Saya pertama kali tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta pada tahun 2023 dari Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Perjalanan saya menggunakan Kereta Api Airlangga membutuhkan waktu sekitar 12 jam. Dan saya baru tiba pukul 00.28 WIB.
Betapa lelah punggung saya karena harus duduk di kursi tegak selama berjam-jam. Kalau kata orang Jawa, sek enom tapi wes boyoken. Tapi ya sudahlah, punggung yang terasa sakit akan tergantikan dengan konser Kunto Aji di Stadion Gelora Bung Karno esok hari.
Saya memikul tas ransel dan memboyong satu tas jinjing berwarna kuning ke arah pintu keluar. Saya pikir suasana stasiun akan sedikit lengang karena sudah tengah malam, tapi malah sebaliknya. Sejumlah pedagang, ojek pangkalan, dan warga Jakarta pengguna kereta masih ramai berlalu lalang.
“Ojek, Neng? Yuk ojek yuk!” kata bapak-bapak tukang ojek pengkolan menawarkan jasanya ke para pengguna kereta api, termasuk saya.
Sebetulnya, saat itu saya sudah ingin memesan ojek lewat aplikasi online tapi karena tubuh sudah lelah dan tergiur dengan pengendara ojek pangkalan yang sudah ready, saya jadi pindah haluan. Ingin cepat-cepat istirahat di hotel.
Toh, pengemudi ojek pangkalan yang saya dapat memakai jaket hijau dengan brand aplikasi ojek online. Oleh karena itu, saya langsung saja menerima tawaran jasa ojek pangkalan tadi. Lebih-lebih, dia bilang harganya akan sama saja, baik lewat aplikasi maupun pangkalan.
Naik motor butut milik ojek di Jakarta
Awalnya saya masih ragu menggunakan jasa ojek pangkalan, tapi tubuh saya sudah benar-benar lelah dihajar perjalanan kereta api dari Stasiun Pasar Turi sampai Stasiun Pasar Senen. Saya malas memesan ojek online dan menunggu lama, jadi saya terima saja ajakan bapak tadi.
“Sama saja kok, Neng kalau lewat aplikasi. Sekalian bantu saya Neng dari tadi belum dapat pelanggan. Buat beli popok anak. Keluarga saya belum makan di rumah,” ujar mas-mas ojek pengkolan tersebut, Sabtu (17/9/2025).
Saya yang sedikit iba mendengar cerita tukang ojek tersebut, akhirnya manut-manut saja saat diboyong ke tempat parkir untuk mengambil sepeda motor yang ternyata (maaf) sudah butut. Kalau saya tidak salah, merk motornya seperti Honda Astrea yang jok motornya ceper.
Itupun pijakan kakinya sudah mleyot, alias tidak berfungsi dengan baik. Terlebih, maaf sekali lagi, tubuh tukang ojek itu lebih besar dari motornya. Bau badannya pun ngeri-ngeri sedap dari belakang. Kalau soal bau saya tak terlalu soal, justru itu bukti nyata dari perjuangannya ya kan?
Masalahnya ada dikondisi motor tua tersebut. Tubuh saya jadi makin pegal, karena kaki saya harus menggantung lama sambil menahan tas jinjing. Belum lagi harus memikul tas di punggung yang tak kena jok motor. Dalam perjalanan pun saya hanya bisa membatin.
Bayar lebih untuk kesalahan yang entah apa
Sepanjang perjalanan itu kami tak terlalu banyak bercakap. Saya tiba di hotel sekitar 30 menit perjalanan dari Stasiun Pasar Senen. Mestinya, jaraknya tidak terlalu jauh dan saya bisa sampai dengan waktu 15 menit, tapi tukang ojek online tadi sempat nyasar.
Kami harus putar balik dua kali di jalan, di mana saya baru tahu kalau putar balik di Jakarta terutama daerah pusat itu jauhnya minta ampun tapi saya salut. Di hari yang sudah tengah malam itu, mas-mas ojek tersebut mencari orang yang bisa ditanya karena peta Google tak bisa diandalkan.
Ia juga berusaha mengantar saya di depan pintu yang tak jauh dari lobby. Masalahnya, tarif yang dipatok tukang ojek tadi jadi tak sesuai dengan yang ia janjikan tadi. Kalau saya lihat di aplikasi ojek online, seharusnya ongkos yang saya bayar Rp22 ribu tapi ia minta lebih yakni Rp50 ribu.
“Kalau saya bayar Rp40 ribu boleh nggak, Bang?” tanya saya menawar.
“Watduh, nggak bisa Neng. BBM juga mahal sekarang, kasihan anak saya Neng. Buat beli popok,” rayunya.
Saya pun akhirnya membayar lebih dengan harapan alasan itu benar-benar terjadi. Capek juga kalau harus berdebat. Saya ingin cepat-cepat istirahat karena perjalanan jauh dari Surabaya. Jam juga sudah menunjukkan pukul 01.16 WIB.
Jangan terlihat linglung di Jakarta
Tak sampai dua hari saya di Jakarta, saya akhirnya pulang ke Surabaya dan naik kereta api lagi dari Stasiun Pasar Senen. Saat sesi menunggu itu, ada seorang ibu-ibu yang mendekati saya. Katanya, uangnya kurang untuk membeli tiket dan meminta saya menyumbang.
“Kak, ada Rp30 ribu nggak? Uang saya kurang buat beli tiket. Siapa tahu kakaknya ada,” kata ibu-ibu tadi yang mengenakan kaos oblong dan sandal jepit.
Sialnya, saya ini memang tipe orang yang sulit menolak. Kalau kata anak zaman sekarang people pleaser. Jadi, langsung saja saya kasih ibu tadi Rp30 ribu. Saya baru sadar saat naik kereta, sepertinya saya kena tipu. Sebab kalau dilihat dari gelagatnya, ibu itu tak seperti orang yang bepergian. Tas saja tak bawa, kenapa juga saya tak tanya detail tujuannya untuk memastikan kalau ibu tadi benar-benar kesusahan? Tapi ya sudahlah, semoga pengalaman ini jadi pelajaran ke depan agar tak terlalu polos jadi orang.
“Besok-besok kalau di tempat baru jangan terlihat seperti orang linglung. Apa yang mereka lihat bisa membuka dua kemungkinan, yakni kamu dimanfaatkan atau malah dibantu,” ujar teman saya di Surabaya, usai mendengar rangkaian kejadian yang saya alami di Stasiun Pasar Senen, Jakarta.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Senayan Jakarta, Kawasan Elite tapi Bikin Perantau Asal Surabaya Kapok, Nyaris Ketipu Rp1 Juta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.