MOJOK.CO – Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead menyatakan bahwa Indonesia terbilang masih “beruntung” meski diserang kabut asap. Kok bisa?
Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) di Sumatra dan Kalimantan telah memasuki babak yang kian mencekam. Seperti dilaporkan sebelumnya, jarak pandang yang semula ada di radius 1 km, sempat berkurang menjadi 300 meter saja. Belum lagi, respons pemerintah yang terkesan lambat dan jauh berbeda dengan “kehebohan” kala menanggapi laporan kualitas udara buruk di Jakarta.
Dari seluruh peristiwa karhutla yang memunculkan derita berupa kabut asap bagi para penduduk, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyebutkan bahwa Riau menjadi wilayah terdampak paling luas, yaitu mencapai lebih dari 40 ribu hektare. Secara total, karhutla kali ini membuat Indonesia kehilangan lahan dan hutan seluas 238 ribu hektare atau hampir setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta.
Dilansir dari CNN Indonesia, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead menyatakan bahwa Indonesia terbilang masih “beruntung” karena karhutla yang terjadi tidak lebih besar daripada di Amerika Serikat, yaitu sebanyak 3,5 juta hektare (2018) dan 4 juta hektare (2017).
“Jadi saya mau bilang, kita masih beruntung karena kita masih di jalur yang benar,” katanya, Jumat (13/9) lalu.
Dari 238 ribu hektare lahan terbakar, 80 ribu di antaranya adalah lahan gambut. Menurut Nazir Foead, pemulihan lahan gambut terbakar memang tidak dapat ditempuh dengan waktu yang singkat. Di Jepang, pemulihan membutuhkan waktu sepuluh tahun, jelas jauh berbeda dengan kebakaran di hutan Indonesia yang “belum terlalu lama”.
Namun, meski perjuangan kita “masih perlu puluhan tahun” dan kini masih terbilang “beruntung”, rasa-rasanya penderitaan itu tak bisa menunggu terlalu lama. Berkat kepungan kabut asap, warga sekitar harus rela kegiatannya terganggu. Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, Riau, misalnya, memutuskan untuk kembali meliburkan kegiatan belajar mengajar di seluruh tingkat pendidikan pada hari Senin (16/9) dan Selasa (17/9). Padahal, libur sekolah sendiri sudah dilaksanakan sejak Selasa (10/9) lalu. Penyebabnya? Tentu saja kabut asap dari karhutla.
Pemerintah Kota Singkawang, Kalimantan Barat, mengeluarkan kebijakan serupa, yaitu meliburkan kegiatan sekolah selama tiga hari ke depan karena kualitas udara dan adanya kabut asap yang memang kian memburuk.
Keberadaan kabut asap ini mengancam kesehatan penduduk. Setidaknya, sebanyak 20.000 warga di Kalimantan Selatan dilaporkan terserang Infeksi Saluran dan Pernapasan Atas (ISPA). Di Sumatra, karhutla bahkan telah menelan korban. Seorang bayi berusia empat bulan meninggal dunia karena ISPA, Minggu (15/9). Diduga, kabut asap menjadi penyebabnya.
Bukan cuma penduduk yang tersiksa, kabut asap karhutla ini juga mengancam keberadaan satwa. Sejak beberapa hari terakhir di lini masa media sosial, foto-foto satwa terdampak beredar luas, bahkan kini dikabarkan telah memasuki area rehabilitasi orang utan.
Dengan segala “serangan” asap yang merugikan dan membahayakan, rasa-rasanya nggak mungkin, deh, kita bilang bahwa kita “masih beruntung”. Mereka yang jadi korban jelas tidak butuh perbandingan—mereka perlu pertolongan. Segera. (A/K)
BACA JUGA Saat Kabut Asap Makin Tebal di Riau, Pemerintah Juga Sibuk Debat dengan Malaysia atau artikel lainnya di rubrik KILAS.