MOJOK.CO – Netizen ramai-ramai gencar meminta pengadilan menerapkan syariat Islam untuk hukum potong tangan bagi Gubernur Aceh yang kena Operasi Tangkap Tangan KPK. Memangnya semua negeri yang menggunakan syariat Islam mesti begitu?
Pertanyaan pertama: “bagaimana negeri yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara menghukum seorang koruptor?”
Ah, itu pertanyaan gampang, tinggal baca Undang-Undang Tipikor Pasal 2 ayat 1. Di situ dijelaskan bahwa hukuman minimalnya adalah penjara 4 tahun dan denda paling sedikit 200 juta, sedangkan hukuman maksimalnya adalah penjara seumur hidup atau 20 tahun, dan denda paling banyak 1 miliar.
Tapi ingat ya, itu belum termasuk layanan bonus seperti masuk TV gratis sembari tersenyum manis ke arah kamera dan mengacungkan dua jari untuk menebarkan perdamaian, menikmati kemewahan sel tahanan yang hanya bisa dikalahkan oleh fasilitas hotel berbintang lima, melewati waktu luang untuk nonton pertandingan tenis di Bali, mendapatkan remisi nyaris separuh masa tahanan, atau kembali terjun ke dunia politik dengan menjadi calon gubernur atau calon anggota DPR―eh, yang terakhir itu udah enggak boleh lagi ya?
Pertanyaan kedua: “bagaimana negeri yang menerapkan Syariat Islam menghukum seorang koruptor?”
Waduh, ada pertanyaan yang lebih sulit enggak sih, sebab untuk menjawab pertanyaan semudah itu siapa saja bisa kok. Sebagaimana yang kita tahu (atau lebih tepatnya yang diberi tahu oleh Google kepada kita), setidaknya untuk zaman sekarang, ada beberapa negara yang mengklaim syariat Islam sebagai landasan hukum utama.
Masalahnya, tiap-tiap negara tersebut punya perlakuan yang tidak seragam terhadap seseorang yang terjerat kasus korupsi―entah karena perbedaan cara menafsirkan isi Alquran atau karena agama cuma dijadikan sebagai tunggangan untuk melanggengkan kekuasaan. Dari beberapa negara tersebut, ada empat contoh yang bisa saya paparkan, sebagaimana berikut ini:
1. Republik Islam Iran
Saya sarankan, jika Anda termasuk ke dalam golongan manusia maksum yang keberatan atau tidak setuju kata Islam disandingkan dengan kata Iran, maka Anda tidak perlu melanjutkan untuk membaca tulisan ini. Tapi jika tidak, mari teruskan.
Secara yuridis, sejak revolusi 1979, hukum yang diterapkan di Iran adalah hukum syariat. Namun perihal korupsi, Pemerintah Iran menganggap perbuatan tersebut tidak sekadar tindakan kriminal yang setingkat dengan pencurian biasa, sehingga hukuman yang diperlakukan bukan potong tangan, melainkan eksekusi mati.
Bahkan menurut CNN, sejak tahun 2015, ada lebih dari 800 orang yang dieksekusi mati di Iran, yang mana sebagian besarnya terjerat kasus korupsi terselubung. Salah satu yang cukup terkenal adalah kasus yang menimpa Babak Zanjani, seorang pengusaha minyak, sekaligus salah satu orang paling kaya di Iran.
2. Kerajaan Arab Saudi
Sudah tidak perlu disangsikan lagi, Arab Saudi bukan hanya menjadi tempat lahirnya Islam, tapi lebih dari itu, segelintir orang bahkan menganggap Arab Saudi adalah Islam itu sendiri. Tapi anehnya, selain perkara perbedaan mazhab yang tidak pernah usai, ternyata jika dibandingkan dengan Iran, hukuman yang diterapkan kepada koruptor di Arab Saudi juga memiliki perbedaan yang sangat kentara dengan rivalnya tersebut.
Jika di Iran koruptor dieksekusi mati, maka di Arab Saudi mereka mendapatkan tempat yang terhormat: ditahan di sebuah hotel mewah di Riyadh! “Sialan,” Anda mengumpat, “Kamu ini pasti sedang melakukan deislamisasi ya”.
