ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Panduan Berinteraksi dengan LGBT bagi Kaum Hetero Itu Tidak Perlu

Nurdiyansah Dalidjo oleh Nurdiyansah Dalidjo
29 Juli 2020
0
A A
Panduan Berinteraksi dengan LGBT bagi Kaum Hetero kayak Kamu

Panduan Berinteraksi dengan LGBT bagi Kaum Hetero kayak Kamu

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Penting kiranya keterwakilan kelompok LGBT di media massa. Terutama ketika penikmat media itu mayoritas kaum hetero kayak kamu.

Pada suatu ketika, saya menerima curhatan seorang kawan. Ia bekerja di media yang progresif.

Ia bilang kalau beberapa kali medianya menerima naskah atau komentar yang ditulis oleh kaum hetero dan ditujukan kepada orang-orang LGBT, salah satunya tentang bagaimana kelompok LGBT seharusnya berpakaian.

“Tulisan begitu masih politically corret nggak, ya?” tanya kawan saya itu. Kebetulan ia straight, seorang hetero.

Tentu saja, siapa pun boleh melontarkan kritik. Seandainya pun saya perlu lebih dulu mengutamakan respons yang bijak.

Mereka yang tidak merasa menjadi bagian dari kelompok LGBT, ya, boleh-boleh saja berpendapat tentang LGBT. Kita sebaiknya memang membuka ruang dialog itu, sehingga ada pertukaran pemahaman di antara keduanya.

Di sini, kita perlu ingat bahwa “LGBT” itu bukan sekadar kategori orientasi seksual, melainkan pula politik identitas dan bagian dari gerakan sosial. Maka, saya tidak hendak nyinyir terhadap mereka yang straight sebab mungkin maksudnya juga tidak selalu hendak menghakimi atau meyudutkan, bahkan bisa saja sebetulnya baik.

Tetapi, terkadang niat baik itu juga bisa bias. Kita perlu merenungkan soal baik untuk siapa dengan mengingat bahwa kelompok LGBT adalah minoritas politik. Realitasnya, kelompok LGBT masih menghadapi stigma, diskriminasi, kekerasan, bahkan ancaman persekusi dan kriminalisasi di negeri ini.

Jadi, buat saya, untuk tetap menaruh hormat pada sisi progresif kawan saya yang straight dan media tempatnya bekerja, saya mau mengajak kita membahas keterwakilan kelompok LGBT di ruang publik, termasuk media.

Ada berapa banyak orang LGBT yang kerja di media? Mungkin tak sedikit, meski lain perkara lagi untuk spesifik melontarkan gugatan soal berapa banyak waria/transpuan maupun transpria yang bekerja di media atau menjadi jurnalis.

Tapi, apakah mereka yang bekerja di media itu pun merasa penting (dengan jaminan rasa aman dan nyaman) untuk mengutarakan bahwa mereka adalah bagian dari LGBT? Lantas, apakah media mau mendorong keterwakilan seandainya mereka menegaskan politik identitas?

Saya bilang padanya kalau itu soal bagaimana ia (dan medianya) mau memberi afirmasi. Yang saya maksud, bukan hanya memberi ruang, tetapi juga mendorong agar secara seimbang pandangan tentang LGBT, sepatutnya pula direspons oleh orang-orang LGBT.

Katanya, memang begitu yang terpikir dan sedang dibahas olehnya dan medianya. (Dan jika benar-benar kelak betul terjadi, itu sesuatu yang luar biasa untuk diapresiasi.)

Tapi, tunggu dulu, pembahasan kita belum selesai. (Sebab, artikel ini pun perlu dibuat agak lebih panjang lagi, toh!) dan itu menggiring kita pada pembahasan soal “ally”.

Nah, kata “ally” ini tidak saya terjemahkan karena tentu bukan diartikan sebagai sekadar “sekutu”. Pada konteks yang saya maksud, ally mengacu pada straight ally atau hetero ally atau cisgender ally, yaitu mereka yang heteroseksual dan cisgender (soal apa itu cisgender, sebaiknya silakan dicari tahu sendiri, ya) yang mendukung perjuangan LGBT.

Kita perlu membahas ally, sebab mungkin ini topik yang tak sering kita perbincangkan. Dan pastinya, untuk pula kita tak lekas nyinyir jika ada kawan atau siapa pun yang mengutarakan dukungan terhadap hak LGBT—tapi kurang banyak bergaul dengan LGBT—lantas “terpeleset” dengan lontaran ucapan atau sikapnya sendiri yang sesungguhnya mewakili kenaifan atau keluguan soal LGBT. Pemakluman itu wajar untuk kita menggiringnya pada suatu dialog.

