MOJOK.CO – Niatnya cuma mau mengobrol dengan salah satu petugas pemadam kebakaran, berakhir dengan diajak naik mobil damkar. Seru dan berbekas di hati.
Berawal dari utas di Twitter tentang pengalaman naik mobil pemadam kebakaran (damkar), saya diminta untuk menuliskan pengalaman tersebut untuk rubrik Otomojok. Sebuah hal yang menantang karena saya buta otomotif: tidak begitu lancar menyetir motor, tidak bisa menyetir mobil, baru mencoba mengisi bensin pada saat umur hampir 22 tahun, tidak tahu nama suku cadang motor atau mobil, dan sebagainya.
Saya “berhasil” menumpang mobil damkar karena obrolan dengan Bang Nopri, pemadam kebakaran dari Kompi A Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Keselamatan Jakarta Pusat. Demo tolak Omnibus Law yang menghancurkan tiga halte di Jalan M.H. Thamrin membuat pemadam kebakaran lalu-lalang bertugas. Melihat jarangnya ulasan mengenai pekerjaan ini, saya berinisiatif mengambil foto dan bertanya-tanya, sksd sedikit.
pemadam kebakaran (damkar) merupakan satuan yang paling jarang dibahas dalam sebuah demonstrasi (seringnya kalo ga polisi ya tentara). tadi w nyoba ngobrol sambil nanya2 dikit ama damkar, eh malah diajak numpang di belakang mobilnya pic.twitter.com/U5rALWX3JW
— Aldrin Kevin (@aldrinoo) October 8, 2020
Tak disangka, setelah selesai memadamkan sisa api di halte Sarinah, Bang Nopri mengajak saya ikut di belakang mobilnya (atau truk ya disebutnya?). Selama nebeng, saya ngobrol tentang profesi ini.
Saya tertarik dengan profesi ini setelah beberapa kali melihat postingan dari akun Instagram @humasjakfire tentang pemadam yang membantu melepas cincin yang kesempitan atau membantu mengambilkan hape yang jatuh ke selokan. Namun, untuk mobilnya, saya mana peduli.
Yang jelas, naik di belakang mobil damkar tidak ada mulus-mulusnya sama sekali. Entah suku cadang apa yg memengaruhi, tapi rasanya lewat speed bump saja sudah sangat berguncang. Apa karena posisi saya yang berdiri? Ah, rasanya naik metromini nggak gini-gini amat. Atau karena pegangannya bukan ke atas melainkan ke samping? Tidak juga.
Setelah sampai di Bundaran Hotel Indonesia, mobil damkar berhenti untuk beristirahat. Saya berkeliling sekitar bundaran untuk mengambil foto. Saat saya menemui mereka kembali dengan niat ingin berpamitan, saya malah diajak naik ke atap mobil damkar.
Wow, jadi begini rasanya. dibanding naik metromini, naik ke atas mobil damkar sangat gampang karena ada dua tangga, di belakang dan samping. Ruangan di atas juga lebar. Meskipun ada selang tambahan (selang utama ada di sebelah kanan mobil) dan tangga panjang (yang biasa untuk ambil kucing), petugas tetap bisa tidur-tiduran.
Niat berpamitan pupus karena mobilnya malah jalan. ya sudah, saya coba duduk di atas mobil damkar. Hasilnya tetap berguncang. Kondisinya jauh lebih seram karena kalau kita terlempar, jatuhnya akan lebih tinggi. Ya iyalah. Pegangannya juga tidak jelas. Kalau di belakang kita bisa pegangan ke pegangan tangga, kalau di atas, ya, pegang saja apa yang timbul dari atap mobil (dari bawah kita).
Saya mencoba menyesuaikan diri dengan guncangan selama mobil damkar ini bergerak. Selama di Thamrin, mobil ini jalannya pelan-pelan saja, toh titik kebakarannya juga banyak jadi mobil lebih banyak singgah. Saat mobil pulang ke Kantor Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Pusat, sensasi naik mobil damkar sebenarnya baru muncul.
Mobil ini memang sering dikendarakan dengan terburu-buru, baik dalam artian “ngebut” maupun “berhentinya tidak lama-lama”. Saya saja sampai ikut ke Kantor Sudin karena belum sempat selesai pamitan karena mobil mau pulang, eh mobilnya jalan duluan. Karena posisi saya masih di atas mobil, ya sudah, saya ikut saja
Saya juga merasakan sensasi terburu-buru dalam artian ngebut. Entah berapa km per jam, namun ya terasa seperti naik motor dengan kecepatan standar warga Jakarta malam hari, lah. Mobil sempat berjalan mulus pada awal-awal perjalanan, mungkin karena ngebut. Setengah perjalanan ke depan, mobilnya goyang-goyang lagi. Berarti tidak ada pengaruhnya ngebut dengan tidak ngebut. Saya jadi bingung sendiri.
Salah satu aturan naik di atas mobil damkar adalah, sebaiknya rebah, atau merunduk. Duduk tidak disarankan karena ditakutkan kepala terkena palang, kabel, atau dahan. Saya melihat Bang Nopri lebay dengan merunduk saat menghadapi jembatan penyeberangan. Saat saya tanya, ia bilang takut kejedot. Saya awalnya menanggapi dengan bercanda. Alasan tersebut baru masuk akal saat saya hampir kejedot dahan pohon di jalan selepas Flyover Cideng.
Untuk masalah kecepatan, sayang saya tidak bisa mengukurnya. Namun, dengan standar kecepatan seperti yang saya sebutkan di atas, mobil damkar tersebut masih dibilang pelan oleh Bang Nopri. Mobil akan berjalan lebih ngebut lagi apabila damkar berangkat untuk memadamkan kebakaran.
Ditambah sirene yang menyala, kecepatan akan selalu konstan karena orang-orang memberi jalan. Lalu bagaimana cara agar dapat bertahan di atas? Katanya sih, tiduran dengan pegangan kepada apa saja yang ada di atap mobil saja. Dengan tiduran, kepala akan terhindar dari benda asing yang siap menyambar kepala. Tubuh mungkin juga lebih rileks daripada duduk.
Akhirnya saya sampai di Kantor Sudin. Ketiadaan angkutan umum dan kerusuhan yang masih terjadi membuat saya diberi tumpangan oleh Pak Supir sekaligus pemimpin Kompi A, Pak Wagiyanto. Saat sedang leyeh-leyeh di musala kantor, saya diberi nasi kotak dan teh tawar oleh Pak Ridwan, petugas keamanan kantor. Sungguh mulia teman-teman pemadam kebakaran. Pukul 6 pagi, saya berpamitan kepada Pak Ridwan (Kompi A sedang bertugas memadamkan Bioskop Senen).
Sekian pengalaman saya, mohon maaf saya lupa menanyakan dimensi mobil, kapasitas air, airnya disimpan di mana, dan sebagainya. Terima kasih untuk jajaran Kompi A Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran Dan Penyelamatan Jakarta Pusat yang sudah memberi saya tumpangan: Pak Wagiyanto, Bang Nopri, Bang Hady, Bang Ikrom, dan Bang Komar. Sukses terus Korps Pemadam Kebakaran Indonesia. Pantang pulang sebelum padam.
BACA JUGA Balada Kernet Truk Tangki Pertamina dan ulasan soal mobil lainnya di rubrik OTOMOJOK.