Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Sesal Orang Jakarta Nyoba Punya Rumah di Desa: Niat Cari Ketenangan Berujung Frustrasi, Di Desa Banyak Tetangga Rese

Muchamad Aly Reza oleh Muchamad Aly Reza
7 Mei 2025
A A
Tinggalkan Jakarta demi punya rumah desa untuk cari ketenangan, berujung kena mental karena ulah tetangga MOJOK.CO

Ilustrasi - Tinggalkan Jakarta demi punya rumah desa untuk cari ketenangan, berujung kena mental karena ulah tetangga. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Punya rumah di desa pada awalnya adalah impian Umrotun (34) setelah merasa sumpek di Jakarta Pusat. Dia membayangkan kehidupan yang tenang dan guyub, sebagaimana gambaran hidup di pedesaan yang kerap dia dengar dan lihat di media sosial.

Namun, hanya satu tahun mencicipi punya rumah di desa, Umrotun menyerah. Gambaran kehidupan yang tenang dan guyub itu buyar ketika akhirnya menghadapi realita “jahatnya” kehidupan bertetangga di desa.

Iming-iming punya rumah di desa

Umrotun enggan bercerita latar belakangnya secara detail. Yang jelas, dia mengaku sudah tidak memiliki orangtua.

Umrotun menyusul kakak perempuannya ke Jakarta Pusat pada 2013 silam. Ikut sang kakak membuka warung kopi.

Di tahun yang sama, dia kenal dengan seorang laki-laki asal sebuah kabupaten kecil di Jawa Tengah, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan. Lalu mereka menikah pada 2014.

“Kami ngontrak di Jakarta Pusat. Saya setahun sekali diajak suami pulang kampung ke rumahnya. Tiap lebaran Idulfitri,” ungkap Umrotun, Selasa (6/5/2025).

Dari momen mudik lebaran itu, entah kenapa Umrotun merasa nyaman tinggal di desa suaminya di Jawa Tengah itu. Sanak saudara tampak saling peduli satu sama lain. Para tetangga pun tampak guyub.

Dari situ, Umrotun sering memancing-mancing suaminya, “Kenapa nggak nyoba punya rumah di desa saja? Toh ngejar hidup layak di Jakarta Pusat juga terlampau berat.” Tapi sang suami bergeming.

Kesempatan tinggalkan Jakarta Pusat untuk punya rumah di desa

Pada 2020, gelombang pandemi menghantam Indonesia. Perputaran ekonomi di banyak sektor mandek. Termasuk suami Umrotun pun mulai sepi proyek.

Saat mendengar kabar bahwa akan ada pembatasan skala nasional, sang suami tiba-tiba mengajak Umrotun pulang kampung. Situasi di Jakarta Pusat sangat mencekam dan serba tidak pasti.

Maka, daripada terjebak dalam mencekamnya Jakarta, mending pulang saja. Setidaknya kalau hidup di kampung sendiri, tidak akan takut kelaparan karena bahan pangan tersedia di ladang dan kebun.

Umrotun menyebut momen itu sebagai kesempatan punya rumah di desa (Walaupun saat itu masih pulang ke rumah mertua. Bukan rumah suaminya sendiri). Siapa tahu pula, setelah agak lama di rumah, suaminya berpikir tidak akan lagi kembali ke Jakarta Pusat: memilih menjalani hidup di desa sebagaimana yang Umrotun cita-citakan.

Tetangga julid dan suka gosip

Awal kepulangan mereka terasa sama seperti saat momen lebaran. Hangat dan penuh keakraban.

Akan tetapi itu tidak berlangsung lama. Sebab, watak asli orang-orang desa suaminya baru bisa Umrotun lihat setelah satu bulan tinggal.

Iklan

“Hidup seperti nggak punya privasi. Padahal waktu-waktu tertentu saya ikut ngumpul ibu-ibu. Tapi sekali aja nggak ikut, tiba-tiba kena nyinyir gini, ‘Mbok srawung. Hidup di desa itu harus srawung. Kalau nggak srawung itu sok kaya (istilah tetangga Umrotun: semugih)’,” ucap Umrotun mencoba menirukan ucapan para tetangga.

Umrotun tentu saja syok. Padahal dia sendiri merasa tidak begitu. Kebiasaannya di Jakarta, kumpul dengan tetangga kontrakan tidak terjadi setiap waktu. Sementara di desa, ngumpul ibu-ibu seolah harus diikuti setiap saat.

