Saat Fiona* (30) memutuskan buat memilih jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin pada SNBT (SBMPTN) 2013 lalu, penolakan datang sana-sini. Alasannya, jurusan tersebut dianggap tak memiliki masa depan yang cerah.
Tidak hanya guru SMA saja yang mempertanyakan keputusan Fiona, orang tuanya pun demikian. Selain prospek kerja yang amat meragukan, perempuan asal Solo ini adalah Jawa tulen; tak ada garis keturunan Tionghoa di keluarganya. Makanya, Fiona cukup mewajari mengapa keluarganya berdebat panjang soal jurusan kuliah yang dia ambil.
Tapi, apa mau dikata, ia sudah mantap dengan pilihannya. Fiona memutuskan memilih jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin Universitas Negeri Malang (UM). Passing grade yang tak terlalu ketat jadi alasannya memilih UM ketimbang kampus negeri lain di SNBT.
“Mungkin ini alasan yang cukup absurd, bikin banyak orang mempertanyakan. Tapi aku punya feeling aja kalau aku ambil jurusan yang antimainstream, prospek kerjanya malah makin luas,” kata Fiona, memaparkan alasannya masuk Pendidikan Bahasa Mandarin UM Malang kepada Mojok, Senin (8/4/2024) pagi.
Nyatanya, Fiona tak salah pilih. Keputusannya memilih jurusan yang dianggap “kurang berguna” itu mendatangkan rezeki yang melimpah baginya. Setelah menyelesaikan studinya tanpa hambatan selama sembilan semester, Fiona langsung dapat kerjaan. Bahkan, dia pernah bolak-balik luar negeri untuk urusan kantor sebelum kini memutuskan work from home (WFH) dengan tetap bergelimang cuan.
Dulu dianggap enggak guna, tapi lulusan Bahasa Mandarin sekarang banyak dicari
Sebelum Fiona kuliah, ia mengakui lulusan Bahasa Mandarin memang tak begitu banyak dilirik. Setidaknya dari yang ia tahu, nyaris tak ada teman-teman sekolahnya yang melirik jurusan ini buat kuliah. Saat Fiona gabung ke grup Facebook yang berisi calon mahasiswa baru SNBP dan SNBT, banyak anggota grup yang mengernyitkan dahi ketika tahu kalau dia memilih Bahasa Mandarin.
“Intinya, sih, banyak yang mempertanyakan. ‘Nanti mau kerja apa?’, ‘mau jadi apa?’, pokoknya dianggap jurusan yang rada aneh aja karena memang mereka menganggap kurang umum,” ujar Fiona.
Namun, kondisi menjadi berbeda setelahnya. Sejak 2016, hubungan diplomasi antara Indonesia dan Cina makin mesra. Kerjasama ekonomi juga banyak yang terjalin.
Bahkan, hingga 2018 saja, menurut data Kamar Dagang Cina di Indonesia (CCCI) ada sekitar 1.000 perusahaan Cina yang berdiri di Indonesia. Ketua CCCI saat itu, Gong Bencai, juga menyebut kalau perusahaan-perusahaan tersebut memberi nilai tambah bagi calon pekerja yang punya keahlian Bahasa Mandarin. Dengan demikian, prospek kerja lulusan Bahasa Mandarin sebenarnya sangat terbuka lebar. Terutama jika orientasinya memang buat bekerja di perusahaan-perusahaan asing milik Cina.
Fiona, misalnya, yang ketika lulus pada 2018 baru mengantongi sertifikasi HSK (seperti TOEFL) level 3 alias tingkat menengah, langsung bekerja sebagai staf administrasi di perusahaan multinasional yang berlokasi di Jakarta. Tugasnya adalah menerjemahkan surat berbahasa Cina dan sebaliknya, karena memang kantor tempatnya bekerja tak menggunakan Bahasa Inggris untuk keperluan surat menyurat.
“Gaji pertamaku dulu langsung dapat dua digit. Padahal kalau dipikir-pikir pekerjaannya amat sederhana,” jelasnya. Setelah dua tahun bekerja, Fiona berhasil mengantongi sertifikat HSK level 5. Dia pun sempat dipindah ke kantor Cina selama setahun dan mendapat upah nyaris 4 kali lipat dengan yang di kantor Jakarta.
Baca halaman selanjutnya…
Biaya kuliahnya sangat murah. Kalau dibanding kedokteran, cuma se-ujung kukunya.