MOJOK.CO – Website buat beli meterai elektronik ini bikin kesel sampai trauma. Kayak e-KTP yang sama sekali nggak efisien itu. Ngeselin.
Rasanya sulit buat nggak skeptis kalau pemerintah bikin semacam terobosan, terutama yang bawa embel-embel “elektronik” atau “online”. Dulu, ada e-KTP, yang ternyata bagian “e” di e-KTP itu nggak ada gunanya. Sekarang, muncul meterai elektronik atau disebut e-meterai. Haduh, capek!
Meterai elektronik diperkenalkan Kementerian Keuangan untuk menyelaraskan sistem dengan zaman digital. Ibu Sri Mulyani bilang gini:
“Dengan adanya sekarang teknologi digital, transaksinya sekarang elektronik, dokumen pun dilakukan secara elektronik. Tidak ada lagi dibutuhkan paper dan semuanya masuk dalam digital. Pengenaan bea meterai terhadap dokumen elektronik mulai diperkenalkan dan mendapat landasan hukum yang kuat”.
Ada beberapa hal yang ditampilkan di meterai elektronik. Antara lain, digit kode unik, tarif, tulisan meterai elektronik, dan gambar Garuda Pancasila. Meterai elektronik dikasih warna merah muda sebagai pembeda dari meterai biasa dan merupakan kode unik pengganti angka pada meterai konvensional.
Yah, meski di awal saya mengaku skeptis (makasih, e-KTP), rasa penasaran ternyata begitu kuat. Saya mencoba beli meterai elektronik ini. Apalagi mengingat pekerjaan saya memang sering bersinggungan dengan kertas kecil berkekuatan hukum ini.
Niat saya, tidak ada salahnya mencoba. Kalau sewaktu-waktu Kantor Pos atau warung fotokopi tutup, sedangkan saya dalam kondisi darurat, maka meterai elektronik bisa jadi solusi.
Berikut cara belinya:
- Buka laman pos.e-meterai.co.id dan klik menu Beli “E-Meterai”.
- Login. Jika baru pertama kali, klik “Daftar di sini” lalu isi data dan unggah dokumennya.
- Pilih tipe akun dan lanjutkan dengan unggah KTP.
- Isi data diri.
- Masukan kode OTP yang dikirimkan melalui SMS untuk proses validasi.
- Setelah validasi, kamu bisa beli meterai elektronik sesuai keperluan.
Berikut cara pembubuhan meterai elektronik:
- Buka laman pos.e-meterai.co.id.
- Klik menu “Beli E-Meterai” dan pilih login.
- Muncul dua pilihan menu, “Pembelian” dan “Pembubuhan”. Pilih yang kedua.
- Masukkan detail informasi dokumen.
- Unggah dokumen dalam format PDF.
- Posisikan meterai sesuai ketentuan.
- Klik “Bubuhkan Meterai”, kemudian “Yes”.
- Selanjutnya, masukkan PIN dan proses pembubuhan selesai.
- Unduh file PDF dari dokumen yang sudah terbubuhi.
Kalau langkah-langkah di atas dibaca sekilas, semuanya terlihat gampang. Namun, nyatanya nggak gitu. Saya merasakan sendiri semuanya nggak semulus itu. Rasa skeptis yang udah sangat kuat karena keanehan e-KTP muncul lagi. Rasa muak mengurus administrasi negeri ini seketika muncul.
Ribetnya beli meterai elektronik udah kayak cobaan hidup
Ribet yang saya rasakan ketika mencoba beli meterai elektronik kayak gini: Pertama, ketika mencoba daftar dan berhasil melengkapi data, saya mendapatkan notifikasi untuk membuka email guna verifikasi akun. Langsung dong, saya buka email dan… tidak ada pesan verifikasi akun.
Saya sudah mengira bakal kayak gini. Saya tunggu beberapa saat, melakukan refresh email, dan menunggu kembali. Siapa tahu cuma delay. Tapi kok ya nggak datang juga itu email verifikasi.
Dengan hati yang sedikit dongkol, saya coba untuk langsung pilih menu login. Biasanya, dalam sistem aplikasi, kita sudah bisa masuk dan menggunakan fitur yang ada walaupun belum terverifikasi meskipun terbatas.
Dan, apa yang terjadi…
Ketika coba login, notifikasi yang muncul adalah “Login Gagal: Email atau Kata Sandi yang Anda Masukkan Salah.”
Saya masih coba bersabar. Menarik napas panjang. Saya coba lagi. Mungkin memang salah input. Setelah dicoba dengan hati-hati, tetap saja masih belum bisa.
Oke deh, skip saja. Mungkin karena memang akun buat meterai elektronik saya yang belum aktif. Laptop saya tutup sambil sedikit cemberut. Setelah itu saya berpikir, “Apa karena Sabtu, ya?”
Sabtu kan sudah libur instansi pemerintah, pikir saya. Eh, tapi ini kan elektronik. Harusnya otomatis, dong. Aduh, isi kepala ikut ruwet.
Beberapa hari kemudian, saya coba login lagi. Respons yang keluar masih sama, email atau password salah. Karena penasaran, saya mengganti password. Segera saya klik opsi “Lupa password?”
Setelah itu, saya diminta untuk konfirmasi email lagi. Klik Ok. Dan taraaa….
