MOJOK.CO – Saat ini keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 20,52 persen atau 118 dari total 575 kursi di Senayan. Kendati mengalami kenaikan dari periode-periode sebelumnya, pencapaian ini masih diklaim rendah mengingat target pemerintah adalah 30 persen representasi.
Peran dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik memang harus diakui masih cenderung kecil. Selain fakta bahwa anggota dewan perempuan jumlahnya tidak sampai seperempat, nyatanya ada hambatan-hambatan yang menyebabkan rendahnya representasi ini.
Lantas, faktor apa saja yang menjadi penyebab rendahnya representasi perempuan di perpolitikan Indonesia?
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, melalui tulisannya di International IDEA, menulis bahwa salah satu hambatan perempuan Indonesia dalam berpolitik adalah kentalnya budaya patriarki di masyarakat.
Dengan adanya budaya ini, muncul persepsi bahwa yang pantas memimpin adalah laki-laki. Kecenderungan ini pula yang terjadi dalam dunia politik, sehingga membikin peran-peran perempuan tereduksi.
“[Akhirnya] muncul anggapan bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen,” tulis Khofifah, dalam Buku Seri Panduan berjudul Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah tersebut.
Selain budaya patriarki, Khofifah juga menyebut ada tiga faktor lain yang menghambat perempuan untuk unjuk gigi dalam pentas politik di Indonesia. Menurut sarjana ilmu politik Universitas Airlangga ini, faktor lain yang turut berpengaruh adalah mekanisme proses seleksi dalam partai politik (parpol).
Seleksi kepada para kandidat dalam parpol, biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau petinggi partai yang mayoritas adalah laki-laki. Hal ini pula, yang menurut Khofifah, membuat pengaruh dan keputusan parpol menjadi tidak proporsional, utamanya yang terkait kesetaraan gender.
“Alhasil perempuan jadi tidak mendapat dukungan politis dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi laki-laki,” lanjutnya.
Faktor selanjutnya berhubungan dengan media. Maksudnya, media punya peran penting dalam membentuk opini publik tentang representasi perempuan di politik, yang mana belum banyak dijumpai di Indonesia.
Sementara faktor terakhir yakni masih minimnya organisasi massa, LSM, dan parpol-parpol yang punya ideologi kuat dalam perjuangan hak-hak perempuan. Padahal, kata Khofifah, organisasi-organisasi perempuan memainkan peran penting sejak masa awal reformasi.
Ia pun menyebut, untuk mengatasi masalah tersebut pemahaman soal kesetaraan dan keadilan gender harus terus disuarakan. Sementara secara kelembagaan, partai-partai politik juga harus bisa lebih proporsional. Dalam artian, peran-peran perempuan secara lembaga harus diakui secara lebih adil.
“Partai politik harus mengupayakan perempuan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam partai, seperti ketua atau sekretaris, karena posisi ini berperan dalam memutuskan banyak hal tentang kebijakan partai,” tegasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi