Empat tahun ngaku-ngaku kuliah di UGM, semua dilakukan demi bikin orang tua bangga. Padahal, aslinya kuliah di PTS Jogja yang kurang terkenal.
***
Kemunculan akun TikTok dengan 12 ribu pengikut, @aristyor, bikin ramai jagad media sosial. Pasalnya, ia diketahui bukan merupakan mahasiswa UI, tapi di setiap konten TikToknya selalu ngaku-ngaku seolah sedang kuliah di kampus Depok tersebut.
Ngibulnya pun sangat niat. Mulai dari memakai jas almamater UI, hingga bikin konten di depan bangunan gedung UI. Konten-kontennya pun juga tak jauh-jauh dari overglorifikasi UI, membahas kultur mahasiswanya, hingga membandingkan UI dengan kampus lain.
Sejak kelakuannya viral di medsos dan dilabeli “halu”, ia mengunci akun TikToknya. Pantauan Mojok, per Selasa (10/6/2025), akun TikToknya sudah gembokan.
ini siapa sii, yappingnya memalukan 😭😭😭 pic.twitter.com/F5oOPHXtlR
— Lathif – One State, Palestine! (@laethif) June 7, 2025
Cerita @aristyor mengingatkan saya dengan Deris* (27), lelaki yang empat tahun berpura-pura menjadi mahasiswa UGM. Padahal, selama itu ia berkuliah di kampus swasta Jogja yang kata dia “kurang terkenal”.
Ngotot kuliah di UGM karena ingin bahagiakan orang tua
Ada alasan mengapa Deris ngotot ingin kuliah di UGM. Selama SMA, ia termasuk siswa yang “lumayan”. Meskipun jarang mendapatkan ranking mentereng di sekolah, ia cukup aktif di lingkungan sekitarnya.
“Aku guru ngaji buat bocil-bocil di desa. Sama jadi wakil ketua karang taruna. Ibaratnya kalau ada orang datang ke desa terus nyebut namaku, nggak ada yang nggak tahu,” kisah lelaki asal Jawa Tengah ini, tatkala dihubungi Mojok, Minggu (8/5/2025).
Selain itu, kedua kakaknya juga kuliah di PTN. Meski bukan PTN kenamaan, setidaknya ada kebanggan tersendiri buat mereka.
Maka dari itu, sebagai anak bungsu, ada tuntutan untuk bisa kuliah di kampus yang “lebih besar” dari PTN kakak-kakaknya itu. Orang tuanya pun amat memperjuangkan anaknya agar bisa kuliah di UGM.
“UGM itu kan dianggap kampus paling wow, paling bagus. Jadi ortu mengharapkan aku sebagai bontot, bisa kuliah di kampus terbaik itu,” imbuhnya.
Segala fasilitasnya pun diberikan. Termasuk bimbingan belajar (bimbel) yang mahal, penerapan jam belajar yang ketat, sampai ibunya repot-repot memasak makanan sehat–di luar kebiasaan–untuk memastikan nutrisnya tercukupi.
Tiga kali ditolak UGM, berujung pura-pura kuliah di sana
Sayangnya, upaya-upaya maksimal itu tak membuahkan hasil. Deris gagal di tiga jalur seleksi UGM yang ia ikuti. Mulai dari SNBP (dulu SNMPTN), SNBT (dulu SBMPTN), hingga seleksi mandiri pada 2016 lalu.
“Bahkan yang SBMPTN itu bagiku membekas banget, perjalanan dari kotaku buat ikut SBMPTN yang lokasinya di FIK UNY itu 5 jam perjalanan. Aku motoran, berangkat sebelum subuh dan nyaris telat, itu adrenalin naik banget,” ungkapnya.
Deris pun tak berani jujur ke orang tua soal kegagalannya ini. Ia takut ayah dan ibunya kecewa. Sementara kakak-kakaknya, untungnya bisa diajak “kerja sama”. Mereka sepakat untuk membuat skenario bahwa Deris diterima di Fakultas Hukum UGM.
