MOJOK.CO – Di Indonesia, saking taatnya dalam birokrasi, tidak hanya kita sebagai manusia saja yang merasa repot. Namun Tuhan melalui izin rumah ibadah, juga harus mengalaminya.
Permasalahan seputar izin rumah ibadah kembali mencuat. Kali ini datang dari Desa Cikahuripan, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. Sebagaimana berita yang beredar, pemerintah desa setempat mengeluarkan surat teguran kepada seorang warga bernama Simamora untuk tidak melakukan kebaktian di tempat tinggalnya. Di tengah masyarkat Indonesia yang sedang menggandrungi “Aku Indonesia, Aku Pancasila”, permasalahan seperti ini sebenarnya bisa dikatakan lucu. Pertama, perkara kepercayaan dan nilai-nilai ketuhanan tercantum jelas dalam Pancasila sebagai dasar negara. Kedua, masalah kebebasan beragama juga tercantum jelas pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2.
Indonesia adalah negara yang mengakui dan mengatur tentang Ketuhanan dan agama. Bukan seperti negara-negara liberal yang tidak mengatur hal-hal tersebut dalam konstitusi maupun dasar negara. Pun, hampir mayoritas penduduk Indonesia menganut sebuah agama. Entah itu karena kesadaran pribadi maupun karena terpaksa pindah dari kepercayaan aslinya demi pengakuan dari negara. Sepertinya pula, wajib hukumnya bagi orang Indonesia untuk punya agama. Jika tidak, bersiaplah untuk susah mengakses berbagai hakmu sebagai warga negara.
Di sisi lain, permasalahan seputar perizinan juga menjadi bukti betapa Indonesia adalah negara yang amat sangat taat terhadap birokrasi. Jangankan bikin KTP, klaim BPJS atau buat akta pernikahan, negara kita juga sangat taat birokrasi dalam mengatur izin masyarakatnya bertegur sapa dengan Tuhan. Yang kemudian menjadi masalah adalah ketika tak hanya perizinan duniawi saja yang diperumit, tapi juga perizinan non-duniawi akhirat seperti misalnya izin pendirian rumah ibadah .
Dalam bahasa Indonesia, rumah ibadah juga disebut dengan frasa ‘rumah Tuhan’. Hal ini (mungkin) merujuk kepada aktivitas-aktivitas di dalamnya yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ya, meski kini, di beberapa rumah ibadah juga mulai disusupi urusan politik praktis dan kampanye, sih.
Lantas, saat sebuah rumah ibadah juga disetujui sebagai rumah Tuhan sementara izin dari pemerintah setempat amat sangat pelik. Itu artinya, Tuhan pun ternyata mau tak mau harus taat kepada urusan birokrasikah?
Bagi manusia yang beragama dan mengakui keberadaan Tuhan, pasti mereka percaya bahwa Tuhan adalah sebab terjadinya semua hal. Mulai dari kamu ditinggal selingkuh gebetan, putus dengan pacar, atau kalah di Pemilu. Itu semua sudah di atur oleh kekuasaan Tuhan. Di Indonesia, konsep tersebut ternyata harus mendapatkan sedikit pengecualian. Tuhan lewat kuasa-Nya, kepada mahluk ciptaan-Nya, memerintahkan si makhluk itu membuat upacara-upacara keagamaan. Namun, saat ketahuan pemerintah setempat, si makluk itu mendapatkan teguran karena memakai tempat tinggal untuk melalukan upacara keagamaan yang dikatakan tidak punya izin untuk melakukan kegiatan keagamaan.
Saya membayangkan, tidakkah Tuhan kaget melihat itu? Wajar saja seumpama Beliau kaget. Pasalnya, Tuhan yang punya dan bikin tanah di muka bumi ini. Lalu, saat Beliau ingin makhluknya membuat rumah ibadah, ternyata dihalang-halangi oleh pemerintah karena alasan perizinan. Saya kok tiba-tiba membayangkan, andai kata Tuhan yang turun langsung membuat rumah ibadah itu, bisa jadi Beliau juga kena hadang dari pemerintah.
