MOJOK.CO – Pekan lalu, warga Yogyakarta heboh dengan operasi dari Bareskrim Polri dan Polda DIY yang menggerebek sindikat narkoba keripik pisang dan happy water di Banguntapan, Bantul. Soal narkoba, di masa lalu, Jogja pernah terkenal sebagai pusat jual beli opium terbesar di Hindia Belanda.
Keripik pisang rasa narkoba, terendus setelah beberapa pihak curiga karena harga keripik pisang yang begitu mahal, yakni Rp6 juta per bungkus. Polisi pun berhasil mengamankan delapan orang dari operasi ini.
Sejarah panjang narkoba di Yogyakarta sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Dahulu, kota ini merupakan salah pusat jual-beli opium terbesar di Hindia-Belanda. Opium sendiri merupakan getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang.
Pada masa lalu, peredaran opium paling besar terjadi di Jalan Malioboro. Lokasi yang kini jadi Teras Malioboro I, dahulu adalah salah satu pusat jualan opium yang paling besar.
Hindia Belanda negerinya candu
Sejarah mengenai peredaran opium di Nusantara sudah banyak tercatat dalam buku maupun naskah kuno. Misalnya dalam Opium To Java oleh James R. Rush dan Serat Erang-Erang yang ditulis pujangga Wirapustaka.
Pada era kolonial Hindia Belanda, opium memang merupakan salah satu komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli dan menjadi objek pajak. Saking pentingnya, pemerintah Hindia Belanda bahkan memperebutkan hak monopoli opium dengan Inggris dan Denmark.
Maka, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Baron van Imhoff (1745), ia memberlakukan sistem perdagangan bebas bagi candu. Sejak kebijakan ini berlaku, tiap tahun diperkirakan ada rata-rata 56 ton opium yang mendarat di Jawa.
Alhasil, tidak mengherankan jika pada 1880 pajak perdagangan opium menjadi penghasilan paling besar bagi Pemerintah Hindia Belanda.
Bahkan, pada 1894 pemerintah mendirikan pabrik opium sendiri di wilayah Salemba. Kini kawasannya berada di area Universitas Indonesia. Peredaran opium pun makin meluas, hingga memasuki wilayah-wilayah pedesaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga wilayah vorstenlanden Surakarta dan Yogyakarta.
Di Malioboro, opium beredar bebas
Menurut berbagai catatan, terdapat 372 tempat penjualan opium yang tersebar di Yogyakarta sepanjang akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Mulai dari toko kecil-kecilan, hingga yang besar.
Berdasarkan penelusuran saya pada Peta Yogyakarta tahun 1946, lokasi kantor pusat dagangnya ada di Jalan AM Sangaji, Jetis, tepat berada di sebelah utara Tugu Jogja.
Kantornya bernama Opiumregie (dalam bahasa Inggris: Opium Monopoly). Kantor ini bertugas mengendalikan laporan distribusi opium yang keluar-masuk Yogyakarta, hingga mendata para penjualnya (disebut “mantri candu”).
Saat itu, para mantri candu wajib mencantumkan papan nama “kantor penjualan” atau “toko penjualan candu”. Dalam bahasa Belanda umumnya menggunakan dengan papan nama “opiumverkoopplaats”.
Kalau boleh menduga, bangunan kantor Opiumregie kini harusnya berada di lahan yang kini menjadi SPBU Pertamina Tugu.
Nah, dari data Opiumregie tadi, sebagian besar rumah penjual candu opiumverkoopplaats ada di kawasan pecinan yang kala itu melingkupi sepanjang Jalan Patjinan (sekarang sekitaran Jalan Margo Mulyo hingga Jalan Jend. Ahmad Yani) dari Teras Malioboro I di sisi barat dan Kampung Ketandan di sisi timur.
Berdasarkan catatan peta Yogyakarta yang disusun tahun 1935, toko candu terbesar berada di dua tempat. Pertama, lokasinya ada di bangunan yang saat ini menjadi Teras Malioboro I (bangunannya pernah berfungsi sebagai gedung Bioskop Al Hambra). Kedua, ia terletak tepat di sudut perempatan Jalan Malioboro dan Jalan Suryatmajan.
Untuk lokasi kedua, saya menduga lokasi sekarang tepat berada di bangunan yang sekarang menjadi Mirota Gallery dan Toko Obat Sumber Husodo Tek An Tong.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono