkan berbagai bentuk identitas nasionalisme kesukuan. Semua ragam fenomena di atas menunjukkan tren tentang bagaimana media sosial telah “membentuk” realitas kehidupan politik.
Pada skala yang berbeda, dampak dari media sosial juga turut membentuk perilaku para politisi. Wood, et.al (2016) telah membaca fenomena perilaku politisi dengan membagi kepada dua spektrum yaitu superstar celebrity politicians dan everyday celebrity politicians. Lebih jauh, ia memberikan tiga indikator yaitu jenis media, teknik marketing, dan peran yang dimainkan.
Dua jenis politisi di ranah digital
Pada kategori superstar celebrity politicians, jenis media yang dipergunakan adalah siaran televisi, seperti talkshow, debat publik dan lain sebagainya. Dalam kategori ini, sifat teknik marketing politiknya akan terstruktur. Artinya, terdapat koridor-koridor penjelasan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Peran atau citra yang akan dimainkan politisi pada kategori ini adalah pemimpin yang kuat dan dalam taraf tertentu berjarak dengan warga negara.
Lain halnya dengan kategori everyday celebrity politicians. Pada kategori ini, penggunaan jenis media bukanlah yang sifatnya satu arah melainkan jenis media-media interaktif seperti Twitter, Facebook dan YouTube. Strategi marketing politiknya pun berbeda di mana pada kategori ini, tidak memiliki struktur baku dalam penjelasannya. Politisi dapat menyampaikan pendapat atau bercerita dengan bebas selama berada dalam sekat kenaikan elektabilitas diri. Pembentukan peran atau citra yang ditunjukkan juga berbeda. Politisi akan menunjukkan potret pribadi yang “memanusiakan” dan dekat dengan warga negara.
Elaborasi dari Wood, et.al (2016) telah menjadi bagian kerangka analisis yang penting dalam melihat perilaku politisi. Premis utama dari studi ini bahwa kecenderungan politisi untuk membentuk citra sebagaimana layaknya individu sama dengan warga negara dengan tujuan peningkatan popularitas diri. Dirinya pun mengungkapkan frasa ‘Just Like Us’ sebagai cerminan atas hal itu.
Kasus Trump
Secara empirik, kita dapat melihat bagaimana branding politik sebagai selebritas dari politisi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin liar bertebaran di jagad dunia maya. Politisi pun memperlihatkan citranya sebagai sosok individu yang tidak berjarak dengan rakyat pada akun sosial medianya. Maklum, bahwa kultur pemanfaatan media sosial tengah menjamur saat ini dan perilaku di atas bukanlah sesuatu yang aneh. Lantas, mengapa menjadi penting bagi warga negara untuk memotret dan memahami pola branding dan kampanye digital politisi selebritas di dunia digital?
Fenomena ini menggejala tidak hanya di lingkup Indonesia. Pada skala global, pembangunan citra “selebritas” telah dilakukan oleh banyak politisi, salah satunya Donald Trump. Trump tidak hanya dianggap sebagai politisi, namun juga sebagai selebritas. Schneiker (2020) berargumentasi bahwa marketing politik yang dibangun Trump di platform Twitter menekankan sosoknya sebagai pebisnis dan entertrainer.
Tracking yang dilakukan oleh Schneiker (2020) menemukan mayoritas tweet yang disampaikan pada tahun 2016 tidak memiliki unsur politis. Justru sebaliknya, pembangunan citra politisi selebritas justru dilakukan Trump dengan diksi yang “dekat” dengan warga negara. Hasilnya, pupuk branding politisi selebritas berhasil dengan terpilihnya Trump pada Pemilu Amerika Serikat tahun 2017.
Penting dipahami
Narasi penjelasan ini yang minim diperhatikan oleh publik bahwa hasil pemupukan politisi selebritas ini menjadi faktor–bisa dibilang terpenting–dalam terpilihnya Trump yang dianggap sebagai underdog pada pemilu AS di tahun 2017. Tanpa sadar, langkah Trump telah mengubah perilaku pemilih di AS.
Potret pengalaman Trump menjadi sesuatu yang penting karena pola branding politisi selebritas di ruang media sosial berimplikasi besar terhadap perilaku pemilih. Di Indonesia, para politisi tentunya akan berbondong-bondong menunjukkan citranya sebagai individu yang dekat dengan warga selama periode 2023. Citra tersebut akan dibangun melalui medium teknologi, yaitu media sosial. Sebagai netizen, sensitivitas atas ungkapan tokoh pada dunia maya patut diasah dan dielaborasi lebih jauh tentang makna di balik ungkapannya.
Layaknya pesta kembang api dalam malam bergantian tahun, kita diharapkan tak hanya menjadi penggembira di tahun politik. lebih dari itu, turut berkontribusi aktif dalam hiruk pikuk Pemilu 2024 dengan menjadi warga negara yang cerdas digital.
Penulis: Arga Pribadi Imawan
Editor: Purnawan Setyo Adi