Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Rugi Buka SPBU di Papua? Kalau DPR Menantang, Korporasi Bisa Menantang Balik karena DPR Cuma Bisa Melempar Retorika

Fuadi Afif oleh Fuadi Afif
3 Oktober 2025
A A
Rugi Buka SPBU di Papua? DPR Bisanya Cuma Omong Kosong MOJOK.CO

Ilustrasi Rugi Buka SPBU di Papua? DPR Bisanya Cuma Omong Kosong. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Anggota DPR menantang pengelola SPBU swasta buka di Papua. Halah, Nggak nyambung dan cuma retorika omong kosong saja.

Anggota DPR menebar tantangan yang sangat tidak relevan. Saat itu, Komisi XII DPR sedang tatap muka dengan beberapa pengelola SPBU swasta. Bahasan dari tatap muka ini adalah usaha menyelesaikan masalah kelangkaan BBM. Pengelola swasta yang hadir antara lain dari Shell Indonesia, BP-AKR, Vivo, Exxon, dan AKR Corporindo.

Alfons Manibui, Anggota Komisi XII DPR, menyoroti kelangkaan BBM di dapilnya, yaitu Papua Barat. Padahal, wilayahnya memiliki kekayaan migas seperti kilang LNG Tangguh yang dikelola oleh BP, berlokasi di Teluk Bintuni. Tiba-tiba, Alfons menantang pihak swasta.

“Coba Shell, BP, atau Vivo bangun SPBU di Papua. Berani nggak? Pasti nggak mau, karena rugi.”

Tantangan kayak gini jatuhnya nggak pada tempatnya. Sok merasa lagi sparing di ring tinju, tapi lawannya bukan petarung, melainkan korporasi multinasional.

Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, mengaku sudah membuka skema impor business to business (B2B) antara Pertamina dan perusahaan swasta. Bahkan Pertamina menyatakan tidak akan mengambil margin dalam kondisi darurat. Tetapi tetap saja, masalah distribusi BBM di kawasan timur Indonesia tidak sesederhana hitung-hitungan kuota impor.

Rakyat yang jadi korban

Mari kita bicara jujur. Papua adalah wilayah dengan biaya logistik yang tinggi. Jalan raya terbatas, sebagian daerah harus ditempuh lewat jalur udara atau laut, harga angkut mahal, infrastruktur belum merata. 

Kalau perusahaan SPBU swasta menghitung dengan kalkulator, hasilnya memang merah. Margin tipis, demand kecil, ongkos distribusi besar. Dari sisi bisnis murni, “rugi” itu bukan sekadar alasan, tapi kenyataan.

Namun, dari sisi warga, soal ini bukan sekadar neraca keuangan. Ketiadaan SPBU artinya harga bensin melambung, aktivitas ekonomi terhambat, dan akses mobilitas warga terganggu. 

Motor yang dipakai anak sekolah, perahu nelayan, transportasi logistik, semua bergantung pada bensin dan solar. Inilah mengapa Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 berbicara jelas. Cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara, dan negara bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan publik.

Kalau korporasi SPBU balik menantang

Tapi mari kita balik sudut pandang. Bagaimana jika korporasi yang ditantang DPR justru balik menantang? Misalnya Shell berkata: “Kami siap bangun SPBU di Papua, tapi negara siapkan dulu jalannya. Kami siap invest, tapi tolong pastikan ada pelabuhan yang layak. Kami mau ambil risiko, asal ada jaminan keamanan, listrik stabil, dan bandara bisa diakses.”

Pertanyaan ini tidak salah. Karena pada dasarnya, investasi swasta selalu mencari kepastian. Kalau negara mengeluh swasta enggan masuk Papua, wajar juga bila swasta balik mengeluh: infrastruktur dasar yang jadi tanggung jawab pemerintah saja masih bolong. 

Jalan Trans Papua sering rusak, jaringan listrik terbatas, distribusi logistik terhambat. Jadi, siapa yang seharusnya lebih dulu memenuhi kewajiban?

Retorika politik dan PR infrastruktur

Pernyataan DPR tadi sebenarnya bisa dibaca sebagai retorika politik yang populis. Mereka melempar “bola panas” ke perusahaan agar publik melihat swasta sebagai biang keladi. 

Iklan

Padahal, negara juga punya andil besar dalam menciptakan ekosistem yang memungkinkan investasi hadir. Tanpa jalan yang layak, tanpa pelabuhan memadai, tanpa jaminan keamanan, bahkan perusahaan paling idealis sekalipun akan berpikir dua kali untuk buka SPBU di Papua.

