Sumber mata air adalah “jantung bumi”. Jika sudah tak berdetak, maka kehidupan akan musnah. Kesadaran itu–disadari atau tidak–telah mengakar sebagai tradisi hidup sejumlah masyarakat di lereng Muria, Kudus. Dan agaknya perlu ditiru untuk menjaga keberlangsungan hidup bersama: manusia, flora, dan fauna, karena ancaman krisis air global kian nyata.
***
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa air adalah salah satu sumber utama kehidupan. Sayangnya, manusia kerap abai untuk merawat sumber mata air itu sendiri. Manusia kelewat terlena, menganggap bahwa sumber daya alam tidak ada limitasinya. Mengiranya sebagai pasokan tak terbatas.
Menusia bukannya tidak diingatkan, baik oleh alam atau hal-hal sederhana di sekitar. Contoh paling sederhana adalah saat air keran mati. Coba renungkan, baru air keran saja yang mati, kita kerap langsung kelabakan. Bingung kalau mandi pakai apa, cebok pakai apa, dan seterusnya.
Apalagi, saat tiba musim kemarau panjang. Saat air mulai langka, orang-orang akan bersusah payah mengantre demi mendapat setetes demi setetes air di ceruk-ceruk kecil di bawah bebatuan. Mengais sisa-sisa air di sungai yang sudah kerontang.
Antre panjang, medan terjal, potensi saling berebut, tak mereka hiraukan. Sebab, orang-orang butuh air. Dalam situasi seperti itu, kebutuhan untuk minum dan masak harus tetap mereka penuhi kalau tak ingin lebih cepat mati.
Ancaman krisis air di Indonesia 2045
Masalah kelangkaan air bersih semakin nyata saat kita menyadari pola cuaca yang semakin sulit diprediksi. Kadang hari ini panas luar biasa, besok tiba-tiba mendung seharian.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap perubahan iklim yang semakin ekstrem memicu kelangkaan atau krisis air bersih dan ketahanan pangan di Indonesia.

Bahkan laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2020 mencatat krisis air bersih akan terjadi di beberapa wilayah Indonesia di tahun 2045 mendatang jika tidak ditangani mulai sekarang.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan Indonesia kini mengalami masa kritis dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Tak hanya krisis air bersih, tapi juga banjir dan kekeringan akibat pemanasan global.
“Masalah besar yang kita hadapi adalah ketimpangan antara pasokan air yang berlimpah saat musim hujan. Namun langka ketika dibutuhkan di musim kemarau,” ucapnya dikutip dari laman resmi BMKG, Sabtu (18/10/2025).
Untuk menghadapi ancaman tersebut, Dwikorita menawarkan dua solusi utama. Pertama, restorasi sungai dengan memperbaiki ekosistem yang rusak. Kedua, pemanenan air hujan terutama di wilayah-wilayah yang sudah mengalami kekurangan air bersih.
Persahabatan beringin dan sumber mata air di lereng Muria
Kelompok masyarakat di daerah-daerah lereng Muria, Kudus mencontohkan bagaimana seharusnya manusia menjaga mata air. Dimulai dari kelompok kecil, lalu merambah menjadi kesadaran kolektif.
Baca juga serial Ekspedisi Tirtamuria lainnya:
- Pohon Beringin, “Si Angker” yang Menyelamatkan Sumber Mata Air di Lereng Muria
- Mata Air Abadi di Lereng Muria: Terus Mengalir dalam Pengkeramatan, Jadi Warisan Hidup untuk Anak-Cucu
- Menghidupkan Kembali Air Muria
- Tapa Ngeli hingga Akidah Muttahidah Sang Wali Lingkungan, Menjaga Alam Muria dari Pengrusakan
Dari perjalanan tim Ekspedisi Tirtamuria menyinggahi beberapa titik di lereng Muria, pelajaran pertama yang tim catat adalah perihal “persahabatan” antara pohon dan sumber mata air. Pohon beringin akan senantiasa melindungi keberadaan mata air. Karena pohon beringin juga butuh pasokan air.
Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Semarang (UNNES), Andhina Putri Heriyanti menerangkan, pohon beringin dan sumber mata air memang tak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan simbiosis ekologis yang saling menguatkan.

“Pohon beringin tidak sekadar berada di dekat mata air, tetapi ia secara aktif menjaga, melindungi, dan melestarikan keberadaan sumber air tersebut,” ujar Andhina kepada tim Ekspedisi Tirtamuria, Kamis (16/10/2025).
Ia menjelaskan pohon beringin merupakan tanaman yang sangat “rakus” air atau hidrofilik, mengingat pertumbuhannya yang masif. Sifatnya itu tak terlepas dari rupanya yang berdaun lebat, serta akar tunggang yang menyebar luas dan membentuk jaring untuk menopang pohon.
Oleh karena itu, ia lebih nyaman hidup di dekat sumber mata air. Sebab, sumber mata air menyediakan pasokan air yang konstan dan melimpah. Pasokan itulah yang dibutuhkan oleh sistem perakaran pohon beringin.
Pohon beringin: rumah, spons dan pipa alami raksasa
Di sisi lain, lanjut Andhina, pohon beringin juga memberikan manfaat luar biasa bagi kelestarian sumber mata air yakni sebagai “spons” dan “pipa” alami raksasa. Di mana ia mampu mencegah erosi oleh air hujan dan menstabilkan struktur tanah, karena tingkat penguapan (evaporasi) menjadi sangat rendah. Lebih dari itu, ia adalah rumah bagi keanekaragaman hayati.
“Secara langsung, tidak ada satu pun tanaman yang bisa 100 persen menggantikan seluruh fungsi ekologis, hidrologis, dan budaya pohon beringin secara sempurna,” ucap Andhina.

“Akan tetapi ada alternatif yang bisa dijadikan referensi. Mengacu pada kemiripan terkait kombinasi perakaran, tajuk, dan toleransi air dengan pohon beringin, pohon trembesi, pohon aren, bambu dan pohon kepuh juga bisa menjadi pohon untuk menjaga sumber mata air,” lanjutnya.
Mitos dan falsafah kuno “penjaga” alam Muria
Selama di lereng Muria, tim Ekspedisi Tirtamuria memang bertemu sosok-sosok yang secara sadar memiliki kepedulian terhadap konservasi alam dan air. Antara lain Masyhuri dengan misi penghijauan Patiayam, Sahari dan masyarakat Rejenu di Japan dengan mata air “Air Tiga Rasa”-nya yang abadi, Wijanarko yang menjaga air sungai di belakang rumahnya terus mengalir, hingga teman-teman dari Yayasan Penggiat Konservasi Alam (PEKA) Muria di Colo, Kudus.
Selain itu, tim juga menemukan bagaimana pengetahuan lokal bisa menjadi pagar efektif agar alam tak dirusak. Misalnya, memitoskan pohon beringin sebagai pohon angker, pengkeramatan pada Air Tiga Rasa Rejenu, hingga falsafah-falsafah kuno yang menjelma menjadi pedoman kolektif.
Bagi Andhina, pengetahuan lokal tersebut sejatinya memang memberikan peran luar biasa penting untuk menjaga kelestarian sumber mata air oleh masyarakat sekitar.
“Cerita tutur lokal itu bukan sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan sebuah bentuk kearifan lokal yang canggih dan berfungsi sebagai sistem konservasi berbasis budaya,” kata Andhina.

Cerita lokal di luar Jawa
Cerita-cerita sebagaimana Sunan Muria menjadi Wali Lingkungan di lereng Muria ternyata tak hanya bisa ditemui di Jawa. Di provinsi lain pun ada, seperti Cerita Lubuk Larangan di Sumatera.
Lubuk larangan merupakan kawasan di sepanjang aliran sungai atau kolam yang telah disepakati secara adat untuk tidak diambil ikannya dalam jangka waktu tertentu. Ikan di lubuk tersebut tidak diambil selama setahun.
Setelah itu, warga akan menjalani tradisi bekarang (menangkap ikan) secara bersama-sama. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan seperti serkap dan sauk-sauk.
Tanpa warga sadari, adat ini ternyata bernilai konservasi. Yakni ketika warga menjaga keberlangsungan sebuah ekosistem, sehingga tidak serta-merta melalah habis isi sungai ketika ada kesempatan.
Begitu juga dengan falsafah kuno. Kata Andhina, makna falsafah kuno jauh lebih dalam dan fundamental dari sekadar slogan. Misalnya, falsafah Jawa “Hamemayu Hayuning Bawana” yang berarti, “Mengalir dalam hembusan alam atau memperindah keindahan dunia”.
“Artinya, tugas suci manusia untuk secara aktif memelihara, memperindah, dan mengusahakan keselamatan serta kesejahteraan dunia,” ucap Andhina.
“Ini bukan sekadar tidak merusak. Falsafah ini menempatkan manusia sebagai mandataris Tuhan yang memiliki tanggung jawab proaktif untuk merawat dan mempercantik alam semesta,” lanjutnya.
Jantung bumi yang harus dilindungi oleh tiap individu
Andhina menegaskan, sumber mata air bukan sekadar lubang berisi air, melainkan jantung dan fondasi utama bagi kelangsungan sebuah ekosistem darat. Kehilangan sumber mata air tidak hanya menyebabkan kekeringan, tetapi juga memicu keruntuhan ekologis secara berantai. Mulai dari dampak hidrologis, fisik, geologis, dan ekologis.

“Ketika sumber mata air mengalami degradasi serius dan bahkan kepunahan, maka ketersediaan air menjadi tidak stabil. Selanjutnya, terjadi erosi dan risiko longsor hingga hilangnya pusat kehidupan,” ucap Andhina.
Oleh karena itu, kata dia, menjaga kelestarian air adalah tanggung jawab bersama. Dan harus dimulai dari kesadaran individu. Ada beberapa aksi yang bisa dilakukan yaitu aksi di rumah, di lingkungan sekitar, serta aksi sebagai konsumen dan warga.
“Aksi di rumah misalnya, gunakan pancuran (shower) daripada gayung atau bak mandi, batasi waktu mandi, matikan keran saat tidak digunakan. Aksi di lingkungan sekitar, misal pemanenan air hujan, serta membuat lubang biopori,” tegas Andhina.
Tak hanya itu, Guru Besar IPB, Etty Riani menambahkan masyarakat perlu meminimalkan gas rumah kaca, misalnya dengan membiasakan diri jalan kaki atau mematikan AC jika tidak perlu. Yang tak kalah penting, ia berharap manusia dapat “menghutankan” lingkungan sekitarnya.
“Hutankan kembali hutan yang rusak dan upayakan menanam di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun,” ucap Etty mengutip keterangannya dari laman resmi IPB.
Ekosistem alam harus dikembalikan sediamula, sebelum perilaku interventif-ekstraktif manusia. Sebab, kata Etty, perubahan iklim yang ekstrem, urbanisasi yang pesat, pengelolaan lingkungan yang kurang tepat, dan pengelolaan sumber daya air yang kurang optimal akan membawa negara ini ada dalam situasi krisis air bersih.
Tulisan ini merupakan serial Ekspedisi Tirtamuria untuk edisi Oktober 2025
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mangrove, Garda Terdepan Ketahanan Pangan Pesisir Semarang yang Masih Diabaikan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