Sebab, dengan sedikit agak lucu (setidaknya, itu menurut saya pribadi), kawan saya itu mengusulkan obrolan tentang perlunya panduan bagi kaum hetero untuk berinteraksi dengan kaum LGBT.

Ia bilang alasannya agar correct dan nggak kagok ketika yang straight berhadapan dengan orang-orang maupun isu LGBT.

Saya sebetulnya sedikit menahan geli untuk tak tertawa. Bagi saya, itu terdengar seperti ia dan mungkin mewakili kaum hetero seperti dirinya sedang melihat orang-orang LGBT sebagai spesies makhluk yang berbeda.

Tentu, saya tak bilang begitu padanya karena saya melihat ia sesungguhnya punya niat yang baik dan kepedulian pada kelompok LGBT. Dan itulah yang saya maksudkan dengan lontaran yang lugu. Wajar saja, toh, sebetulnya kami sedang berdialog sebagai sesama karib.

Dan mengenai itu, kemudian membawa kami pada bahasan tentang peristiwa sejarah gerakan LGBT di dunia akhir tahun 1960-an di Indonesia, mungkin sekitar tahun 1980-an, dengan adanya transisi dari sebutan “homoseksual” menjadi “gay” atau “LGBT” secara luas (juga belakangan “queer”) sebagai payung bagi keragaman kelompok minoritas gender dan seksual.

Konsep “homoseksual” sendiri dimunculkan psikiater straight abad ke-19 untuk memilah kategori manusia secara seksual yang kemudian memandang “homoseksual” itu sakit atau tidak normal (padahal, keragaman seksualitas manusia adalah hal yang alamiah).

Penyebutan “homoseksual” menjadi “gay,” (perlu diingat bahwa dulu yang disebut “gay” itu tidak hanya mengacu pada lelaki yang menyukai lelaki atau gay male, melainkan pula untuk perempuan yang menyukai perempuan atau gay female dan juga kelompok transgender) menegaskan bahwa gay atau LGBT adalah gaya hidup (life-style) dan politik identitas, termasuk sejarah dan perjuangan untuk mengontekstualisasikan LGBT sebagai gerakan sosial.

Pada akhirnya, kami seperti bersepakat bahwa yang namanya “panduan menghadapi orang-orang LGBT” itu tidak perlu, sebab kelompok LGBT itu bukan spesies yang perlu dikhawatirkan, ditakuti, apalagi ditaklukkan. Tak boleh ada pembedaan, juga stigma dan diskriminasi, apalagi kekerasan terhadap kelompok LGBT sebagai manusia.

Tetapi, adalah pula tugas kita bersama untuk bisa mengedukasi masyarakat mengenai pemahaman terhadap keragaman seksualitas yang mencakup orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, dan karakteristik seks atau biasa disingkat SOGIESC, termasuk hak LGBT sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Dan kembali lagi pada obrolan saya dan kawan saya itu, di mana kami menyadari bahwa sebetulnya yang perlu diubah itu adalah serangkaian norma/nilai, termasuk yang heteronormatif dan patriarki.

Bagaimana kemudian kita sama-sama membasmi yang namanya homofobia, bifobia, dan transfobia serta mendukung situasi yang ramah terhadap LGBT—yang inklusif untuk segala keberagaman, termasuk keberagaman seksualitas.

Lalu, kembali lagi kepada soal bagaimana seharusnya straight bersikap terhadap kelompok LGBT. Tentu selain menaruh empati terkait dengan LGBT sebagai minoritas, ya, sepatutnya biasa saja selayaknya manusia yang pada dasarnya punya keragaman identitas: suku, ras, agama, budaya, dan lain-lain.

Orang-orang LGBT pun punya identitas lain—selayaknya setiap manusia tidak hidup hanya dengan satu identitas—misalnya gay yang muslim, lesbian yang Jawa, waria yang berasal dari Masyarakat Adat, atau transpria yang Tionghoa.

Sesederhana, jika tak tahu harus memanggil seorang individu LGBT dengan sebutan “pak” atau “bu,” sebaiknya ditanyakan kepada yang bersangkutan. Dan hormatilah jika seseorang itu kemudian meminta untuk dipanggil “mbak” meski kau seolah tak melihat ada benjolan payudara di dadanya.

Dan untuk menyambungnya pada kelompok ally LGBT, mari kita diskusikan bagaimana sepatutnya seseorang itu menjadi ally. Itu bisa dimulai dari ia untuk mau belajar memahami tentang keragaman seksualitas. Dan kepedulian terhadap kelompok LGBT sebagai minoritas, juga harus ditunjukkan pada ucapan dan sikap.

