Vokalis Efek Rumah Kaca (ERK), Cholil Mahmud, memilih menyekolahkan anaknya di New York, Amerika Serikat, ketimbang di Indonesia. Mojok mencoba mengulik alasan atas pilihannya tersebut.
***
Pilihan menyekolahkan anak di New York sebenarnya motif sederhana: pertimbangan kemudahan jarak bersama keluarga. Sebab, saat itu Cholil Mahmud bersama istrinya juga sedang melanjutkan studi di Amerika.
Saat itu, Cholil dan istri sedang melanjutkan studi S2. Setelah sama-sama lulus, istri Cholil masih melanjutkan studi Doctoral dan Post-Doctoral. Sedangkan Cholil memilih tidak melanjutkan.
“Anak gue masih kecil, jadi gue lebih sering nemenin anak ke sekolah, belajar, masak, dan lain-lain,” cerita Cholil kepada Mojok..
Lalu saat anaknya sudah lebih besar dan lebih mandiri (sekitar kelas 8 SMP), Cholil mulai menerapkan sistem “terpisah”. Dalam satu tahun, ia akan menghabiskan enam bulan di Amerika untuk menemani sang anak. Enam bulan sisanya akan ia gunakan di Indonesia untuk kepentingan band (Efek Rumah Kaca) dan lainnya. Dari situ, Cholil merasa lebih mantap menyekolahkan sang anak di New York saja.
Sejujurnya, Cholil masih menyimpan rasa waswas saat menyekolahkan sang anak di New York. Kekerasan senjata api di Amerika menjadi bayang-bayang tersendiri. Bahkan sekolah pun bisa jadi sasaran.
“Kita itu selalu ada di dalam ambang mengambil keputusan-keputusan besar. Hari ini seperti apa, besoknya bisa saja tiba-tiba berubah dan kita harus sudah siap,” ujar Cholil. Itulah yang membuatnya tetap menyekolahkan anaknya di New York.
Cholil Mahmud Efek Rumah Kaca mensyukuri sekolahkan anak di New York
Awalnya waswas. Namun, seiring waktu, Cholil dan keluarga merasa ada beberapa keunggulan yang patut disyukuri dari menyekolahkan anak di New York. Salah satunya adalah social capital. Bahkan sang anak sendiri lambat-laun juga merasa lebih cocok sekolah di sana.
“Dengan dia sekolah di sana, dia dapat social capital dan itu menjadi penting,” kata Cholil.
“Orangtua kan sudah selesai dengan hidupnya, jadi gairah anak yang masih perlu mencari itu lebih butuh diberi wadah,” sambungnya.
Cholil Mahmud memang masih aktif nge-band bersama Efek Rumah Kaca. Namun, ia menegaskan bahwa anak menjadi prioritasnya dan istri saat ini. Cholil ingin mengupayakan apapun yang sang anak butuhkan.
Bahkan, jika sang istri berhenti bekerja sebagai pengajar di Amerika, sang istri tak akan tanggung-tanggung mengusahakan untuk mencari pekerjaan baru lagi di Amerika. Itu demi memfasilitasi kebutuhan sang anak.

Pendidikan di New York menjanjikan pertumbuhan yang lebih baik
Seiring waktu vokalis Efek Rumah Kaca itupun menyadari, ternyata ada banyak keunggulan sistem pendidikan di New York, sangat baik untuk menunjang pertumbuhan anak.
“Gue nggak mau mengeneralisir ya, tapi sering kali ketika ngobrol dengan anak-anak SMA di sana, daya pikir dan kemampuan mengutarakan pendapatnya sudah teratur,” beber Cholil Mahmud.
Beda dengan lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Menurut Cholil, terkadang cara mengutarakan pikirannya, untuk ukuran anak perguruan tinggi, masih belepotan.
Bukan tanpa sebab kenapa anak-anak usia SMA di New York memiliki cara pikir dan cara bertutur yang terstruktur. Bagaimana tidak, dari kelas 1 SD sekolah mewajibkan para siswa untuk membaca buku-buku cerita.
Dari buku tersebut para siswa ditugaskan untuk berdiskusi mengenai analisis konten buku, mulai dari sampul, judul, dan juga karakter dalam buku.
“Dalam diskusi itu ditanyakan karakter favorit siswa yang membaca, lalu apa yang akan mereka buat berbeda jika mereka yang menulis bukunya. Lalu juga betul nggak dugaan awal bukunya tentang apa dengan makna sebenarnya?” Papar Cholil.
“Bayangin dari kecil sudah digituin, ya nggak heran memiliki kemampuan beranalisis,” kata Cholil masih dengan kagum.
Oleh karena kemampuan analisis yang didapatkan dari sekolah di New York, Cholil akhirnya berani memberi kebebasan tertentu untuk anaknya.
Cholil Mahmud Efek Rumah Kaca, tak cemaskan soal “ke-Indonesia-an” anak
Sejak dini, putra tunggal Cholil sudah banyak terpengaruh oleh media Barat. Wajar saja jika sang anak memiliki keterbatasan dalam bahasa Indonesia.
“Setiap orang pasti memiliki keterbatasan-keterbatasan. Tetapi bahwa kemampuan berbahasa dia itu penting, itu pasti,” ungkap Cholil.
Anak Cholil menerima beragam pelajaran bahasa non-Indonesia. Selain fasih berbahasa Inggris, juga berlatih bahasa Spanyol hingga Prancis.
Kendati lebih banyak terpapar “Barat”, namun Cholil percaya, kelak seiring waktu sang anak akan memiliki pertimbangan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia juga sebagai bahasa leluhurnya. Sehingga ia tak terlalu mencemaskan perihal “ke-Indonesia-an” sang anak.
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.
Penulis: Mohamadeus Mikail
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Ildo Perunggu: Dari “Anak Kantoran” Jadi Full Time Drummer demi Tebus Waktu bersama Keluarga Kecilnya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












