Di dalam sebuah kamar ukuran 2×1 meter di Johar Baru, Jakarta Pusat (Jakpus), seseorang tidur meringkuk dengan nyaman.
Orang-orang boleh menyebutnya “kos peti mati yang tidak manusiawi”. Tapi bagi para perantau di pusat Ibu Kota Jakarta, kos yang hanya cukup untuk berbaring lurus itu sudah cukup nyaman.
Sebab, bagi para perantau, indikator nyaman sebuah indekos bukan lagi soal fasilitas, seberapa bersih, maupun seberapa luas. Tapi harga murah.
Kos peti meti di Johar Baru, Jakarta Pusat itu sempat viral pada 2019 silam. Mengetahui keberadaannya, Pemerintah Kota Jakarta Pusat (Pemkot Jakpus) langsung menyegelnya. Alasannya: tidak berizin dan tidak manusiawi.
Padahal bagi para beberapa penghuni, yang akhirnya terpaksa hengkang dari kos tersebut, kos peti mati itu sudah sangat manusiawi. Bisa ngekos di harga Rp400 ribu di tengah harga-harga mahal kos-kos di Jakarta Pusat.
Rumah 2×3 meter untuk tinggal 13 orang
Kehidupan di Johar Baru memang cukup mencolok. Pasalnya, di dekat Istana Negara dan pusat Ibu Kota yang gemerlap, terpampang sebuah permukiman padat nan kumuh. Terutama di Kelurahan Tanah Tinggi.
Kos peti mati hanyalah satu ironi saja yang kasat mata. Jika masuk lebih dalam ke gang-gang sempit Johar Baru, ada sangat banyak pemandangan serupa kos peti mati.
Misalnya rumah Nenek Hasna di Kelurahan Tanah Tinggi yang viral pada penghujung 2024 lalu. Nenek 62 tahun itu tinggal di sebuah rumah berukuran 2×3 meter bersama 13 orang (terdiri dari anak, mantu, dan cucu).
Untuk tidur, Hasna biasanya akan bergantian dengan 13 keluarganya tersebut. Jika cucu-cucunya tidur malam, maka Hasna akan tidur pagi. Tidurnya pun sekadarnya: asal meringkuk di sudut-sudut rumah.
Syukur. Viralnya kisah Hasna mendapat atensi dari Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait. Dia lantas memberikan bantuan rumah baru yang lebih layak.
Kamar “busuk” di indekos Johar Baru Jakarta Pusat (Jakpus)
Sebelum akhirnya pindah ke Kemayoran, Wijayanto (30) pernah merasakan tinggal di sebuah indekos di Johar Baru, Jakarta Pusat, pada 2023 silam.
Wijayanto asal Subang, Jawa Barat. Di Jakarta Pusat, dia merupakan pekerja swasta bergaji UMR.
“Jika orang mendengar UMR Jakarta, pasti pikirannya gede. Memang gede. Tapi ada hal-hal yang juga harus dihitung,” ungkapnya, Minggu (13/4/2025).
“Biaya hidup mahal. Kalau untuk diri sendiri sebenarnya cukup-cukup aja. Tapi persoalannya, aku juga harus ngirim buat orangtua di rumah. Jadi aku harus meminimalisir pengeluaran,” sambungnya.
Termasuk persoalan kos. Wijayanto mencoba mencari yang harganya rendah.
Di Johar Baru, Wijayanto menemukan kos di harga Rp550 ribu. Kondisinya tentu jauh lebih baik ketimbang kos peti mati. Setidaknya untuk luasnya.
“Tapi lihat kondisinya mungkin kamu bisa muntah dan merinding. Dinding-dinding sudah berlumut. Include kasur dan bantal yang warnanya sudah hitam dan bau. Itu kan lembab ya, jadi bau lumutnya menyengat banget,” beber Wijayanto.
Belum lagi lampu yang remang-remang. Perpaduan yang komplet untuk menderita di Jakarta Pusat kalau kata Wijayanto.
Tidur dikerubungi kecoa, nyamuk, dan lalat hijau sudah biasa
Mojok meminta Wijayanto mengirim foto kos tersebut. Dia mengirimnya, tapi meminta agar foto itu tidak dimasukkan dalam tulisan ini. Riskan saja katanya.
Wijayanto lupa berapa persis ukuran kamar tersebut. Namun, cukup lah kalau untuk dua orang. Dengan catatan: mau agak berhimpitan.
Tampak di beberapa sudut lantai ada keramik yang sudah pecah. Ada ventilasi berupa dua buah jendela kecil.