“Tapi kan ini tanah ciptaanku. Asal kamu tahu, ini tanah yang menciptakan aku, loh!” Kata Tuhan dengan penuh rasa heran.
“Maaf, bisa Tuhan tunjukkan sertifikat tanahnya dulu?” Tanya si petugas pemerintahan. Hayooo, kira-kira Tuhan mau jawab seperti apa, kalau ditanya semacam itu?
Belajar dari kasus yang terjadi Cikahuripan, rasanya ada sebuah penyempitan makna dari frasa ‘kegiatan keagamaan’. Simamora mendapatkan peringatan karena ia melakukan kegiatan keagamaan di tempat tinggalnya yang tidak punya izin pendirian rumah ibadah. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah kegiatan keagamaan hanya sebatas kegiatan kebaktian, misa, atau pengajian?
Bukankah pengajian rutin di kampung-kampung, misa keliling di rumah jemaah lingkungan gereja, atau sekadar pembacaan surah Yasin bersama-sama pun bisa dikatakan sebagai kegiatan keagamaan? Jika memang pemerintah ingin amat menegangkan eh menegakkan birokrasi, sudahkah si empunya rumah punya izin tempat ibadah? Sudahkah tempat tinggal Mbah Dharmo yang kemarin lusa dipakai pengajian rutin bapak-bapak punya izin pendirian rumah ibadah?
“Tapi kan itu tidak diikuti oleh banyak orang dan tidak dilakukan rutin.”
Oh, tunggu dulu, siapa bilang? Banyak kok di desa-desa pengajian rutin atau sembahyangan rutin yang dilakukan berkeliling dari rumah ke rumah secara bergilir—bisa per minggu atau per bulan. Tentang nominal peserta, katakan satu kampung punya penduduk 300 jiwa. Katakan 1/3 dari mereka biasanya ikut acara-acara keagamaan, jadi ada sekitar 100 orang yang ikut.
Birokrasi dan administrasi memang selayaknya ada dan dilakukan secara teratur, tersusun rapi, dan sistematis demi keteraturan hidup sebuah kelompok masyarakat. Meski demikian, itu tidak berarti semua hal bisa diatur dalam birokrasi. Ada banyak hal mendasar yang bersifat hak asasi yang akan rancu jika terpaksa masuk ke ranah birokrasi. Masalah izin rumah ibadah ini contohnya.
Rasanya nggak perlu kok pemerintah harus sedemikian ketat dan saklek mengatur izin tempat tinggal yang dipakai untuk kegiatan ibadah. Bukankah yang terpenting dalam hal ini adalah ada komunikasi antara si empunya rumah dengan warga sekitar? Sehingga, ketika dari sebuah rumah terdengar nyanyian lagu rohani atau alunan surah-surah Al-Quran, warga sudah tahu apa yang sedang terjadi di rumah itu. Dengan begitu, sebagai warga negara yang toleran tentu akan mahfum.
Jika memang ingin mengatur rumah ibadah secara birokratis, itu pun harus dilakukan dengan rapi dan konsisten. Jangan lupa, berikan pula parameter-parameter yang jelas. Jangan sampai sistem birokrasi bingung sendiri saat menemukan realita-realita berbeda lainnya di tengah masyarakat. Sulit ya? Memang….
Lebih dari itu semua, saya rasanya harus memberi hormat kepada sistem birokrasi di Indonesia. Jargon lama bahwa Indonesia adalah negara yang adil betul-betul nyata. Gimana nggak adil? Lha wong, sampai-sampai Tuhan yang menciptakan alam semesta pun harus taat birokrasi—yang panjang—saat umatnya ingin membuatkan rumah ibadah.
Jadi, buat kamu yang merasa bahwa sistem birokrasi di Indonesia itu ruwet dan kamu sering dipersulit saat mengurus ini-itu, kamu harus sadar diri. Wong Tuhan yang mau dibikinkan rumah ibadah saja harus taat birokrasi. Apalagi kamu? Sopo koe??!!!