Bagaimana rasanya kuliah di UNY? Menderita. Setidaknya, itulah kesan yang akan Anda dapat saat membaca artikel tentang UNY di Mojok.
Permasalahan UKT, kemiskinan, lulus jadi guru honorer, gaji kecil, adalah beberapa jenis penderitaan yang didapat seseorang setelah kuliah di UNY. Mungkin besok-besok akan muncul lagi artikel tentang betapa menyedihkan nasib lulusan kampus ini. Seakan-akan, masuk UNY otomatis sial.
Padahal, data berkata lain. Pada 2023 kemarin, ada 24.714 peminat UNY di SNBP. Tentu itu bukan angka yang menunjukkan “kampus sial”. Terhitung favorit, malah. Kau tak mungkin berpikir ada 24 ribu lebih manusia masuk ke kampus yang punya “aura kesialan”.
Perlu diakui, bahwa UNY adalah salah satu kampus pencetak guru terbanyak serta memang dikenal sebagai kampus pendidikan. Kalau kita mau sedikit melebar, UNY juga punya reputasi mentereng di bidang lain. Seperti, jurusan musiknya menghasilkan banyak nama beken, jurusan olahraganya yang terkenal, plus fasilitasnya yang keren.
Jika berpegang dengan fakta dan data tersebut, amat tidak masuk akal jika banyak mahasiswa “bernasib buruk” selama atau setelah kuliah di UNY. Tapi, inilah kenyataannya. Nestapa demi nestapa, muncul dari suara-suara mahasiswa. Ada yang perlu digali, ada yang muncul sendiri.
Pertanyaannya, kenapa?
Zona nyaman (?)
Tepat tengah malam, hape saya bergetar hebat. Ipank mengabari kalau dia sudah bisa ditelepon dan siap untuk diwawancara. Saya bergegas ke luar rumah, duduk di pembatas jalan, dekat pohon pisang agar suara percakapan kami tidak mengganggu putri saya yang masih tidur.
Sembari menghalau nyamuk, saya memulai percakapan dan langsung menembak pertanyaan demi pertanyaan ke Ipank. Ipank (bukan nama sebenarnya), adalah alumni salah satu jurusan bahasa di UNY 2011, dan melanjutkan studinya di Magister UGM. Oleh karena pengalamannya menempuh S2 di UGM inilah, dia tahu betul apa masalah UNY hingga ke tulang.
Menurut Ipank, kenapa kuliah di UNY kesannya bikin “sial”, terutama di dunia kerja, karena kampus ini tidak mengikuti dunia industri sama sekali.
“Kita ambil contoh UNY yang keliatan mata dan kita berdua alami lah. Kalau prodi bahasa cuman ngomongin kompetensi yang itu-itu doang, nggak bakal bisa melebar. Padahal ilmu harusnya bisa bersilang, bisa cross market. Tapi kan yang diomongin itu-itu doang. Giliran dikasih soft skill, soft skill-nya yang berkaitan dengan jurusan yang ngasih pelatihan tersebut. Ya harusnya nggak begitu. Soft skill-nya ya berkaitan dengan industri lain, yang menunjang.”
Kuliah di UNY bisa jadi spesialis, tapi…
“Itu jelas tanda tidak mengikuti dunia industri. Semua mahasiswa dipukul rata dipaksa jadi spesialis. Padahal dunia kerja sekarang tidak mencari spesialis. Lihat saja, dalam dunia manajemen, ada yang namanya enrichment. Karyawan tidak dibiarkan dalam satu bidang terlalu lama, muter. Makanya ada pengembangan SDM dan segala macem.
“Lihat saja, pengembangan SDM adalah salah satu bidang dengan bujet yang besar. Tapi kalau mahasiswa mentalnya dididik untuk spesifik atau khusus, ya opo sih. Start-nya jelas sudah kalah dengan calon pekerja yang punya kemampuan yang banyak.”
“Jadi ya, kuliah di UNY, abis itu lulus pada bingung. Lha wong loker spesialis jumlahnya dikit. Kelihatan banget kampus, prodi, dosen tidak memetakan industri. Makanya advertising kampus ya gitu-gitu aja: lulusan bahasa bisa jadi dubes, dosen, dsb. Lha, cara mainnya nggak gitu. Bukan bisa jadi apa, tapi industri mana yang (harusnya) butuh jasa kalian.”
“Ada sih softskill, kayak kewirausahaan, tapi yang ngampu dosen jurusan yang sama. Praktisinya mana? Sumpah, kampus harusnya butuh praktisi, agar bisa berbagi ilmu.”
Baca halaman selanjutnya