“Dan saya tahu, ibu-ibu di desa suami ternyata punya watak berwajah dua. Di depan orang ngebaik-baikin, tapi pas di belakang, digosipin sejahat-jahatnya. Saya nggak bisa kalau gitu-gitu. Ngurusin hidup apalagi pribadi orang lain, saya nggak bisa,” kata Umrotun.

Menyerah, hidup di Jakarta Pusat saja

Singkat cerita, banyak kejulidan dan kejahatan verbal yang dia dapati selama tinggal di rumah suaminya di sebuah desa di Jawa Tengah itu.

Bahkan Umrotun sendiri mengaku menjadi sasaran. Terutama karena dia tak kunjung hamil. Belum lagi secara ekonomi dia dan suaminya jauh dari kata mapan.

“Bayangan mereka, kalau hidup atau kerja di kota seperti Jakarta itu harus kaya kali ya,” gerutu Umrotun.

Setelah satu tahun, pada 2021 dia memaksa suaminya untuk lekas kembali ke Jakarta. Kendati situasinya masih belum menentu akibat pandemi. Padahal, suaminya justru sedang betah-betahnya tinggal di rumah di desa.

Dalam banyak aspek, Umrotun merasa bisa menerima kekurangan tinggal di pedesaan. Misalnya, fasilitas yang tidak sememadai di kota, aksesibilitas antar wilayah yang susah, dan sejenisnya.

“Kalau soal makan nggak bingung. Selain bisa ambil dari kebun sendiri, harga-harga juag cenderung lebih murah. Tapi soal satu itu (fakta kehidupan bertetangganya), saya nggak cocok,” tutur Umrotun.

Selama ini Umrotun merasa kalau kehidupan di Jakarta yang padat, serba terburu-buru, dan individualistik, adalah seburuk-buruk hidup yang harus dia jalani. Akan tetapi, setelah merasakan betapa ketenangan dan keramahan di desa suaminya hanya semu belaka dan penuh kepura-puraan, dia merasa hidup individualistik ternyata tidak buruk-buruk amat.

“Di TikTok saya juga nemu cerita serupa. Ada saja orang yang mengaku kalau hidup di desa itu nggak setenang dan seramah yang dikira. Di balik ketenangan ada kejahatan. Ramah-ramahnya palsu. Ramah di depan, menusuk di belakang,” tutupnya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Kerasnya Johar Baru Jakarta Pusat: Orang Tinggal di Kos Peti Mati demi Bertahan Hidup. Tidur Bareng Kecoa, Lalat Hijau, dan Bau Busuk atau liputan Muchamad Aly Reza lainnya di rubrik Liputan

 

 

Terakhir diperbarui pada 8 Mei 2025 oleh

Tags: jakartajakarta pusatrumah di desa
Muchamad Aly Reza

Muchamad Aly Reza

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Pasar Petamburan di Jakarta Barat jadi siksu perjuangan gen Z lulusan SMA. MOJOK.CO
Ragam

Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah

19 Desember 2025
Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa MOJOK.CO
Ragam

Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia

19 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Alumnus ITB resign kerja di Jakarta dan buka usaha sendiri di Bandung. MOJOK.CO
Sosok

Alumnus ITB Rela Tinggalkan Gaji Puluhan Juta di Jakarta demi Buka Lapangan Kerja dan Gaungkan Isu Lingkungan

12 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

elang jawa.MOJOK.CO

Raja Dirgantara “Mengudara”, Dilepasliarkan di Gunung Gede Pangrango dan Dipantau GPS

13 Desember 2025
UGM.MOJOK.CO

UGM Berikan Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak Banjir Sumatra, Juga Pemulihan Psikologis bagi Korban

18 Desember 2025
UAD: Kampus Terbaik untuk “Mahasiswa Buangan” Seperti Saya MOJOK.CO

UNY Mengajarkan Kebebasan yang Gagal Saya Terjemahkan, sementara UAD Menyeret Saya Kembali ke Akal Sehat Menuju Kelulusan

16 Desember 2025
Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat "Suami" bahkan "Nyawa" Mojok.co

Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”

19 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Pamong cerita di Borobudur ikuti pelatihan hospitality. MOJOK.CO

Kemampuan Wajib yang Dimiliki Pamong Cerita agar Pengalaman Wisatawan Jadi Bermakna

16 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.