Seorang ally bisa saja mengalami tekanan atau penindasan karena melontarkan dukungan terhadap kelompok LGBT. Ia bisa dituduh sebagai bagian dari LGBT meski seorang hetero atau turut diperlakukan secara tidak baik untuk menyamakannya dengan kelompok LGBT itu sendiri: yang menyimpang, sakit, tidak normal, atau calon penghuni neraka.

Begitu pula dengan para orang tua straight yang telah menerima dan merangkul anak-anak mereka yang LGBT, bisa menghadapi berbagai tantangan serupa. Sehingga, ally pun membutuhkan dukungan, termasuk dari kelompok LGBT sendiri untuk bisa saling menguatkan.

Namun, hal lain yang juga penting, adalah ally perlu memahami keistimewaan yang dimiliki atau privilege-nya sebagai straight. Dalam konteks kawan saya yang straight berprofesi sebagai pekerja media, perlu menyadari bahwa suara orang-orang LGBT itu belum banyak digaungkan—untuk menyebut bahwa “jurnalisme berperspektif LGBT” itu belum dianggap penting oleh banyak media.

Bahkan, banyak media yang justru kian menyudutkan. Sehingga, menghadirkan suara-suara LGBT untuk bisa didengar, merupakan suatu cara yang perlu dipikirkan.

Jadi, saya ingin bilang kepada kawan saya yang jurnalis itu lewat tulisan ini kalau ia punya kesempatan membuka peluang tersebut dan medianya perlu mengambil peran agar mewujudkan itu untuk kita sama-sama “bersekutu” demi kemanusiaan.

BACA JUGA Enam Argumentasi Sia-Sia seputar Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau Bisakah Seorang Muslim Bersahabat dengan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender?

Terakhir diperbarui pada 12 Agustus 2021 oleh

Tags: GayheteroLesbianLGBTstraight
Iklan
Nurdiyansah Dalidjo

Nurdiyansah Dalidjo

Seorang queer writer. Penulis buku "Rumah di Tanah Rempah".

Artikel Terkait

Gym di Malang Jadi Incaran Cowok Gay MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Ngeri Nge-Gym di Malang, Jadi Incaran Cowok Gay Agresif hingga Dapat DM Membagongkan

7 Maret 2024
Dubes RI untuk Vatikan: Gereja Katolik Tidak Akan Mengakui Perkawinan Sejenis MOJOK.CO
Aktual

Dubes RI untuk Vatikan: Gereja Katolik Tidak Akan Mengakui Perkawinan Sejenis

21 Desember 2023
The 1975 mojok.co
Hiburan

Luapan Kekecewaan Fans The 1975: ‘Please Jangan Aneh-aneh, Orang tuh Nggak Segampang Itu Ketemu Kamu’

4 Agustus 2023
Lightyear
Hiburan

Ada Unsur LGBT, Indonesia dan 13 Negara Tolak Tayangkan Lightyear

14 Juni 2022
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
jokowi

Inkonsistensi Jokowi: Larang Adik Ipar, Namun Biarkan Anak dan Menantu Terjun di Pilkada

Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB), Rico Juni Artanto. MOJOK.CO

Kedermawanan Alumni IPB bikin Asrama Gratis untuk Mahasiswa Kurang Mampu

16 Mei 2025
Nelangsa orang dengan KTP Malang, susah payah perbaiki citra malah rusak oleh suporter Arema FC: Aremania MOJOK.CO

Tak Mudah Jadi Orang dengan KTP Malang, Susah Payah Berbuat Baik tapi Sia-sia karena Cap Aremania

13 Mei 2025
Sisi suram kos pasutri di Sleman Jogja MOJOK.CO

Sisi Suram Kos Pasutri Jogja, Tetangga Tak Tahu Batasan hingga Jadi Kedok “Hubungan Terlarang”

17 Mei 2025
Mall di Malang Bikin Syok Orang Surabaya karena Ngaca di Toilet Saja Bayar dan Pelit Tisu, Kalah sama Indomaret.MOJOK.CO

Mall di Malang Bikin Syok Orang Surabaya karena Ngaca di Toilet Saja Bayar dan Pelit Tisu, Kalah sama Indomaret

15 Mei 2025
Upaya Merawat Candi Borobudur di Magelang agar Bisa Bertahan 2000 Tahun Lagi. MOJOK.CO

Upaya Merawat Candi Borobudur agar Bisa Bertahan 2000 Tahun Lagi

13 Mei 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.