Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Konsultasi Celengan

Menabung Untuk Kehidupan Pasca Pernikahan, Bukan Untuk Pesta Pernikahan

Haryo Setyo Wibowo oleh Haryo Setyo Wibowo
15 November 2018
A A
biaya pernikahan pesta pernikahan
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Di zaman sekarang, menikah udah nggak cukup cuman modal cinta, butuh yang namanya uang uang uang. Makanya, kalau nggak punya uang harus nabung, nabung, nabung. Masalahnya, kebanyakan orang lebih memilih menabung untuk biaya pesta pernikahan, dihabiskan, lalu lupa bahwa kehidupan sebenarnya dimulai pasca pernikahan itu sendiri.

Sahabat celenger yang ragu-ragu menikah hanya karena nggak punya tabungan,

Era teknologi seperti sekarang ini, disadari atau tidak, sering menimbulkan banyak ketakutan yang sebenarnya nggak perlu-perlu amat.

Anak muda di zaman saya–dua dekade silam–nggak pernah mempunyai ketakutan baterai gawainya habis, followernya nggak kunjung bertambah, apalagi merasa resah karena belum tahu Young Lex lagi makan pecel atau jajan mie ayam di video youtube terbarunya.

Ketakutan yang tidak memandang generasi baru dimulai begitu masa kuliah mereka mulai molor, gairah duduk di bangku kuliah semakin surut, sudah begitu kok rasa-rasanya tipis kesempatan mendapat pendamping wisuda. Mikir gitu nggak kalian?

Tapi, Itu belum seberapa. Begitu lulus kuliah–atau bagi yang tidak kuliah, beberapa tahun kemudian setelah lulus SMA–kita mulai diminta untuk menghadiri pernikahan teman sebaya. Bukan soal iri, hanya deg-degan. Kok bisa undangan bertubi-tubi datang, sementara kita pacar pun tak ada? *mengelap air mata*

Yang lebih menyeramkan lagi, beberapa tahun kemudian, setelah punya kerjaan, sudah ada pacar. Tapi tak juga kunjung menikah. Pertanyaan paling menakutkan yang sebisa mungkin dihindari mulai menyerbu dari berbagai arah, “kapan menikah, nunggu apalagi?”.

Masih mending kalau yang bertanya teman atau saudara. Tidak sulit untuk mengelak dengan mengerahkan satu atau dua jurus. Bayangkan saja kalau yang bertanya orang tua kita. Om kasih tahu, model pertanyaan seperti itu tidak hanya sering muncul di sinetron, tetapi juga di kehidupan nyata.

“Nak, nggak capek kerja terus bagai kuda? Ibu dan Bapak sudah pingin momong cucu, loh. Rumah ini jadi terlalu besar setiap lebaran tiba. Sepi tidak ada celoteh anak.”

*mengangis di pojokan*

Menikah, membangun rumah tangga, membangun rumah beneran, mempunyai kendaraan, dan akhirnya mempunyai anak. Secara konsep tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Tetapi ketakutan yang dihadapi rupanya sangat jauh berbeda.

Orang tua pun jenisnya macam-macam. Ada yang menyukai seremonial pesta pernikahan yang dirayakan, ada yang menghendaki calon menantunya memberikan uang panaik dalam besaran tertentu, ada juga tipikal yang penting sah. Sederhana, cukup ke KUA, habis itu sewa gedung! Hahaha jadinya sama saja.

Suka tidak suka, salah satu keputusan terpenting dalam kehidupan manusia–menikah–seringkali lebih didorong oleh konsensus yang berlaku di masyarakat tradisional. Sudah dapat pekerjaan, diharuskan menikah. Usia menjelang usia 30 tahun, dihadang dengan pernyataan jangan sampai lupa menikah.

Jangan tersinggung kalau dikatakan tradisional dalam pemikiran soal pernikahan. Menikah memang baik dan perlu. Tetapi, tidak seharusnya menjadikan orang merasa terbebani dengan kewajiban yang memberatkan.

Iklan

Kita jelas hidup di dalam tataran masyarakat tradisional itu. Mau tidak mau harus siap dibenturkan dengan fakta bahwa pernikahan merupakan peristiwa yang sejatinya lebih kental nuansa ekonominya daripada psikologi.

Kalau mau diperjelas lagi, meskipun menikah adalah kewajiban agama dan atau kebutuhan biologi, menikah menimbulkan konsekuensi secara ekonomi. Jer Basuki Mawa Bea membutuhkan pengorbanan, bro. Cinta saja tidak cukup, ongkos tetap harus keluar.

Malu kalau menikah tidak menyelenggarakan pesta pernikahan, malu kalau menikah hanya mengundang kerabat saja, malu kalau berani menikah hanya mengandalkan cinta. Pokoknya malu belum punya cukup materi sudah berani menikah.

Sahabat celenger yang sudah capek nabung tapi bocor terus,

Dalam satu materi bercandaan yang sungguh gelap dan rawan diceramahi agamawan selama sisa hidup kita. Pernikahan tidaklah berbeda dengan perjudian–yang tidak saja didukung oleh keluarga, tetapi juga agama dan negara turut menganjurkan. Iya kalau bahagia, kalau malah menjadikan kita mengilhami banyak seri sinetron khusus azab?

Belum selesai memikirkan biaya jika kita meminang seorang perempuan. Ketakutan sudah menjalar lagi ke persoalan yang semakin dalam. Hidup tidak dimulai dengan kesanggupan kita membayar mas kawin dan juga catering di pesta pernikahan.

