Salat Tarawih tengah malam di Indonesia memang seolah menjadi barang langka. Sebab, umumnya masjid-masjid menggelar jemaah salat Tarawih setelah salat Isya berlangsung.
Salah satu masjid yang menggelar jemaah salat Tarawih tengah malam adalah Masjid Gedhe Kauman, Jogja. Mojok mengikuti secara langsung pelaksanaan salat Tarawih tengah malam di Masjid Gedhe Kauman yang sarat akan kekhusyukan.
***
Selepas berbincang agak panjang dengan pengurus takmir Masjid Jendral Sudirman, Jogja, saya kemudian pamit geser ke Masjid Gedhe Kauman. Selain Masjid Gedhe Kauman, sebenarnya ada satu masjid lain yang terkenal dengan Tarawih tengah malamnya, yakni Masjid Gedhe Kotagede.
Namun, saya memilih Masjid Gedhe Kauman atas pertimbangan dari pengurus takmir Masjid Jendral Sudirman yang saya temui lebih dulu malam itu, Sabtu (16/3/2024).
Saya tiba di lokasi sekitar pukul 00.00 WIB dengan gerimis tipis-tipis. Masjid Gedhe Kauman tampak sunyi. Pintu gerbang, baik gerbang utama maupun gerbang sisi utara dan selatan masjid masih tergembok.
“Bukanya nanti jam dua (dini hari), Mas,” ucap Muhdi (50), seorang pria yang saya temui di kawasan masjid.
“Kayaknya sedang rembug (diskusi) soal takbir keliling lebaran nanti,” jelas Muhdi. Lagi pula malam itu malam Minggu. Remaja-remaja itu tentu bisa leluasa bergadang karena esok hari tak ketanggungan berangkat sekolah.
Tarawih tengah malam Masjid Gedhe Kauman hanya diikuti orang tua
Muhdi penasaran kenapa saya bela-belain menerabas gerimis di tengah malam demi salat Tarawih tengah malam di Masjid Gedhe Kauman, Jogja. Mengingat, kata Muhdi, jemaah yang ikut Tarawih tengah malam pun adalah dari kalangan orang-orang tua.
“Saya Tarawih-nya juga di sini (Masjid Gedhe Kauman, Jogja). Tapi saya ikut yang tadi, Mas, yang habis Isya,” ungkap Muhdi.
Sebagai informasi, maksud Tarawih tengah malam di sini bukanlah menggeser Tarawih dari waktu Isya ke tengah malam. Melainkan, Masjid Gedhe Kauman, Jogja membagi waktu pelaksanaan salat Tarawih menjadi dua sesi.
Sesi pertama berlangsung selepas salat Isya, jam tujuh atau setengah delapan malam. Lalu sesi kedua berlangsung pada jam dua dini hari.
“Kalau yang jam habis Isya ramai. Tapi kalau yang tengah malam paling cuma 10-an orang apa ya,” terang Muhdi.
“Itu pun cuma orang-orang tua,” sambungnya.
Kata Muhdi, salat Tarawih tengah malam di Masjid Gedhe Kauman, Jogja bisa ramai di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Jemaah yang datang dari orang Kauman sendiri bahkan hingga dari luar Jogja. Hanya saja, kata Iwan, tetap saja vibes-nya tak bisa menyamai suasana sepuluh malam terakhir Ramadan di Masjid Jogokariyan.
Mencari kekhusyukan di Masjid Gedhe Kauman Jogja
Jam berlalu, tak terasa sudah masuk jam dua dini hari. Saya mengikuti langkah sepasang suami istri yang berjalan menuju pintu samping selatan Masjid Gedhe Kauman, Jogja. Salat Tarawih sudah akan dimulai, saya pun lekas mengambil wudu, lalu ikut berada di satu saf yang hanya berisi empat orang jemaah laki-laki.
Jika ditotal, ada enam jemaah laki-laki (termasuk imam) dan dua jemaah perempuan yang dini hari itu mengikuti salat Tarawih di Masjid Gedhe Kauman, Jogja: salat Tarawih dengan total delapan rakaat+tiga rakaat Witir.
Suasana masjid terasa sangat khidmat. Hanya ada satu suara yang menggema, yakni bacaan-bacaan salat dari imam yang bergema dalam keheningan Masjid Gedhe Kauman, Jogja. Saya cukup menikmati, meski pada dasarnya saya termasuk golongan orang yang “tak terbiasa” dengan bacaan salat yang lama dan panjang.
Sejak masuk masjid, ada satu sosok yang memang sudah membuat perhatian saya tercuri, yaitu seorang anak muda yang perawakannya mirip dengan saya. Cukup mencolok karena yang lain adalah jemaah dari kalangan orang tua.
Namanya Bima (20), mahasiswa semester 4 Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), asalnya dari Malang, Jawa Timur.
“Aku sebenarnya baru tahu kalau ada masjid yang Tarawih-nya tengah malam di Jogja. Jadi per hari ini mungkin bakal lebih sering cari masjid di Jogja yang Tarawih-nya tengah malam,” ungkap Bima saat duduk bersama saya di teras Masjid Gedhe Kauman tak lama setelah salat Tarawih usai.
Alasannya, Bima hanya ingin menikmati ibadah yang hanya ada di bulan Ramadan itu (Tarawih) dengan penuh kenikmatan dan kekhusyukan. Dan baginya, ia hanya bisa menemukan hal tersebut ketika dalam kondisi yang hening nan sunyi.