Sementara di bagian luar kamarnya, terdapat kamar-kamar lain yang kondisinya sama buruknya: sandal-sandal berserakan, tong sampah amburadul bekas diocar-acir kucing, dan jemuran yang berderet.
“Jadi kalau di dalam kamar hidung diserang bau lumut. Kalau di luar kamar diserang bau tidak sedap lingkungan sekitar,” jelasnya. Apalagi lokasi kosannya juga tidak jauh dari aliran air berwarna hitam dan berbau menyengat karena dipenuhi sampah.
“Kalau tidur, nggak kehitung aku geragapan karena ada kecoa merayap di tubuhku. Kecoa itu masuk dari celah pintu,” ungkap Wijayanto. “Aku hanya kebal sama serangan nyamuk dan lalat hijau. Sekalipun dengungnya ganggu banget, tapi sepulang kerja, kalau sudah begitu capek, aku tetep bisa tidur.”
Tapi Wijayanto tidak kuat lama di indekos tersebut. Hanya dalam kurun tiga bulan, dia memutuskan pindah ke tempat lain di sekitar yang lebih baik, sebelum akhirnya pindah ke Kemayoran.
Tidak bisa hidup tenang di Johar Baru Jakarta Pusat (Jakpus)
Cerita lain dituturkan oleh Husnan (28). Kala masih kuliah di sebuah kampus Jakarta Pusat, dia membetah-betahkan diri untuk ngekos di Johar Baru. Husnan enggan menyebut detail lokasinya. Riskan.
Waktu itu (pada 2015), atas informasi dari teman kuliahnya, masih ada kos-kos murah di Johar Baru. Meski kondisinya tidak jauh dengan kos milik Wijayanto.
“Yang penting bisa buat tidur. Walaupun kalau panas ya kepanasan, kalau hujan ya kebocoran haha,” kata pemuda asal Depok tersebut.
Hanya saja, tinggal di Johar Baru memang tidak bisa tenang karena persoalan kondusivitas lingkungan. Selain miris lantaran situasi sosial dan ekonomi setempat yang “tak manusiwai”.
“Kebanyakan pemulung di sana itu. Terus secara sosial, kawasan ini seperti Mexico untuk menggambarkan kengeriannya,” katanya.
Selama 4,5 tahun tinggal di sana, sudah tidak terhitung dia mendapati tawuran antar-geng. Beberapa kali dia berpapasan ketika hendak pulang kos. Itu membuatnya harus putar balik, pergi menjauh untuk mencari titik aman.
Beberapa kali pula tawuran terjadi di jalanan kampung kawasan kosnya. Riuh sekali. Kalau sudah begitu, Husnan hanya bisa meringkuk di kamar sambil berdebar.
Karena diam di kamar pun bukannya tanpa risiko. Lemparan batu sering kali mengenai genteng dan dinding-dinding kosannya.
“Nyaksiin juga penangkapan bandar atau kurir narkoba. Nyaksiin warga panik karena motor atau barang berharganya di rumah hilang. Bahkan, tetangga kamarku ada yang kehilangan laptop,” imbuhnya.
4,5 tahun yang ngeri-ngeri sedap di Johar Baru. Setelahnya, Husnan memutuskan kembali ke Depok.
700 rumah tak layak huni
Demikianlah citra Johar Baru, sebagai daerah padat nan kumuh di tengah gemerlapnya Jakarta Pusat.
Untuk mengatasi kontras tersebut, Menteri KKP, Maruarar Sirait mencanangkan renovasi untuk 700 rumah tak layak huni (RTLH) di Johar Baru. Dimulai per Selasa (15/4/2025) ini.
Mengutip laporan Kompas.com, Menteri KKP menggandeng Bos Agung Sedayu Group (ASG) sekaligus Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Sugianto Kusuma alias Aguan, dan 200 unit lainnya oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, untuk merenovasi ratusan RTLH itu.
Pada tahap pertama (April 2025), ada 148 rumah yang akan direnovasi. Sisanya digarap di tahap kedua pada November 2025.
Sementara untuk menjaga keamanan di Johar Baru, pihak kepolisian setempat tidak henti-hentinya menggalakkan sosialisasi dan patroli.
Seperi yang terjadi pada Senin (14/4/2025) lalu. Tim Patroli Perintis Presisi Sat Samapta Polres Metro Jakarta Pusat menggagalkan potensi tawuran antar-geng remaja. Senjata yang dibawa ngeri-ngeri: stik golf hingga celurit. Kalau tawuran pecah, sangat mungkin jatuh korban jiwa.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cakung Jakarta Timur Memang Ber-UMR Besar, Tapi Hidup di Sini Penuh Ketidakpastian dan Harus Waswas Tiap Saat atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan