MOJOK – Di negara kesejahteraan (welfare state), Partai Hijau seringkali menjadi alternatif dalam pemilu. Parpol ini diminati lantaran mengusung isu lingkungan sebagai prioritas. Di Indonesia, Partai Hijau sudah berdiri sejak satu dekade silam tapi masih belum tampak dalam peta kontestasi politik nasional. Mengapa demikian? Sebenarnya, apa yang ditawarkan Partai Hijau Indonesia?
Partai Hijau Indonesia (selanjutnya disebut ‘PHI’), merupakan gerakan yang hadir dalam merespon rendahnya perhatian warga tentang isu lingkungan di Indonesia. Padahal, isu tentang lingkungan sejatinya juga berkaitan erat dengan interaksi ekonomi dan politik di Indonesia.
Melansir laman resmi PHI di hijau.org, partai ini mengklaim mempraktikkan sistem demokrasi partisipatoris “holakrasi”, yakni sebuah model demokrasi baru yang mana tidak ada struktur hierarkis.
Tidak Ada Pengkultusan pada Pemimpin
Secara umum, dalam sistem holakrasi di PHI tidak ada ketua, melainkan presidium beranggotakan lima orang yang bekerja secara kolektif-kolegial. Para anggota ini punya peran dan tanggung jawab masing-masing yang sejajar serta tidak ada pimpinan atau bawahan.
Pendeknya, dalam bagan struktural hierarkis melibatkan kepemimpinan berelasi atas-bawah. Maka dalam “hola” lebih bersifat setara karena berbentuk lingkaran dan hanya ada lapisan lebih luar dan lebih dalam.
Dengan demikian, semua orang pun bisa menyampaikan gagasan dan ikut mengambil keputusan dengan kebebasan yang sama. Hal ini yang membuat PHI sangat berbeda dengan partai-partai yang lain.
Adapun, presidium nasional periode 2021-2026 diisi oleh tokoh-tokoh yang rekam jejaknya dalam isu lingkungan sudah tidak diragukan lagi. Antara lain Dimitri Dwi Putra, yang selama ini aktif mendorong Green Financing di Indonesia; Kristina Viri, aktivis perempuan yang aktif membahas isu sosial, politik, dan masyarakat; Nur Rosyid Murtadho atau Gus Roy.
Lalu ada juga perintis pesantren ekologi Misykat al-Anwar; Taibah Istiqamah, yang aktif mengkaji isu-isu politik dalam dan luar negeri. Serta John Muhammad, aktivis pentolan Reformasi 1998 sekaligus promotor demokrasi partisipatoris dalam ekologi digital.
Berdiri pada 5 Juni 2012, PHI tidak mengakui kepemimpinan tunggal yang kadang bertendensi mengkultuskan individu pemimpin. Presidium Nasional PHI, John Muhammad, dalam salah satu paparannya berjudul “Lengan Politik Masyarakat Sipil: Pengalaman dan Ikhtiar Partai Hijau Indonesia” menyebut, PHI merupakan partai yang tidak mengejar kekuasaan, namun lebih berusaha untuk mendorong pemberdayaan dan pemberian manfaat kepada masyarakat.
“PHI juga memegang enam prinsip politik yang merujuk pada Global Green Charter, antara lain keadilan sosial; demokrasi akar-rumput; keberlanjutan; tanpa kekerasan; kearifan ekologis; dan penghormatan pada perbedaan,” tulisnya, dikutip Selasa (7/2/2023).
Tantangan ke Depan
Di negara-negara kesejahteraan (welfare state), Partai Hijau seringkali menjadi alternatif dalam pemilu. Gagasan politik progresif, menjadi diminati lantaran menyentuh pokok permasalahan secara langsung ke akar rumput.
Sebut saja di Selandia Baru dengan Partai Hijau Aotearoa—PH tertua di dunia, atau di Australia (The Greens), yang selalu “merusak” suara mapan Partai Konservatif dan Partai Liberal. Bahkan, laporan Deutsche Welle (DW) menyebut mayoritas pemilih muda di Jerman pada 2021 lalu cenderung mendukung gagasan Partai Hijau.
Menurut jajak pendapat, lebih 18 persen pemilih berusia antara 16 sampai 24 tahun ingin memilih Partai Hijau—lebih banyak daripada partai lain. Di kalangan pemilih di bawah 30 tahun, Partai Hijau dan FDP (liberal) memang menang jauh dibanding partai-partai lain.
“FDP dan Partai Hijau memang menyasar pemilih muda, tidak hanya melalui topik dan fokus kampanye pemilu mereka, tapi juga komitmen perlindungan iklim” kata ilmuwan politik Anne Goldman dari Universitas Duisburg-Essen kepada DW.
Minim perhatian
Kendati demikian, harus diakui bahwa topik lingkungan, khususnya perubahan iklim belum menjadi isu yang populer di Indonesia. Survei YouGov, misalnya, menemukan bahwa orang Indonesia “paling tidak percaya” dengan pemanasan global.
Laporan Climate Tracker juga menemukan bahwa isu lingkungan masih diabaikan dalam pemberitaan media. Tujuh media daring arus utama di Indonesia—dan yang terbesar—mayoritas menyorot isu lingkungan menggunakan perspektif ekonomi alih-alih ekologi.
Akan tetapi, Presidium Nasional PHI John Muhammad tetap percaya bahwa gagasan-gagasan PHI pada gilirannya akan sampai di masyarakat. Selama ini, komitmen mereka adalah harus menjadi perpanjangan tangan dari gerakan masyarakat sipil. Mulai dari gerakan lingkungan, antinuklir, masyarakat adat, mahasiswa, perempuan, kaum urban, HAM, antikorupsi, buruh, kaum marjinal, hingga kelas-kelas petani, nelayan, dan seterusnya.
Ia punya satu keyakinan, bahwa bahwa gerakan lingkungan pada akhirnya dapat menjadi perekat bagi mereka yang selama ini tidak punya wakil di pusat pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan.
“Jika pun ada aktivis yang menjadi wakil rakyat atau penguasa melalui partai-partai yang ada, nyaris semuanya gagal atau rentan dibajak oleh partai-partai konvensional,” tandasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda