Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Sodara-Sodara, Jangan Melulu Menunduk dan Bilang ”Iya, Pak,” Kalau Kalian Diomeli

Is Harjatno oleh Is Harjatno
31 Maret 2020
A A
Sodara-Sodara, Jangan Melulu Menunduk dan Bilang ”Iya, Pak,” Kalau Kalian Diomeli

Sodara-Sodara, Jangan Melulu Menunduk dan Bilang ”Iya, Pak,” Kalau Kalian Diomeli

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Banyak dari kita yang tak sadar, bahwa sebagian besar kita kerap hanya bisa nunduk saat diomeli. Padahal kita bisa melakukan lebih dari itu.

Sekira dua hari lalu, perhatian saya kecantol oleh sebuah video viral yang kebetulan mampir secara tak sengaja di beranda sosial media saya. Dalam video tersebut, tampak seorang polisi yang sedang mendamprat habis-habisan seorang lelaki setengah baya karena nekat mengadakan acara arisan di rumahnya yang dihadiri oleh puluhan orang. Hal yang dianggap sembrono di saat kondisi wabah virus corona seperti sekarang ini.

Si polisi, dengan tampang yang tentu saja sangar, atau setidaknya berusaha disangar-sangarkan, memberondong lelaki di depannya itu dengan ujaran kejengkelan yang sporadis. Si lelaki malang itu tampak hanya bisa ciut-mengkerut serupa kerupuk kalengan yang tenggelam di kuah soto. Ia tampak menunduk lesu penuh dengan kepasrahan.

Yang menarik perhatian saya sebenarnya bukan soal kemarahan si polisi atau soal betapa memprihatinkannya keabaian sebagian masyarakat terkait situasi terkini. Saya justru lebih tertarik pada hal yang jauh lebih fundamental dan prinsipil: Kenapa sih lelaki setengah baya itu, atau siapa pun itu harus pasang gestur menunduk lesu saat diomeli oleh orang yang menurutnya punya otoritas di atasnya?

Bagi saya, ini adalah salah satu pertanyaan yang paling penting untuk dikemukakan, utamanya di era post-truth seperti sekarang ini.

Kalian yang sering melihat orang diomeli, pasti biasa mendapati gestur begitu. Nunduk, pasang wajah memelas penuh penyesalan, terus ngomong dengan nada rendah ”Iya, pak (atau Bu, atau Mas, atau Mbak),” sambil ngangguk tipis-tipis. Klise sekali.

Kesannya jadi kayak orang yang sedang khusyuk gitu. Kayak orang yang sedang insaf atau orang yang membulatkan tekad untuk melakukan taubat nasuha dan selepas ini akan bertekad berubah menjadi pribadi yang jauh lebih baik serta bermanfaat bagi bangsa dan negara, takkan mengecewakan orangtua dan agama lagi. Gitu-gitulah pokoknya.

Pada titik yang lebih genting, kadang-kadang, si teromel ini bisa menimbulkan kesan berjarak dengan objek omelan itu, seakan-akan yang diomeli itu orang lain, bukan dia.

Misalnya, nih, dari pengalaman saya sendiri waktu masih aktif jadi pimpinan HRD dulu, saya pernah menguliahi seorang manajer cabang dan supervisornya karena berulangkali membuat kesalahan yang berlarut-larut dan mengakibatkan kerugian bagi timnya sendiri dan perusahaan. Pas diceramahi gitu, sempat-sempatnya si manajer itu nyeletuk, ”Iya, padahal kan nggak boleh ya, Pak, begitu itu…” Lha, kan yang lagi dibahas ini Sampeyan, Purnomooooo.

Selain menunduk, kebiasaan nyahut pasrah. ”Iya, Pak… Iya, Pak…” ini juga agak gimana gitu.

Rasanya kayak, ehm, gimana ya, memang harus banget ya template ngomongnya gitu? Kita yang ngomel bawaannya jadi congkak karena merasa memegang kebenaran mutlak yang tak terbantahkan, atau kalo nggak malah jadi bingung, ini kan kita nggak lagi nanya, tapi kok malah dijawab iya-iya aja.

Padahal kalau dinalar, jawaban “Iya, Pak…” ini kesannya malah bikin si teromel ini kayak lagi membenarkan kesalahannya gitu kalo penggunannya nggak pas. Misalnya gini:

”Bapak tahu akibat dari perbuatan bapak?”

“Iya, Pak.

Iklan

”Lalu kenapa bapak teruskan saja? Apa bapak tega lihat teman-teman bapak kena imbasnya, hah?”

“Iya, Pak.”

Seakan dianya memang tega merugikan temannya. Atau contoh yang lain deh.

”Masnya apa nggak sayang sama anaknya, kok naik motor jarak jauh begini nggak dipakaikan helm sama jaket, sudah gitu duduknya ditaruh di depan kena angin kencang begini, hah?”

“Iya, Pak.”

Kalo nangkapnya harfiah kan bisa jadi diartikan si mas beneran nggak sayang sama anaknya.

Ah, apakah saya yang mikirnya kejauhan ya?

Tapi mungkin bagi seseorang yang sedang diomeli, jawaban ”Iya, Pak” sambil menunduk itu dianggap sebagai pilihan yang paling netral dan aman. Menunduk sambil bilang “Iya, Pak” itu biasanya juga dijadikan jalan pintas oleh orang yang sedang diomeli agar sesi omelan itu segera berlalu.

Diomongin apa pun, jawabnya “Iya, Pak… Iya, Pak…” Ditanyain ngerti atau ingat apa nggak, jawabnya iya-iya juga.

Padahal kalau yang diomeli itu disuruh jelasin ulang, biasanya ketahuan kalo aslinya nggak terlalu nyimak karena terlalu sibuk meratapi diri dan jawab iya-iya aja.

Lagian ngapain juga sih pake nunduk melas gitu. Palsu banget nggak, sih? Wong, seringnya orang itu menunduk gitu bukan karena menyesal dari lubuk hati terdalam. Seringnya ya karena merasa kalah awu aja sama yang ngomel, soalnya yang ngomel punya otoritas yang lebih besar darinya, entah secara profesional, usia, sosial, atau lainnya.

Coba kalo yang ngomel-ngomel di video viral itu anak tetangga sebelah alih-alih polisi, apakah si bapak empunya rumah itu bakal manut? Ngereken aja paling juga nggak.

Atau, andai ketika menegur manajer cabang dan supervisor tadi status saya adalah anak magang dan bukannya manajer HRD, paling-paling yang terjadi adalah saya bakal diludahi. Bukan soal isi pesannya, tapi atribut soal siapa yang bicara yang dilihat. Sedih, tapi itulah kenyataannya.

Kenapa ya kita jarang sekali menemukan orang yang kalau pas diomeli, dia bisa nggak nunduk, tapi justru menatap mata yang sedang mengomeli?

Sebagai orang yang pernah berkali-kali ngomelin orang, saya pikir, kita harus mulai membiasakan kebiasaan yang bagus ini.

Kontak mata. Membuka dialog. Omelan menjadi bukan hanya menjadi omelan lalu. Yang keluar dari kuping kiri keluar kuping kanan.

Pasti indah sekali rasanya kalau suatu saat, ada polisi yang sedang mendamprat pemotor yang melanggar rambu lalu lintas dan ternyata si pelanggar mengaku salah tapi sekaligus memberikan perlawanan yang argumentatif.

“Kamu ini sudah tahu lampu merah, masih saja nerobos, mau nantangin saya, Kamu?”

“Maaf, Pak. Ini murni kesalahan saya. Saya terburu-buru mau berangkat ke kantor, soalnya hampir telat, jadi tadi saya nekat nerobos lampu merah. Kalau soal mau nantangin bapak, tentu saja enggak. Saya ini nerobos lampu merah karena buru-buru. Kalau ditambah harus nantangin bapak, nanti saya jadi makin telat, Pak. Mikir. Lagian bapak ini polisi, bukan raja di Benteng Takeshi, ngapain ditantang-tantang”

Ah, betapa indahnya. Perkara nanti si pemotor digampar sama polisi, tentu itu bukan urusan saya.

Terakhir diperbarui pada 31 Maret 2020 oleh

Tags: diomelihrd
Is Harjatno

Is Harjatno

Artikel Terkait

Gen Z Solo, dunia kerja.MOJOK.CO
Ragam

Stigma Gen Z yang Dianggap Nggak Becus di Dunia Kerja, Stigma Paling Serampangan yang Makin Hari Makin Parah Gara-gara Media Sosial

24 Mei 2024
Pertanyaan HRD tentang Skripsi Saat Interview Kerja Itu Bukan Basa-basi, tapi Bisa Menentukan Karier!
Ragam

Pertanyaan HRD tentang Skripsi Saat Interview Kerja Itu Bukan Basa-basi, tapi Bisa Menentukan Karier!

17 Mei 2024
HRD Curang kepada Karyawan karena Karyawan Itu Sepele MOJOK.CO
Esai

Sisi Gelap HRD: Bitter Truth dan Kecurangan kepada Karyawan yang Dianggap Sepele

27 Maret 2024
membuat cv curriculum vitae.MOJOK.CO
Pendidikan

Tips Membuat CV yang Memikat HRD

24 Oktober 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.