Hidup sebenarnya dimulai pagi begitu bangun tidur setelah malam pertama. Ya, pasca pernikahan!

Dari semula cukup ngekos harus memikirkan setidaknya rumah petak. Dari semula cukup makan indomie kalau lapar, harus memikirkan istri yang menganut paham ketoisme. Ketoknya (kelihatannya) diet padahal tidak. Kehidupan pasca pernikahan keras, bung!

Duwit duwit duwit. Adakah orang menikah berdasarkan cinta di zaman modern ini? Kalau zaman Gajah Mada mah enteng aja. Bioskop tidak ada, sekolah tidak ada, warung mie ayam apalagi. Mau indehoy cukup di bawah pohon randu atau beringin kalau sedang rindu kesurupan.

Kalau mau sedikit mewah bawa panah cari kelinci untuk dibakar. Buah pun melimpah, dari ciplukan sampai rambutan tinggal petik. Bebas, nikmat dan nggak banyak pikiran.

Itu saat peradaban belum sematerialistis sekarang, di mana uang adalah panglima, sementara kita adalah hulu balangnya. Tapi lebih sering merangkap budaknya. Getir memang tapi begitulah memang bekerjanya ekonomi uang.

Tidak banyak orang yang seberuntung saya bahwa menikah itu modalnya cuma cinta, bukan uang. Belasan tahun lalu seorang perempuan, sekarang sudah jadi istri, yang sudah punya jalur karir baik meminta untuk dinikahi. Sementara kondisi saya saat itu tengah terpuruk, belum lama kehilangan pekerjaan.

Jangankan tabungan, pekerjaan pengganti pun belum saya dapatkan. Tetapi kami, tepatnya dia sih, percaya bahwa cinta merupakan bahan bakar terbaik untuk menghidupkan perekonomian rumah tangga pasca pernikahan.

Itu sekedar contoh kasus. Di Indonesia, umumnya tetap kita harus secara khusus mempersiapkan tabungan sebelum menikah. Bukan untuk dihabiskan saat pesta pernikahan yang mana kita merajakan diri sebagai pengantin. Tetapi untuk mempersiapkan kehidupan “sehari setelah pesta”, Kehidupan pasca pernikahan.

Pertama harus memastikan ada dana untuk kepemilikan rumah. Kredit atau tunai tergantung kekuatan masing-masing dalam mewujudkan rumah impian. Umumnya keluarga muda, tentu saja mengambil KPR. Syukur-syukur sudah dipersiapkan oleh orang tua.

Pengeluaran yang sudah harus disiapkan setelahnya adalah biaya pendidikan anak. Besaran kenaikan inflasi pendidikan jauh melampaui inflasi kebutuhan akan sandang maupun pangan.

Berapa nilai untuk masing-masing pengeluaran tersebut?

Itulah peliknya menabung. Bagi kalian yang masih gajian, 40% penghasilan biasanya habis untuk pengeluaran rutin. Bisa jadi lebih untuk yang besaran gaji atau upahnya masih setara upah minimum yang ditetapkan pengusaha dan pemerintah. Sangat mungkin seluruh penghasilannya habis di bulan itu.

Loh, kalau habis semua, jadi kapan nikahnya dong?

Loh ya kalau sudah ada calonnya disegerakan saja, daripada dia berubah pikiran. Kita tidak akan pernah merasa siap kalau terlalu berhitung. Rejeki itu misterius, dimakan sendiri kurang, dimakan berdua malah tambah banyak. Banyak contoh bagaimana orang menjadi tambah sejahtera setelah menikah. Sumber ekonomi bertambah, semangat membaja, lembur tambah kayak kuda.

Mumpung musim hujan, harga bumbu terhitung murah, mari kita menikah. Ingat, uang tabungan gunakan untuk kehidupan pasca pernikahan. Wah nggak boleh seneng-seneng pas pesta pernikahannya dong? Loh ya ditunda lagi nikahnya kalau masih pengin bebas…

Terakhir diperbarui pada 16 November 2018 oleh

Tags: biaya menikahHaryo setyo wibowoKonsultasi keuanganmenikah
Haryo Setyo Wibowo

Haryo Setyo Wibowo

Artikel Terkait

Tepuk Sakinah saat bimbingan kawin bikin Gen Z takut menikah. Tapi punya pesan penting bagi calon pengantin (catin) sebelum ke jenjang pernikahan MOJOK.CO
Ragam

Terngiang-ngiang Tepuk Sakinah: Gen Z Malah Jadi Males Menikah, Tapi Manjur Juga Pas Diterapkan di Rumah Tangga

26 September 2025
Menentukan Waktu yang Tepat untuk Menikah | Semenjana Eps. 4
Video

Menentukan Waktu yang Tepat untuk Menikah | Semenjana Eps. 4

24 Februari 2025
Mendengar Penyesalan Gen Z yang Nikah Muda: Jangan Buru-Buru Kawin Kalau Gajimu Masih Setara UMR Jogja MOJOK.CO
Ragam

Mendengar Penyesalan Gen Z yang Nikah Muda: Jangan Buru-Buru Kawin Kalau Gajimu Masih Setara UMR Jogja

10 Januari 2024
Uneg-uneg Pengantin Baru: Istri yang Bingung Mau Ngapain Selama 24 Jam MOJOK.CO
Kilas

Uneg-uneg Pengantin Baru: Istri yang Bingung Mau Ngapain Selama 24 Jam

9 Oktober 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.