“Anak-anak PSHT kalau ada demo gini kemana, sih?,” ucap salah seorang kawan, sebut saja Pratama (25), kepada kawan lain bernama Ahmad (26), Minggu (23/3/2025). Ahmad sendiri merupakan pesilat PSHT.
“Padahal, tenaga mereka ini pasti bakal membantu banget lho. Apalagi pesilat ini kan militan dan solid banget ya. Kalau cuma lawan polisi mah, nggak seberapa itu,” sambungnya.
Kami cuma bisa saling menatap. Obrolan hening sebentar. Saya terdiam karena sedang berpikir keras, yang kemudian berkesimpulan kalau pernyataan tersebut ada benarnya juga.
Meski baru-baru ini gelombang unjuk rasa tengah menjalar di berbagai wilayah–termasuk di Jawa Timur, saya belum melihat massa aksi beratribut pesilat. Padahal, bisa saja mereka ikut turun ke jalan sebagai statement bahwa perguruan silat juga turut mengecam kezaliman rezim.
Pun, saya juga percaya dengan jumlah mereka yang besar dan militan, para pesilat–terutama PSHT–bisa menjadi tambahan kekuatan bagi massa aksi. Paling tidak, mereka lebih punya kapasitas untuk melindungi diri dari kekerasan aparat ketimbang massa aksi lain yang bukan pesilat.
Sementara Ahmad, yang masih diam, mungkin sedang merangkai kata-kata untuk menjawab, mengapa dirinya dan kawan-kawan pesilat yang lain kerap terlihat absen ketika demo berlangsung.
Sangat cair
Ahmad tak punya bantahan terkait “tuduhan” warga PSHT yang sering tak terlihat ikut unjuk rasa untuk melawan kebijakan pemerintah, seperti menolak revisi UU TNI. Padahal, demo bukan hal baru bagi mereka. Warga PSHT pernah beberapa kali melakukan demo, terutama jika itu menyangkut marwah perguruan maupun solidaritas antarwarga PSHT.
Misalnya, demo mereka di Mapolresta Tangerang dan Polres Mojokerto. Dua aksi unjuk rasa ini sama-sama menuntut keadilan atas teman mereka yang mengalami tindak kekerasan.
“Makanya kerap juga mendengar orang pada ngomong kalau kami ini solid tapi tidak kritis. Bertindak kalau disenggol aja, tapi nggak mau berurusan sama pemerintah,” kata dia.
Namun, imbuh Ahmad, yang kurang dipahami awam adalah, PSHT itu sangat cair. Kalau sudah menyatu dengan masyarakat, para pesilat ini bisa menjadi siapa saja dan apa saja.
“Karena itu juga orang-orang berpikirnya kami itu melulu soal silat aja. Padahal di masyarakat, ya kami ini bisa apa aja. Bisa jadi anak sekolahan, jadi mahasiswa, buruh, bahkan dosen, politisi, atau bahkan polisi,” jelasnya.
Oleh karena itu, pandangan politik satu pesilat dengan pesilat yang lain juga tak bisa dipukul rata. Ada yang melek politik, tapi ada juga yang tidak. Ada yang pro pemerintah, ada juga yang kontra.
Yang Ahmad pahami, sebagai sebuah organisasi, PSHT memang membebaskan para pesilatnya untuk memiliki preferensi politik tertentu. Dalam artian, tak ada pengekangan kamu harus kiri atau kanan, atau nyoblos politisi mana saat pemilu.
“Benar, sebagai sebuah organisasi, sikap PSHT itu satu. Tapi sebagai warga negara, ya kami adalah pribadi dengan pilihan masing-masing.”
Banyak kok yang ikut demo, tapi memang tanpa atribut PSHT aja
Sementara terkait demo, Ahmad sendiri menjelaskan kalau sebenarnya ada banyak warga PSHT yang mengikuti demo melawan pemerintah. Hanya saja memang mereka tak memakai atribut perguruan.
“Aku ajalah contohnya. ‘Kan juga sering banget ikut demo,” kata Ahmad. “Tapi tetap saja aku nggak bisa membawa atribut PSHT, karena ikut demo ini adalah pilihan pribadiku,” imbuhnya.
Ia menambahkan, beberapa kawannya yang kuliah di luar daerah, juga beberapa kali mengikuti aksi demonstrasi. Dan, sama seperti Ahmad, mereka tak ada yang membawa atribut PSHT. Mereka biasanya menyatu dengan identitas massa yang mengikuti demo.
“Ya karena kebanyakan teman-temanku mahasiswa, mereka demonya ikut identitas gerakan mahasiswa. Pakai bendera ormawa seringnya, tanpa pakai embel-embel perguruan. Yang anak supporter, demo ya pakai atribut suporter juga,” kata Ahmad.
“Takutnya kalau kami bawa atribut PSHT sementara dari perguruan nggak ada komando apa-apa, dikiranya itu sikap organisasi. Padahal itu sikap personal masing-masing pesilat.”
Melawan polisi yang ternyata sama-sama jebolan PSHT
Seperti yang sudah Ahmad jelaskan, ketika berada di luar perguruan, warga PSHT bisa menjadi siapa saja. Entah menjadi buruh, mahasiswa, guru, bahkan polisi. Sebab, ya, pada dasarnya warga PSHT adalah masyarakat pada umumnya juga.
Terkait hal ini, Ahmad sendiri memiliki pengalaman unik. Pada aksi demonstrasi Tolak Omnibus Law di Jalan Malioboro 2021 lalu, terjadi chaos. Bentrokan antara massa aksi dan polisi tak terhindarkan.
Ahmad yang berada di barisan massa, nyaris tertangkap polisi. Ia dikepung dua orang polisi dan sudah ditarik menuju Gedung DPRD DIY. Dalam situasi terpojok itulah ia mengumpat dengan dialek yang khas Jawa Timur-an.
“Kemudian ya terjadi obrolan. Ditanya ‘kamu dari mana asalnya?’ gitu-gitu. Sampai akhirnya menyadari kalau kami sama-sama warga PSHT,” jelasnya.
Pada momen itu, yang terjadi adalah mencoba saling memahami. Polisi tersebut, mencoba memahami posisi Ahmad sebagai warga negara yang marah atas kebijakan pemerintah.
“Sementara aku juga memahami posisinya sebagai polisi yang cuma menjalankan komando atasan,” kata dia. “Tapi pada akhirnya aku dilepasin sih, nggak jadi ditangkap atas nama solidaritas perguruan. Hahaha.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Duka Jadi Atlet Pencak Silat dari PSHT, Cuma Fokus Latihan tapi Setiap Ada Kegaduhan Ikut Khawatir atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.