Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Kampus

Pembuktian Penyandang Autisme Kuliah di UGM Setelah Diremehkan hingga Tak Diakui di Keluarga Sendiri

Aisyah Amira Wakang oleh Aisyah Amira Wakang
14 April 2025
A A
Mahasiswa penyandang autisme UGM. MOJOK.CO

Pengalaman tiga orang mahasiswa difabel yang kuliah di UGM. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Selama ini, orang dengan penyandang disabilitas masih mendapat stigma buruk dari masyarakat. Mereka dianggap bodoh, tidak bisa apa-apa, dan kurang mandiri. Namun, tiga orang autism ini berhasil membuktikan dirinya dengan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogja.

Tiga mahasiswa penyandang autisme itu adalah Riani Wulan Sujarrivani, Siham Hamda Zaula Mumtaa, dan Muhammad Rhaka Katresna. Mereka berasal dari jurusan dan angkatan yang berbeda.

Dianggap bodoh dan tidak mandiri

Riani Wulan Sujarrivani atau yang akrab dipanggil Riani adalah mahasiswa prodi S1 Ilmu Tanah angkatan 2024. Sebelum mendaftar ke Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogja Riani telah didiagnosis Autism Spectrum Disorder (ASD). 

Sebagai penyandang disabilitas, ia sempat tidak percaya diri karena orang-orang di sekitar menganggapnya bodoh. Mereka sempat meragukan kemandirian Riani karena perbedaan yang ia miliki.

Untungnya, Riani tak patah arang. Berkat dukungan keluarga dan guru-gurunya, ia bisa menepis anggapan tersebut dan perlahan mulai berubah. Ia tak ingin omongan orang menjadi kenyataan, sehingga ia punya mimpi kuliah di UGM. Salah satu kampus terbaik di Indonesia.

“Orang tua bahkan sempat berhenti bekerja karena melihat perkembangan saya yang berbeda dan ingin mendampingi saya lebih dekat,” ujarnya di acara ULD UGM dalam rangka Memperingati Hari Kesadaran Autisme Sedunia, pada Jumat (11/4/2025).

“Ketika sekolah, saya juga mendapatkan dukungan moral dari para guru untuk belajar mandiri dalam kehidupan sehari-hari,” lanjutnya.

Perjalanan Riani meraih impiannya bukan tanpa hambatan. Ia sempat gagal saat proses seleksi masuk UGM, Jogja pada tahun pertama. Baik itu jalur undangan, tes UTBK, maupun mandiri. 

Namun, Riani tidak menyerah. Ia memilih gap year sambil mengasah kemampuannya. Hingga akhirnya, ia diterima pada tahun kedua melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT).

Mahasiswa UGM. MOJOK.CO
Mahasiswa difabel kuliah di UGM. (Sumber: Humas UGM).

Hidup memang tak lepas dari masalah. Selama berkuliah, Riani banyak menjumpai tantangan yang menjadi pelajaran hidupnya. Misalnya, ia harus menyelesaikan tugas tepat waktu, serta harus membiasakan diri dengan laboratorium karena belum terbiasa dengan instrumen yang ada. 

Oleh karena itu, Riani mengajukan permohonan layanan pendukung ke layanan disabilitas UGM agar mendapat perpanjangan waktu pengerjaan tugas. Meski sempat mengalami kendala di awal studinya, pihak universitas dan fakultas akhirnya mendukung dan menyepakati permohonan tersebut.

Dukungan layanan pendidikan disabilitas dari UGM

Lain Riani, lain pula cerita Siham Hamda Zaula Mumtaa. Mahasiswa prodi S1 Ilmu dan Industri Peternakan UGM itu sudah didiagnosis Autism Spectrum Disorder sejak sekolah dasar. 

Waktu kecil, orang tuanya bahkan sempat menyangkal. Siham diwajibkan menjalani berbagai terapi sejak usia dini, hingga orang tuanya akhirnya menerima kondisi tersebut.

“Orang tua saya, terutama ayah, menolak status Autism Spectrum Disorder saya. Dibilang, saya ini adalah orang normal, tidak ada kekurangan,” ujarnya dikutip dari laman resmi UGM, Senin (14/4/2025).

Iklan

Agar mendapatkan dukungan yang sesuai untuk Siham selama proses perkuliahan, ULD UGM memberitahukan kondisi tersebut ke dosen pengampu dan asisten praktikum. Siham juga mengaku mendapatkan pendampingan khusus selama kuliah, sehingga mempermudah proses belajarnya.