Tidak, kawan, sama sekali tidak. Itu fakta. Kasusnya terjadi sekitar Desember tahun 2017 lalu, dan menurut BBC, Pangeran Miteb bin Abdullah, salah satu tersangka yang terjerat korupsi, bukan hanya ditahan di hotel mewah, tapi langsung dibebaskan setelah menyerahkan lebih dari US$ 1 miliar kepada negara.
3. Republik Islam Pakistan
Lain ladang lain belalang. Meski terkesan kuno dan usang, tapi peribahasa tersebut masih sangat relevan untuk melukiskan keadaan dunia kita hingga saat ini. Pakistan, negara yang disindir habis-habisan dalam novel Midnight’s Children karya Salman Rushdie ini, memang punya sejarah yang erat dengan Islam.
Sejak berpisah dengan India pada Agustus 1947 disebabkan karena perbedaan agama (sedih… ternyata bukan cuma cinta beda agama saja yang mesti berpisah) dan ditinggalkan Bangladesh sekitar Maret-Desember 1971 karena dipisahkan jarak (yah, jadi sedih lagi nih. Kasihan yang LDR), hingga saat ini Pakistan tetap teguh dengan menjadikan hukum Islam sebagai dasar negara.
Akan tetapi mengenai masalah korupsi, mereka punya sanksi yang terbilang unik. Sebagai contoh adalah ketika Perdana Menteri Nawaz Sharif terbukti korupsi pada tahun 2017 silam. Menurut VOA, pengadilan negara itu menjatuhkan vonis kepada Nawaz dengan mendiskualifikasinya dari aktivitas politik apa pun. Udah cuma digituin aja. Enak ya?
4. Republik Islam Afghanistan
Tidak dapat dipungkiri, Afghanistan adalah negara yang nyaris seluruh penduduknya memeluk agama Islam (99,7% menurut survey dari Few Research Center dengan data terbaru Mei 2017).
Selain itu, pada kurun waktu 1996-2001, negara ini juga pernah berada di bawah kekuasaan rezim Taliban. Namun perihal hukuman untuk koruptor, baru-baru ini Afghanistan yang notabenenya sebagai negara Islam itu, pernah belajar dari KPK yang tidak lain adalah lembaga antikorupsi dari negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Menurut BBC…
“Tunggu… tunggu!” Anda menyela. “Dari tadi kenapa sumber beritanya BBC, CNN, dan VOA melulu. Kamu pasti antek asing ya?”
Enggak kok, makanya baca dulu pertanyaan ketiga: “bagaimana negeri yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara sekaligus menerapkan Syariat Islam, seperti Aceh misalnya, menghukum seorang koruptor?”
Pertanyaan itu memang agak sulit, tapi sebenarnya bisa dijawab dengan argumen yang jauh lebih ilmiah dan berkelas dibanding jawaban untuk dua pertanyaan sebelumnya, yakni coba kita serahkan saja pada netizen.
Toh kebanyakan dari netizen telah mendahului keputusan resmi dari pengadilan dengan menjatuhkan vonis bahwa satu-satunya hukuman yang pantas bagi gubernur yang baru-saja terciduk Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Aceh adalah potong tangan, tidak ada yang lain.
Oh iya, itu kalau jawaban dari yang sumbernya dari komentar para netizen di situs-situs berita daring asli Indonesia yang berseliweran di Facebook atau Instagram soal berita OTT di Aceh lho ya. Sebab, bukannya gimana-gimana, komentar-komentar yang menghendaki potong tangan sebagai hukuman untuk para koruptor ini seolah-seolah begitu percaya kalau sistem hukum di Indonesia sudah benar-benar sudah bersih, akuntabel, dan terpercaya saja.
Kalau kemudian ada yang membela si tersangka OTT lalu bilang bahwa hukum di Indonesia tidak mengenal potong tangan untuk tindak pencurian atau korupsi, terus siapa yang lebih antek asing coba?