Bagi banyak perantau, Stasiun Gambir, Jakarta, menjadi cinta sekaligus sakit hati pertama mereka di ibu kota. Ia adalah ikon. Banyak kisah bermula dari sini.
***
Berbekal uang Rp250 ribu, Muhammad Taufik berangkat ke Jakarta. Tahun 2014, uang segitu memang sudah cukup besar, apalagi di tempat asalnya, Tulungagung. Namun, ia juga beberapa kali diperingatkan kalau di Jakarta, uang tadi tak seberapa.
Tapi apa boleh buat, hasrat merantaunya sudah meronta-ronta. Dua tahun menganggur sejak lulus SMA pada 2012 membuatnya bakal melakukan apa saja untuk bisa berangkat ke Jakarta.
“Aku relain pinjam duit ke saudara, nggak bisa janjiin kapan mau balik, karena memang rasanya sudah pusing di rumah. Pengen segera kerja,” kisahnya kepada Mojok, Sabtu (12/4/2025).
Sebenarnya, Taufik belum tahu mau kerja apa di Jakarta. Lowongan kerja yang dilamar belum apa jawaban. Ia cuma ingat cerita dari teman-temannya yang pernah merantau ke ibu kota: “datang saja dulu, pasti nanti ada aja kerjaan.”
Kata-kata itulah yang bikin hati Taufik keukeuh buat berangkat. Ia pun berangkat via kereta api dari Stasiun Tulungagung, berganti kereta di Stasiun Balapan, hingga akhirnya menginjakan kaki untuk pertama kalinya di Stasiun Gambir, Jakarta.
Baru satu jam di Stasiun Gambir, sudah merasakan rasanya dipalak preman
Taufik tiba di Jakarta pada malam hari. Ia langsung menghubungi temannya di Jakarta, meminta untuk dijemput. Di kos-kosan temannya itulah ia akan menumpang sampai akhirnya mendapat pekerjaan.
Karena belum tahu seluk beluk ibu kota, Taufik tak berani kemana-mana. Selama menunggu, ia hanya berada di sekitaran Stasiun Gambir.
“Takjub aja sama Jakarta. Hidup banget, beda sama kotaku,” kata dia. “Dari Stasiun Gambir juga bisa nonton Monas, padahal selama ini cuma bisa lihat di HP sama TV.”
Sambil menunggu, Taufik pun menghabiskan waktunya dengan menyeruput kopi di warung kecil dekat stasiun. Rasanya masih seperti mimpi bisa tiba di Jakarta.
Sayangnya kekagumannya atas ibu kota tak bertahan lama. Beberapa saat kemudian, dua orang mendatanginya, meminta dibayarin kopi. Meskipun kaget, Taufik mengiyakan saja; itung-itung nambah teman, pikirnya.
Orang tadi juga menanyai Taufik banyak hal. Termasuk asalnya dari mana, mau ke mana, mau kerja apa kuliah, dan sebagainya. Sampai akhirnya, dua orang tadi memintainya uang.
“Kata mereka, ‘ingin selamat, kasih jatah yang lu punya’. Aku ditanya pegang uang berapa, aku jawab cuma 250. Eh, yang 200 diminta saat itu juga,” kata dia.
Taufik pun sangat shock. Bagaimana tidak, di tengah keramaian ada orang dengan terang-terangan memalaknya. Lebih nggak habis pikir lagi, orang-orang yang melihat itu cuma diam, tak ada yang membelanya.
Saat temannya tiba, Taufik menjelaskan apa yang dia alami. Temannya hanya tertawa sambil menjawab: “selamat datang di Jakarta!”.
Jakarta memang indah, tapi juga keras
Kejadian di Stasiun Gambir barusan menyadarkan Taufik. Jakarta memang indah, tapi ternyata juga sangat keras. Kerasnya Jakarta bukan cuma isapan jempol, malah melebihi apa yang pernah diceritakan orang-orang.
“Bagaimana nggak trauma, belum sejam di Jakarta udah dikasih selamat datang kayak begituan,” kata Taufik.
Untungnya, temannya bilang untuk tidak khawatir. Teman dia, yang lebih berpengalaman di Jakarta, bercerita kalau hal seperti tadi sudah biasa. “Bukan Jakarta kalau nggak keras,” ujarnya, menirukan petuah temannya itu.
Untungnya lagi, teman Taufik sangat baik. Selama di Jakarta, ia diperbolehkan menginap secara gratis. Sementara karena tidak memiliki uang lagi, Taufik terpaksa minta ditransfer orang tuanya.
Selama masih menganggur pula, kegiatannya amat monoton. Tidur, makan, jalan-jalan sekitar kos. Ada kalanya saat temannya pulang kerja, ia bakal diajak berkeliling ke beberapa tempat di Jakarta–termasuk mendatangi beberapa tempat yang sedang membuka lowongan kerja.
Sepanjang proses itu, Taufik kembali belajar hal lain. Peristiwa pemalakan di Stasiun Gambir nyatanya cuma satu dari sekian banyak sisi gelap Jakarta. Sebab, ia telah menyaksikan hal lain: tawuran, adu jotos antarpreman, seks bebas, sampai adu mulut di jalanan yang terjadi tiap saat.
Mudik terakhir
Meskipun keras, nyatanya Jakarta memang berjodoh dengan Taufik. Setelah hampir dua bulan nganggur, ia mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik. Sejak saat itu, ia sah jadi perantau di ibu kota.
Tak terhitung berapa lama dan berapa kali ia pindah pekerjaan. Ia bahkan juga pernah pindah pekerjaan ke Surabaya dan Jogja. Namun, karena hatinya sudah “terjebak” dengan Jakarta, akhirnya dia balik lagi dan bekerja di sana sampai hari ini.
“Jadi kalau boleh dibilang udah telanjur cinta sama Jakarta. Dan kisahku itu semua berawal dari Stasiun Gambir,” ungkapnya.
Sayangnya, tugas Stasiun Gambir sebagai titik start dan finish perjalanan kereta api jarak jauh di Jakarta akan purna. Melansir sejumlah pemberitaan, per 2025 rute jarak jauh di stasiun ini akan dihentikan.
Rencananya Stasiun Gambir akan dijadikan opsi naik turun KRL Jabodetabek. Sementara tugas melayani kereta jarak jauh akan diberikan kepada Stasiun Manggarai.
Pada lebaran kemarin, Stasiun Gambir menjadi stasiun paling sibuk kedua setelah Stasiun Pasarsenen. Ia melayani 216 ribu keberangkatan ke berbagai kota. Di media sosial pun, banyak netizen mengaku terharu karena lebaran kemarin bakal menjadi mudik terakhir di Stasiun Gambir.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Susahnya Merantau ke Glodok Jakarta Barat: Strategis buat Bisnis, tapi Omzet Ludes buat Ngasih Makan Preman dan Ormas atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.