“Jadinya aku kuliah di FH kampus lain, swasta. Bilangnya ke orang tua, aku kuliah di UGM. Termasuk soal biaya kuliah aku juga bohong, ngakunya murah padahal mahal banget. Kakak untungnya bersedia bantu.”
Merasa bersalah karena orang tuanya overproud
Setahun-dua-tahun menjalani skenario kebohongan ini, semua tampak baik-baik saja; berjalan lancar. Deris menjalani perkuliahan sebagaimana mahasiswa umumnya, dan orang tua sama sekali tak menaruh kecurigaan.
Namun, tetap saja, tiap kali kumpul keluarga–misalnya saat lebaran–ada perasaan bersalah menyelimuti dirinya. Pasalnya, orang tuanya sangat bangga akan pencapaiannya. Tiap kali bercerita kepada rekan dan saudara, ayah dan ibunya dengan penuh kebanggaan menggembar-gemborkan capaian anaknya yang kuliah di FH UGM.
“Kalau di situasi kayak gitu, biasanya aku milih melipir karena nggak kuat mendengar kebohongan yang aku ciptain.”
Sebenarnya, Deris termasuk mahasiswa berprestasi di kampus. Ia aktif di UKM, beberapa kali menjadi panitia event kampus, bahkan dua kali menang lomba karya tulis dan debat mahasiswa. Namun, ia selalu mengaku prestasi itu didapat sebagai mahasiswa UGM.
Kebohongan-kebohongan ini berjalan nyaris empat tahun hingga menuju kelulusannya. Tanpa ada sedikitpun kecurigaan dari orang tua.
“Ada untungnya juga ortu gaptek, nggak bisa main medsos. Semua urusan di kampus pun kakakku yang handle, jadinya ya empat tahun itu aman-aman aja.”
“Terselamatkan” pandemi Covid-19 dan gelar cumlaude
Ada satu masalah yang harus diselesaikan Deris dan kakak-kakaknya menjelang kelulusan: tempat wisuda. Jujur saja, kata Deris, ini di luar pertimbangan awal. Sebab, rencananya ketika selesai sidang, ia dan kakaknya akan jujur soal kebohongan yang sudah berjalan empat tahun itu.
Namun, melihat kebahagiaan orang tua yang bangga anaknya bisa kuliah di UGM, ada rasa tak tega jika harus merusak itu semua.
Untungnya, Deris wisuda saat pandemi Covid-19 sedang parah-parahnya. Sehingga, ada alasan buat dirinya tak mengikuti wisuda di kampus.
Kendati demikian, Deris merasa rahasia besarnya tak bisa selamanya menjadi rahasia. Ada saatnya dia harus jujur soal kuliahnya.
“Sebelum wisuda, aku berhari-hari diskusi sama kakak, ngobrol dan mantepin niat buat jujur. Siap dengan semua konsekuensi yang bakal kami dapat,” ujarnya.
Akhirnya, sebelum hari H wisudanya, Deris memutuskan buat mengatakan semuanya. Tentu saja, saat itu orang tuanya amat syok karena bertahun-tahun dibohongi. Tangis kekecewaan tak bisa ditahan.
Selama berhari-hari, rumahnya hidup dalam hening. Ada aktivitas manusia, tapi kata Deris, semua tanpa suara; nyaris tak ada tegur sapa.
“Aku lupa butuh berapa lama hingga akhirnya orang tua bisa menerima semua kebohonganku itu. Mereka pada akhirnya berdamai dengan itu semua. Toh, aku lulus dengan kepala tegak karena cumlaude,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Punya Banyak Prestasi tapi Ditolak UGM lewat Jalur UTBK, Akhirnya Pilih Kampus Swasta hingga Kerja dengan Gaji Melebihi UMR Jogja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