Awalnya, Bima memilih mengerjakan salat Tarawih secara munfarid (sendiri) di kosannya, demi mendapatkan suasana ideal seperti yang ia inginkan. Akan tetapi, setelah mengetahui ada masjid yang mengerjakan salat Tarawih tengah malam, ia pun tentu tak ingin pula melewatkan pahala berjemaah. Heningnya dapat, pahalanya pun juga dapat.
“Habis ini langsung ke Masjid Jogokariyan untuk nyari sahur gratis, nyambung Subuh di sana, terus baru balik ke kos,” tutur Bima. Sesaat kemudian, Bima berpamitan. Ia mengayuh sepedanya meninggalkan kawasan Masjid Gedhe Kauman.
Berpindah dari satu titik ke titik lain di Jogja memang sudah empat semester ini Bima lakukan dengan bersepada. Ngepit kalau istilah orang-orang Jogja. Sosok yang menarik.
Dulu untuk memfasilitasi pekerja malam, sekarang…
Saya berniat sekalian menunggu Subuh di Masjid Gedhe Kauman, Joga. Toh saya juga sudah mengganjal perut untuk sahur dengan mie instan saat nongkrong di angkringan Iwan sebelumnya.
Oleh karena itu, saya mengambil posisi duduk yang enak untuk menikmati keheningan Kauman. Sampai kemudian, Arsyad (50), salah seorang pengurus takmir Masjid Gedhe Kauman, Jogja mengambil duduk di dekat saya.
“Sehari-hari ya memang cuma segini yang ikut Tarawih (tengah malam). Kalau nggak sepuluh orang, lima orang, kadang juga blas nggak ada orang,” tutur Arsyad.
Arsyad mengaku tak terlalu paham detil sejarah sejak kapan salat Tarawih di Masjid Gedhe Kauman terbagi menjadi dua sesi. Namun yang jelas, adanya sesi tengah malam tidak lain adalah untuk memfasilitasi orang-orang yang bekerja di malam hari dan tak sempat ikut salat Tarawih di waktu Isya.
Sehingga, orang-orang tersebut mendapat kesempatan untuk mengerjakan salat Tarawih berjemaah di tengah malam.
“Harusnya Tarawih sendiri di rumah kan nggak masalah. Cuma secara hati, pasti kurang mantep saja rasanya kalau nggak Tarawih berjemaah. Soalnya kan cuma ada di bulan Ramadan,” kata Arsyad.
Keterangan Arsyad senada dengan yang saya dapat dari Iwan sebelumnya. Karena saat masih bekerja di sebuah hotel di Jogja dan sering sampai malam, Iwan merasa terbantu dengan adanya salat Tarawih tengah malam di Masjid Gedhe Kauman, Jogja.
Selain itu, Tarawih tengah malam di Masjid Gedhe Kauman juga sering kali dimanfaatkan oleh orang-orang tua atau bapak-bapak yang kelelahan setelah bekerja seharian. Sehingga, setelah Magrib atau Isya mereka memilih tidur lebih dulu untuk menghilangkan lelah. Lalu akan bangun jam dua dini hari untuk ikut salat Tarawih tengah malam sekalian menunggu Subuh.
“Tapi kalau sekarang lebih ke, nuwun sewu, buat mantesi saja. Maksudnya sudah terlanjur ada jadwal Tarawih tengah malam, masa nggak ada yang datang,” ucap Arsyad.
Tarawih tengah malam asli sunnah Rasul
Terlepas dari motif-motif di atas, secara agama, Tarawih tengah malam pada dasarnya merupakan sebenar-benarnya sunnah Rasulullah Saw di bulan Ramadan. Begitulah yang KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) terangkan dalam salah satu ceramahnya.
Kata Gus Baha, Tarawih tengah malam adalah sunnatun muttaba’: sunnah yang memang ada silsilah hukumnya langsung dari Rasulullah Saw.
“Ada Tarawih jam sepuluh, jam sebelas malam ada juga yang di waktu sahur, ya karena awal dari hadits Tarawih itu mengacu pada hukum qiyamul lail (mendirikan salat malam),” terang Gus Baha seperti yang Mojok kutip dari kanal YouTube Basuh Hati. Dan yang namanya qiyamul lail, waktu afdalnya memang di tengah malam hingga sepertiga malam.
Itulah kenapa di zaman sekarang, khususnya di Timur Tengah, masih banyak masjid-masjid yang menggelar salat Tarawih di tengah malam lantaran mengacu pada hukum tersebut.
Sedangkan di Indonesia, kenapa kemudian Tarawih lebih lazim berlangsung di awal waktu Isya tidak lain karena mengikuti hukum adat (kebiasaan). Apakah itu salah? Tentu tidak.
Tapi kata Gus Baha, akan lebih baik jika tidak meninggalkan sama sekali hukum asalnya, yakni salat Tarawih tengah malam
“Hukum adat jangan sampai menggantikan hukum yang ikut aturan Rasulullah, yaitu tengah malam (waktu sahur). Karena tengah malam itu waktu yang bisa mendekatkan pada Allah Swt,” jelas Gus Baha. Kira-kira mudahnya seperti itu.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel lainnya di Google News