Suasana hening tersaji di salah satu sudut Taman Budaya Embung Giwangan, Selasa (1/7/2025) siang WIB. Beberapa remaja tampak fokus menghadap laptop di meja masing-masing, lalu sesekali menuliskan sesuatu di kertas yang juga tersedia di meja. Mereka tengah fokus mengalihkaksarakan aksara Jawa, yang merupakan bagian dari Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025 antar kemantren oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta.
Tidak butuh waktu lama bagi Mutiara Sekar Arsanti (14) untuk menuntaskan proses tersebut. Tiara, sapaan akrabnya, sedari awal memang seperti tanpa beban. Tampak enjoy menikmati proses alih aksara itu.
Ternyata, remaja asal Gondokusuman, Kota Yogyakarta itu sudah ketiga kali itu mengikuti lomba-lomba yang berkaitan dengan aksara Jawa di Kota Yogyakarta.
“Lomba pertama juara, lomba kedua juga juara tapi nggak terpilih mewakili Kota Yogyakarta di tingkat DIY,” ucap Tiara saat ditemui Mojok.

Belajar aksara Jawa di Yogyakarta itu seru
Tiara mulai akrab dengan ha na ca ra ka sejak kelas 6 SD, karena memang termasuk dalam kurikulum mata pelajaran. Awalnya, dia mengaku kesulitan memahami cara menulis dan membaca aksara leluhurnya tersebut.
Namun, setelah dipelajari secara serius, Tiara malah merasa ada keseruan tersendiri dalam mempelajari aksara Jawa.
“Istilahnya, kayak kalau kita udah membuat suatu tulisan aksara Jawa, kita kayak membuat karya seni,” ungkapnya.
Kepada Mojok, Tiara dengan bangga mengatakan kalau saat ini dia sudah sangat lancar dalam beberapa hal: menulis, membaca, dan mengartikan aksara Jawa, walaupun masih di tahap kalimat atau teks pendek, bukan teks panjang.
“Dan menurutku belajar aksara Jawa itu nggak kuno sama sekali. Itu bagian dari budaya kita, jadi ya kita harus melestarikan,” sambungnya.
“Memang sudah sepatutnya aksara Jawa ditanamkan dan diperkenalkan sejak anak-anak, biar nggak hilang generasi yang melestarikannya,” sementara begitulah respons Sri Budi Barunawati (48), ibu dari Tiara, yang hari itu mendampingi Tiara di Kompetisi Bahasa dan Sastara 2025 itu.
Wati mengaku senang sang anak punya antusiasme besar dalam belajar aksara Jawa. Wati kini bahkan sedang mencari-cari komunitas di Yogyakarta yang memang bergiat di bidang aksara Jawa, lalu memasukkan Tiara ke sana agar pengetahuannya soal aksara Jawa bisa lebih dalam.

Ngurip-urip, bukan sekadar nguri-uri
Di Yogyakarta, ada sangat banyak komunitas dan pegiat yang bergerak di bidang pelestarian aksara Jawa. Salah satu yang Mojok temui di Taman Budaya Embung Giwangan siang itu adalah Joko Elisanto (57).
Kata Joko, nasib aksara Jawa di Yogyakarta memang jauh lebih beruntung. Sebab, banyak elemen—mulai dari pemerintah hingga komunitas—yang terus menjaga eksistensi aksara leluhur ini. Baik melalui kompetisi yang digelar oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta maupun pelatihan-pelatihan di level komunitas.
“Kalau saya begini, untuk aksara Jawa jangan sekadar nguri-uri. Tapi ngurip-urip. Kalau ngurip-urip, berarti juga menjadi laku hidup sehari-hari,” jelasnya.
“Pengajaran sekarang juga harus diubah dari zaman dulu, terutama di ranah filosofinya. Kalau dulu hanya sekadar diajari mitosnya, cara nulis, dan cara bacanya, sekarang juga harus mengajak anak-anak memahami nilainya,” sambung Joko.

