MOJOK.CO – Ayah baru saja diganggu jin penunggu garasi tua. Aku yang cuek-cuek saja pun terkena imbasnya: didatangi lewat mimpi tengah malam.
Keluarga kami pindah suatu hari ke sebuah kecamatan kecil di Semarang. Ayah cukup beruntung menemukan rumah yang cukup besar dan rasa-rasanya ideal untuk kami yang merupakan keluarga besar—sepasang suami-istri dengan 10 anak sekaligus.
Rumah yang kami tempati perlu dipugar di banyak tempat. Satu-satunya hal yang tak disentuh banyak-banyak hanyalah sebuah garasi yang letaknya terpisah dari bangunan rumah, tepat di sebelah kiri. Awalnya kupikir itu karena Ayah suka sesuatu yang vintage, tapi ternyata bukan demikian.
Dari kakak-kakak yang lebih tua, aku mendengar bahwa ada seorang penunggu di garasi tua tadi. Konon, si jin penunggu ini keberatan dengan kedatangan kami yang tiba-tiba menguasai area rumah. Aku menganggap hal ini mengerikan, tapi tak sepenuhnya ambil pusing karena tak merasa diganggu.
Sampai suatu hari, sesuatu terjadi. Ayah bangun pagi tanpa kesakitan, tapi ibu terkejut setengah mati. Pasalnya, di punggung ayah, terdapat sebuah bekas cakaran merah yang cukup panjang dan tampak mengerikan.
“Apa itu?”
Dibantu seorang paman, kami sekeluarga langsung mengetahui jawabannya: Ayah baru saja diganggu jin penunggu garasi tua. Jin ini marah karena Ayah nekat membangun rumah di sebelah tempatnya berdiam diri.
Di rumah baru kami yang berlantai dua ini, aku mendapat kamar di sisi kiri, lantai atas. Dinding kamarku tepat bersebelahan dengan garasi tua yang dimaksud tadi.
Nah, suatu malam, keanehan terjadi lagi. Seseorang tua datang ke mimpiku, wujudnya seperti kakek-kakek tua dengan sorban putih di kepala.
“Kamu siapa?”
“Aku penunggu garasi tua.”
“Kamu Muslim atau bukan?” tanyaku, asal saja. Si jin menggeleng, matanya menatapku dalam-dalam.
Terlalu sulit untuk mengingat detail mimpi, tapi aku ingat betapa si kakek ini bersikeras bahwa daerah rumah kami adalah daerah pribadinya. Dia memintaku untuk keluar dari rumah, beserta keluarga.
Perdebatan kami memanas sampai rasanya aku ingin menonjok kepalanya.
Saat tanganku sudah teracung, mataku terbuka. Aku baru sadar yang tadi hanyalah mimpi.
Mendadak, aku merasa merinding. Jam dinding menunjukkan pukul 1 pagi, dan tidak ada suara apa pun di seluruh penjuru rumah. Berkeringat dingin, aku turun ke lantai bawah, menuju dapur, bermaksud mengambil minum.
“Heh, ngopo kowe?”
Sebuah suara mengejutkanku. Kakakku, yang kamarnya tepat di bawah kamarku, sedang berjalan menuju dapur. Aku lantas mendekatinya dan bercerita tentang mimpiku.
“Loh, sama. Aku juga dimimpikan jin penunggu.”
“Wujudnya kakek-kakek?”
“Bukan,” sahut kakakku, sambil meneguk air putih, “wajahnya mengerikan. Rambut acak-acakan. Matanya merah. Tidak seperti manusia.”
Ancaman yang kami terima ternyata tidak ditanggapi main-main oleh Ayah. Dengan beberapa pertimbangan, beliau mencari cara terbaik agar kami tak lagi diganggu, apalagi aku dan kakakku memiliki kamar tepat di sebelah garasi tua. Singkat cerita, Ayah mendapatkan sebuah surat yang konon merupakan ‘surat perjanjian’ antara Nabi Muhammad saw. dengan bangsa jin.
“Apakah bisa berguna?”
“Dicoba saja.”
Surat ini kami tempelkan di rumah, khususnya di daerah-daerah dekat garasi tua. Harapan kami, jin penunggu garasi tidak lagi mengganggu.
Beruntungnya, sejak surat tadi digunakan, mimpi burukku dan kakak tak lagi muncul. Kakek-kakek bersorban atau makhluk berwajah aneh tak lagi menghantui mimpi kami. Ayah tak lagi bangun dengan bekas cakaran yang mengerikan.
Tapi, apakah jin penunggunya pergi?
“Tidak, dia masih di sana. Masih menunggui tempatnya sendiri, dan mungkin masih merasa kesal karena kalian ada di sini,” jawab paman kami. Paman bertanya apakah sebaiknya ia membantu kami mengusir si jin, tapi Ayah menggeleng dan berkata,
“Biarkan saja.”
Jadi begitulah, pada akhirnya, kami hidup berdampingan: keluarga manusia yang biasa saja dan seorang jin penunggu bermata merah yang sebenarnya ingin mengusir kami jauh-jauh.
Tolong doakan kami, ya. (A/K)