“Jadi orang jangan absolut-absolutan. Jangan mutlak-mutlakan.” ~ Rusdi Mathari.
Ketika menyimak debat rutin di akhir September, petuah suci Cak Rusdi berdenging di telinga saya. Benar, terlalu banyak yang main mutlak-mutlakan dalam membicarakan Tragedi 1965. Umat jadi terbelah dua.
Di sebelah kanan ada sejarawan Orde Baru, kelompok Islam, antikomunis, dan generasi bentukan pendidikan Orba. Mereka ngotot bahwa perkara ’65 itu nggak perlu diungkit lagi. Satu-satunya yang wajib dijalankan negara hanyalah membentengi Indonesia dari bahaya laten komunis, melarang hadirnya simbol palu-arit, gitu-gitu deh.
Di sebelah kiri ada intelektuil kritis, sejarawan kontemporer (baik sejarawan beneran maupun yang part time), dan juga mereka yang memang pro-komunis. Bagi barisan ini, yang harus dijalankan adalah permintaan maaf negara kepada korban pembantaian massal pasca-Oktober 1965, pelurusan sejarah yang telah dipalsukan Orba, pencabutan larangan Marxisme, dan sebangsanya.
Itu saja. Itu saja.
Golongan kanan sama sekali tak pernah membahas pembantaian massal, yang menurut mereka hanyalah “reaksi spontan dan wajar” atas kekejaman PKI. Persetan ribuan korban tak bersalah dalam air bah penyembelihan manusia, pokoknya yang bau-bau komunis wajib digilas.
Sementara golongan kiri tak pernah membicarakan bagaimana provokatif, ngehek, bahkan brutalnya orang-orang PKI sejak jauh hari pra-1965. Seolah segala yang mengabarkan kelakuan orang komunis itu semua-muanya tak lebih dari produk propaganda Soeharto. Seolah Soeharto semacam “Tuhan” yang tinggal bilang “Kun fayakun!”, maka yang tadinya tidak ada tiba-tiba mak-cling jadi ada.
Sebenarnya, sudah agak lama kulit kepala saya gatal gara-gara menyimak kelompok kiri itu. Kalau yang kanan, yah, kan memang mayoritas bukan orang sekolahan. Tapi yang kiri kebanyakan berpendidikan, baca buku pula.
Hingga pada satu malam, Mahfud Ikhwan (penulis novel Kambing & Hujan itu, tuuuh) menata pertanyaan-pertanyaan lama saya dalam kalimat asyik: “Bagi sejarawan Orba, sejarah ibarat berhenti di Oktober 1965. Bagi sejarawan kontemporer, sejarah seakan baru dimulai pada Oktober 1965.”
Jlebbb!
***
Gara-gara saya mengeluh tentang itu di Fesbuk, seorang pemuda nan-progresif melempar komentar: “Mas, jangan mau dibohongi Orde Baru. Belajar sejarah dulu.” Huahahaha! Mantap, memang.
Begini, Anak Muda. Generasi saya ini lumayan beruntung karena mencicipi sedikit keberimbangan. Menjalani SD sampai SMA pada masa Orba, dan masuk kuliah persis setelah Reformasi 1998.
Ibarat imunisasi, cekokan bius indoktrinasi Soeharto masuk ke tubuh saya secara sempurna. Lengkap. Mulai Penataran P4, nonton rutin film Arifin C. Noor, bikin tugas pelajaran Sejarah dan PMP yang nganu-nganu itu, hingga upacara bendera tiap 1 Oktober. Namun, saya juga merasakan bagaimana gelombang wacana yang mengkritik Orba membludak bak jamaah haji di Terowongan Mina.
Maka saya pun membaca tulisan-tulisan yang mendekonstruksi narasi sejarah resmi Orba. Mulai Robert Cribb, Ben Anderson, Asvi Warman Adam, Hermawan Sulistiyo, hingga Hilmar Farid. Saya juga menonton film John Pilger, The New Rulers of The World; Mass Grave-nya Lexy Rambadetta, dan Shadow Play-nya Chris Hilton.
Setelah puluhan tahun dijejali pelajaran sejarah ala Nugroho Notosusanto, sudah barang tentu sumber-sumber yang saya akses pasca-1998 itu bikin terpesona. Maklum, Anak Muda, menjadi rebel itu seksi, bukan? Ayolah, ngaku saja.
Saya pun jadi latah, ikut-ikutan memancangkan iman bahwa PKI memang 100% tak lebih dari korban pergolakan global, pelanduk yang mati gepeng di tengah tarik-ulur masa Perang Dingin. Saya memuja Pramoedya setinggi Gunung Merapi. Saya menjunjung Gus Dur sedikit di atasnya.
Seiring umur (halah), saya kemudian bertanya-tanya: bagaimana bisa api itu berkobar begitu cepat dan dahsyat di tahun 1965-1966, jika sekam di bawahnya memang tidak panas sedari mulanya? Nggak mungkin, Bro. Mbok mikir to…
Saya pun kembali mendengarkan cerita-cerita lama. Kisah-kisah dari para orang tua. Kesaksian-kesaksian yang beraneka rupa. Nah, di sinilah untungnya. Sebab generasi saya masih mengalami keberadaan kakek-nenek yang menjadi saksi mata segala kejadian di tahun 1950-1960an. Jelas, bukan buku sejarah Orba yang saya baca. Terlalu banyak kebohongan di dalamnya.
Tapi apa iya kita mau menyangkal kesaksian para orang tua yang—ketika kalian jadi sperma pun belum—merasakan betapa panas dan mencekamnya tahun-tahun itu, sekaligus betapa brutalnya orang-orang komunis pada masa itu?
Akhirnya saya tiba pada kesimpulan, bahwa ini memang luka bagi semua. Terlalu bodoh jika mengimani sepenuhnya dongeng ala Orba. Tapi terlalu lebay jika ber-euforia, sampai-sampai menganggap tingkah polah orang-orang komunis waktu itu sepenuhnya baik-baik saja.
Eits, kalian kaum progresif titisan Semaoen jangan ngamuk dulu ya. Saya tidak sedang bicara tentang apa itu komunisme, Marxisme, dan segala yang normatif tentangnya. Itu kalian urus sendiri, lah. Saya cuma bicara tentang kelakuan orang-orang komunis sebelum 1965, sebab itu nyata. Meski pastilah tidak separah gambaran Soeharto.
Yang sisi kanan juga jangan buru-buru menyumpal mulut saya. Saya tidak sedang menghidup-hidupkan kembali komunisme. Sebagai tradisionalis-kejawen, toh saya akan dicemplungkan dalam kategori setan desa oleh mereka. Tapi gini, Akhi. Yang namanya pembantaian massal 500.000 hingga 2 juta jiwa pasca-1965 itu ada! Jelas ada.
Gelombang pembantaian itu pun tidak sesederhana spontanitas pembelaan diri. Aspek “amok” jelas terlibat—sebagai reaksi mengingat gaya orang-orang PKI. Tapi bahwa Sarwo Edhie dan segenap tentara melakukan road show, menata skenario pembantaian dengan beragam bumbu dan fitnah (misalnya pemotongan penis para jenderal), melakukan ratusan ribu eksekusi tanpa proses peradilan, itu juga nyata.
Belum lagi korban-korban tak bersalah yang turut menjadi tumbal para algojo haus darah. Hanya karena seorang perempuan ikut Gerwani, misalnya, tak peduli seumur hidupnya dibaktikan demi pendidikan masyarakat, tak peduli dia nggak ikut-ikutan melakukan serbuan mental ke kelompok seberang, tetap saja ia disembelih seolah bukan manusia. Bahkan hanya karena seorang pemuda pernah main bola dengan anak-anak Pemoeda Rakjat, ia turut dibabat lehernya.
***
Negara memang harus menulis ulang buku Sejarah Nasional Indonesia. Sembari itu, agar terjadi rekonsiliasi, permintaan maaf juga harus disampaikan kepada semua korban kebohongan dan pembantaian negara. Maka, selain kepada korban Tragedi 1965, negara juga wajib minta maaf ke korban Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Haur Koneng, dan sebagainya. Juga kepada rakyat Aceh yang dibunuhi, rakyat Papua yang ditembaki, dan lain-lain. Sebaliknya, kalangan komunis juga selayaknya meminta maaf atas kesalahan-kesalahan masa lalu mereka.
Benar sekali, semua harus saling maaf dan memaafkan.
Tapi… tentu saja adegan begituan cuma akan muncul dalam drama princess-princess-an. Jadi, ya sudahlah, saya saja yang minta maaf. Sini, salim satu-satu!