Ini mirip teori yang dijelaskan Anne Applebaum tentang “impunitas” dalam jejaring otoritarian. Elite sering bicara seolah-olah pihak lain yang salah, padahal akar masalah ada pada lemahnya tata kelola. 

Dalam konteks Papua dan SPBU, “tantangan DPR” bisa terbaca sebagai cara politisi melempar beban ke swasta. Padahal negara belum menuntaskan PR infrastrukturnya.

Pasar enggan, negara lamban

Dari kaca mata ekonomi politik, ada dilema klasik. Jadi, pasar enggan masuk karena rugi, negara lamban hadir karena biaya besar. 

Hasilnya? Warga jadi korban ganda. Rakyat Papua tetap harus beli bensin eceran mahal, tetap antri panjang di SPBU yang stok-nya terbatas. Dan tetap saja mereka menanggung ongkos infrastruktur yang tak kunjung beres.

Kalau begitu, pertanyaan lebih pentingnya. Apakah adil jika akses energi di Papua diperlakukan dengan logika pasar semata? 

Konstitusi kita jelas menulis soal keadilan sosial. Itu artinya, negara tidak boleh sekadar menjadi wasit, tapi harus turun sebagai pemain utama. Membangun jalan, pelabuhan, jaringan distribusi. Itulah cara negara membuat wilayah yang dianggap “rugi” menjadi masuk akal bagi swasta.

Peran civil society dan pengawasan publik dalam konteks SPBU di Papua

Dalam konteks ini, civil society juga punya peran. Tekanan publik bisa memaksa DPR berhenti hanya melempar retorika. 

Komunitas lokal bisa mendorong lahirnya skema subsidi logistik atau SPBU mini. Akademisi bisa memberi masukan agar pelayanan energi dipandang sebagai kewajiban universal, bukan komoditas opsional. 

Karena kalau semua diam, risiko terbesar adalah “penangkapan institusi”. Kebijakan hanya jadi permainan elite politik dan korporasi.

Untuk siapa negara ada?

Akhirnya, kita kembali ke pertanyaan awal. Kalau DPR menantang swasta dengan kalimat, “pasti nggak mau karena rugi,” wajar bila swasta balik menantang: “pasti nggak bisa kalau infrastrukturnya tidak ada.” Pada titik ini, publik berhak bertanya: siapa yang seharusnya lebih dulu memenuhi tugas?

Negara dibangun bukan untuk menghitung laba-rugi semata, tapi untuk menjamin hak dasar warganya. Kalau negara absen, dan swasta enggan, rakyat Papua tetap yang paling rugi. Jadi, untuk siapa negara ini ada kalau akses BBM di tanah Papua masih ditentukan oleh untung-rugi di atas kertas?

Penulis: Fuadi Afif

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Papua, Irian, dan Segenap Atribut Primitif yang Disematkan dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 3 Oktober 2025 oleh

Tags: AKR CorporindoAlfons ManibuiAnggota DPRbbmBensinBP-AKRExxonkelangkaan bbm di papuaKomisi XII DPRPapuaShell IndonesiaSPBUVivo
Fuadi Afif

Fuadi Afif

Seorang praktisi fotografi dan pengkaji pariwisata.

Artikel Terkait

Nasib motor Yamaha Aerox 2023 usai diisi BBM jenis Pertalite, jadi brebet di Jawa Timur. MOJOK.CO
Liputan

Nasib Sial Motor Yamaha Aerox 2023 yang Tersiksa karena Pertalite, Brebet hingga Tak Cukup ke Bengkel Sekali

29 Oktober 2025
Bayar Pakai QRIS di Pom Bensin Adalah Dosa Terbesar Pengendara, Bikin Antrean Makin Panjang Mojok.co
Pojokan

Bayar Pakai QRIS di Pom Bensin Adalah Dosa Terbesar Pengendara, Bikin Antrean Makin Panjang

11 Oktober 2025
Sejarah Indonesia Berisi Kekerasan dan Negara Paksa Kita Lupa MOJOK.CO
Esai

Sejarah Indonesia Berisi Luka yang Diwariskan dan Negara Memaksa Kita untuk Melupakan Jejak kekerasan itu

30 September 2025
Jember Langka BBM, Warga Menderita, Bupati: Biasa Saja MOJOK.CO
Esai

Ojol Menolak Penumpang, Warga Tidur di SPBU ketika Kelangkaan BBM Terjadi di Jember tapi Bupati Menganggap Masalah Ini “Biasa Saja”

29 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.