Menurut dia, adanya asesmen berkelanjutan penting untuk dipantau dan ditindaklanjuti agar pendampingan dan penyesuaian selama perkuliahan tetap relevan dan efektif, serta kepastian akan layanan yang inklusif bagi mahasiswa dengan kebutuhan khusus seperti dirinya.

Didiagnosis autisme saat usia dewasa

Sementara itu, Muhammad Rhaka Katresna berujar, autisme bukanlah sekadar kondisi kesehatan mental. Rhaka yang juga mahasiswa dari prodi Magister Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM menyatakan, autisme adalah disabilitas perkembangan.

Sejak kecil hingga dewasa, ia mengalami perbedaan perkembangan yang tidak diidentifikasi secara tepat oleh sistem layanan kesehatan. Ia memperoleh diagnosis autisme saat usianya dewasa.

Seperti tersambar geledek di siang bolong, Rhaka mengaku diagnosis autisme di usia dewasa bukanlah perkara mudah, apalagi di Indonesia. Selama 27 tahun hidupnya, ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan keluarga dan ketidakpastian dari layanan kesehatan. 

“Diagnosis autisme pada anak-anak saat ini cenderung lebih mudah karena banyak tenaga ahli yang fokus di sana. Tapi untuk usia dewasa, justru jauh lebih sulit,” ujar Rhaka.

Memilih S2 UGM di bidang jurusan yang jarang diakui

Setelah lulus S1 Psikologi, ia akhirnya memilih untuk melanjutkan S2 di Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya di UGM, Jogja. Sebab saat itu, prodi S2 tersebut merupakan program terbuka untuk mahasiswa autistik. 

Rhaka menegaskan orang autis cenderung memiliki minat khusus. Setiap individu memiliki ketertarikan mendalam yang berbeda-beda. Dalam kasusnya, ia tertarik pada penelitian berbasis pengalaman autistik, bidang yang masih jarang diakui di Indonesia. 

Di prodi Studi Agama dan Lintas Budaya selalu mendukung minat risetnya, termasuk dalam membangun epistemologi studi yang berasal dari perspektif orang autistik. 

“Di prodi ini, saya bisa mendapat ruang untuk mengkritisi konstruksi ilmu tersebut,” katanya.

Ia menekankan bahwa diskriminasi yang didapatkannya menjadi alasan mengapa orang autistik harus mulai mengambil ruang, membangun cara sendiri untuk bersuara, agar dapat hidup sesuai dengan kebutuhan mereka. Bukan ekspektasi dari pihak lain. 

“Saya punya diagnosis ganda, autisme dan ADHD. Tapi saya bangga. Jadi saya mengajak teman-teman semua untuk bangga. Kita mesti bangga menjadi diri sendiri, sebagaimana adanya,” ujar mahasiswa UGM tersebut.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Pernah Pamit ke Rektor Unesa buat Kuliah di Unair, Kini Jadi Wisudawan S2 Tunanetra Pertama dan Jadi PNS di Jakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Terakhir diperbarui pada 14 April 2025 oleh

Tags: Kampus di Jogjakampus ramah difabelpenyandang autispenyandang disabilitasUniversitas Gadjah Mada
Aisyah Amira Wakang

Aisyah Amira Wakang

Artikel Terkait

Anggota LKS SAPADIFA di Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Jogja belajar menganyam bambu. MOJOK.CO
Liputan

Penyandang Disabilitas di Bantul Manfaatkan Pohon Bambu yang Melimpah di Desanya Jadi Produk Bernilai Jual Tinggi

31 Oktober 2025
Kuliah S2 Jurusan Matematika UGM. MOJOK.CO
Kampus

Rahasia di Balik Alumnus S2 Matematika UGM yang Bisa Lulus Hanya dalam Waktu 1 Tahun lewat Program “Studi Kilat”

31 Oktober 2025
Beasiswa kuliah S1 Sleman Pintar di Amikom. MOJOK.CO
Kampus

Tak Pernah Malu Kuliah di “Kampus Elite” dengan Beasiswa, Mahasiswa Ini Justru Dapat Pelajaran Berharga

14 Oktober 2025
Camaba UGM batal kuliah S1, lebih pilih kuliah di UT Malang. MOJOK.CO
Kampus

Alasan Saya Mengabaikan Pengumuman Lolos di UGM, Lebih Pilih Kuliah di Universitas Terbuka Malang untuk Bertahan Hidup

9 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.