Muncul konfirmasi link perubahan password ke email dengan notifikasi “Berhasil” tetapi diikuti pop-up caption yang membuat saya mengernyitkan dahi. Isinya seperti coding yang belum dirapikan. Seram banget, sih, cuma mau beli meterai elektronik saja.
Saya menuju email dan… email reset password-nya nggak ada. Putus asa, saya menghubungi kontak WhatsApp yang tertera sebagai opsi terakhir.
Kontak yang saya hubungi mengarahkan saya ke pihak PERURI (Percetakan Uang Republik Indonesia). Kalau saya lihat, kontak ini untuk bagian teknis atau IT, sih.
Komplain saya kirimkan kurang lebih pukul 12 siang. Kabar baiknya, pesan saya langsung dibalas.
“Bisa dibantu untuk email dan no tlp yang digunakan?”
Sambil menunggu jawaban yang nggak kunjung datang, bahkan sampai tulisan ini selesai saya buat, saya coba menjernihkan pikiran. Lama saya pandangi laman email saya.
Setelah agak curiga, apa ya mungkin emailnya masuk ke spam atau trash. Dan benar saja. Ternyata email aktivasi akun dan reset password semuanya masuk spam. Alamat pengirimnya perurica.co.id. Sialan.
Saya segera mengaktifkan akun untuk membeli meterai elektronik. Tapi, cobaan belum berhenti, Bung.
Ketika saya masukkan email yang terdaftar, yang kemudian muncul adalah notif “Resend Email Gagal: Harap cek kembali email yang Anda masukkan.”
Ya Allah….
Sebetulnya saya pengin bikin akun baru aja. Namun, saya langsung sadar kalau akan sulit dilakukan karena terhambat validasi e-KTP karena sudah saya kirimkan untuk pembuatan akun pertama.
Akhirnya, saya bikin akun baru pakai data istri saya. Semuanya demi memuaskan rasa penasaran beli meterai elektronik.
Namun, seperti sudah diduga, menghadapi sistem daring Indonesia itu kayak latihan tenaga dalam dan kebijaksanaan. Kuat hadapi semua kerepotannya, kamu bisa jadi pertapa sakti nantinya.
Ya gimana enggak, setelah proses yang diperlukan sudah lengkap, saya klik OK. Setelah itu, laman hanya menampilkan pop up garis berputar-putar tak kunjung selesai. Menunggu… menunggu… menunggu… kosong adalah isi, isi adalah kosong….
Ah, udahlah, capek aku tuh. Ah, tiba-tiba saya ingat ini hari Minggu. Mungkin yang jualan meterai elektronik lagi pergi mancing atau naik sepeda 10 kilometer lalu mampir makan soto habis lima porsi tidak lupa foto-foto pose jempol. Ah, tapi kan ini online. Harusnya otomatif. Ah, bodo amat, ruwet isi kepala saya.
Brengseknya, semua proses berjalan lancar di hari Senin. Saya akhirnya bisa beli meterai elektronik, yang sebetulnya nggak terlalu saya butuhkan tapi menyita pikiran kayak e-KTP yang nggak efektif itu.
Saya lalu mikir, kan. Apa bedanya online dengan offline kalau di weekend nggak bisa beli meterai elektronik pakai sistem daring? Apa yang akan terjadi kalau kebetulan ada orang lagi genting, urusannya soal nyawa, kejadiannya di hari Minggu dan baru bisa beres kalau pakai meterai elektronik? Seram.
Sebetulnya ya, proses dari beli hingga membubuhkan meterai elektronik itu gampang. Tapi, kenapa kalau di weekend, sistemnya ngaco? Apa sistemnya ngambek karena nggak diajak pergi mancing atau naik sepeda 10 kilometer lalu mampir makan soto habis lima porsi tidak lupa foto-foto pose jempol? Aneh banget.
Sebuah saran biar trauma e-KTP nggak keulang lagi
Oya, saya punya saran untuk bagian pembubuhan. Jika ingin membubuhkan meterai elektronik pada kolom tanda tangan, baiknya dikasih jarak yang lumayan lebar.
Tampilan ketika proses “Pembubuhan” dan “Selesai” itu sangat berbeda. Saat “Pembubuhan”, meterai elektronik terlihat transparan sehingga tidak menghalangi bagian nama lengkap pembuat dokumen. Setelah selesai, ternyata warnanya jadi lebih tebal, sehingga nama lengkap tertutup. Sayangnya, setelah konfirmasi pembubuhan, dokumen tidak bisa diubah lagi.
Selain itu, adanya menu untuk melihat riwayat pembelian dan dokumen yang sudah terbubuhi menurut saya sudah bagus. Hal ini bisa dijadikan sebagai riwayat yang bisa kita jadikan referensi apabila ada sesuatu terjadi.
Kritik lainnya dari saya adalah soal pembayaran. Pilihannya terlalu sedikit. Cuma bisa pakai Bank Mandiri, BNI, dan Permata. Iya, saya tahu, ini punya pemerintah. Tapi nggak ada salahnya kalau bisa bayar pakai GoPay, DANA, OVO, dan lain-lain.
Terakhir, jangan suka ngadat ya websitenya. Aneh banget kalau di weekend nggak bisa dipakai. Anak negeri sudah trauma sama e-KTP yang sama sekali nggak efisien itu.
BACA JUGA Selama Hidup di Indonesia Masih Harus Fotokopi e-KTP, Teruslah Marah dan ulasan aplikasi lainnya di rubrik KONTER.