Joko mencotonhkan: Ada banyak nilai hidup yang bisa dipetik dari aksara Jawa. Yakni, Ha yang bisa diartikan hidup. Ha juga punya format penulisan lain berupa wegnyan yang bisa diartikan pintar. “Hidup itu harus pinter,” jelas Joko.
Kemudian ada Ra yang bisa diartikan kebijaksanaan. Ra punya format lain berupa layar yang bisa diartikan rasa. Filosofinya, orang hidup itu harus memiliki rasa kebijaksanaan, dan lain-lain.
Aksara Jawa: simbol kepintaran leluhur
Filosofi-filosofi itu, lanjut Joko, menunjukkan bahwa leluhur masyarakat Jawa sejatinya adalah orang-orang pintar. Bahkan, naskah-naskah beraksara Jawa juga menyimpan ilmu-ilmu lain yang kini dianggap ilmu modern, misalnya ilmu sains.
“Misalnya mikroorganisme, di Jawa ada namanya lemi-lemi. Jadi kalau memahami aksara, memang banyak ilmu yang bisa diambil,” tegas Joko.
Hanya memang, tantangan saat ini adalah bagaimana membuat aksara Jawa terasa relevan dengan modernitas. Mengingat anak-anak sekarang lebih suka unsur-unsur yang berkaitan dengan produk modern.
“Misalnya, kalau di digital ada font aksara Jawa, dan macem-macem lah. Itu bisa membuat anak-anak bisa bergaya pakai aksara Jawa, dan akhirnya ikut melestarikan,” kata Joko.
Menarik minat orang luar negeri
Dosen Filologi UIN Raden Said Surakarta, Taufik Hakim, yang siang itu menjadi salah satu juri alih aksara Jawa turut memberikan pandangannya.
Menurutnya, tidak ada alasan bagi orang Jawa—khususnya—untuk tidak mempelajari aksara Jawa. Sebab, orang luar negeri (terutama kalangan akademisi dan peneliti) saja punya minat besar terhadap aksara leluhur tersebut.
Pasalnya, aksara Jawa yang termanifes dalam banyak naskah kuno, sejatinya bukan sekadar tulisan yang tersusun dari rangkaian ha na ca ra ka, tapi menyimpan banyak produk intelektual.
“Banyak pemikiran-pemikiran di sana: filsafat, tasawuf, politik, seni, sejarah, maca-macam lah,” jelas Taufik.
“Peter Carey bisa merekonstruksi sosok Diponegoro sedemikan rupa kan juga lewat naskah-naskah aksara Jawa,” sambungnya.

Harapan Taufik, hal ini sudah seharusnya disadari oleh penutur aslinya (orang Jawa), menjadi pintu gerbang penting yang harus dikuasai. Paling tidak untuk membaca riwayat leluhur sendiri.
Dalam obrolan itu, Taufik bahkan terpikir, saat ini—akademisi maupun pakar aksara Jawa—punya tanggung jawab untuk meraktualisasi warisan leluhur itu. Di antaranya dengan membiasakan menulis (misalnya) artikel, sastra, sejarah masa kini, atau lain-lain menggunakan aksara Jawa. Sehingga beberapa puluh tahun ke depan, khazanah naskah aksara Jawa menjadi lebih kaya.
Jadi tidak hanya sekadar jadi peneliti atas naskah yang sudah ada, tapi juga turut menjadi penulis demi menjaga eksistensinya.
3 suluh peradaban
Bahasa, sastra, dan aksara sejatinya adalah tiga suluh utama peradaban. Begitu perumpamaan dari Andrini Wiramawati, Kabid Sejarah Permuseuman Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.
“Bahasa ibarat sungai yang mengalirkan pesan leluhur, sastra adalah angin yang membawa hikmah dari generasi ke generasi, sementara aksara adalah jejak-jejak yang ditinggalkan masa lampau agar kita tidak lupa dari mana kita berasal, dan untuk apa kita bertumbuh,” beber Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, dalam sambutannya.
Yetti menegaskan, pelestarian ketiganya bukan sekadar kewajiban moral, melainkan strategi kebudayaan untuk menjaga jati diri di tengah arus global.
Kompetisi Bahasa dan Sastra di Yogyakarta: konsisten sejak 2019
Alih aksara Jawa sendiri merupakan satu dari beberapa cabang yang dilombakan dalam Kompetisi Bahasa dan Sastra 2025 oleh Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Beberapa cabang lain yang dilombakan yakni, maca geguritan, maca cerkak, sesorah, panatacara, alih aksara, mendongeng, hingga macapat.
Beberapa cabang lomba tersebut melibatkan berbagai jenjang usia, dari anak-anak, remaja, hingga dewasa.
Kompetisi Bahasa dan Sastra di Kota Yogyakarta sendiri telah berlangsung rutin selama enam tahun, sejak pertama kali digelar pada 2019.
Merujuk data Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, antusiasme masyarakat masih stabil tinggi dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2025 ini, tercatat ada 186 peserta yang terseleksi dari berbagai kategori usia, yakni anak, remaja, dewasa, dan umum.
Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menyiapkan total hadiah senilai Rp75 juta beserta trofi dan sertifikat bagi para pemenang di setiap kategori dan ada potensi terpilih mewakili Kota Yogyakarta dalam lomba di tingkat DIY dan berkesempatan mengikuti berbagai program kebudayaan kota.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kala Aksara Jawa Tak Lagi Menarik di Kalangan Anak Muda Indonesia, tapi Eksis di Dunia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan