Menyebalkannya Book Snob yang Lebih Literasi daripada Literasi Itu Sendiri - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Beranda Esai

Menyebalkannya Book Snob yang Lebih Literasi daripada Literasi Itu Sendiri

Redyantino Susilo oleh Redyantino Susilo
30 April 2019
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Mereka yang snob-snob itu memang menyebalkan. Seolah semua harus ikut standar mereka. Termasuk book snob yang lebih literasi ketimbang literasi itu sendiri.

Dari sekian banyak kelakuan kaum book snob, setidaknya ada dua yang menurut saya paling menyebalkan: merasa lebih superior ketimbang orang yang tidak suka membaca dan merasa superior terhadap selera bacaan orang lain.

Spesies pertama, biasanya suka nongol di lapak komentar media sosial dengan jargon template: makanya banyak baca lagi dongsss.

Spesies kedua, muncul dengan membuat label atau kasta bagi pembaca suatu karya atau penulis tertentu. Hampir mirip dengan kelakuan saudaranya dari jenis lain yaitu coffee snob, yang menganggap kopi itu mestinya digiling, bukan digunting.

Saya membaca banyak jenis dan genre buku sastra. Puisi, cerpen, dan novel saya lahap semua. Buku yang bagus, menurut saya, berkemungkinan besar untuk dibaca lagi setelah sekali khatam. Yang tidak cukup bagus, akan mendekam lama di rak buku menunggu jadwal bulanan saya membersihkan kamar untuk disentuh lagi.

Selesai di situ cara saya mengategorikan karya sastra. Jadi, ketika ada segolongan manusia menyebut karya Fiersa Besari merupakan bUkAn tErmAsuk kAryA sAstrA di suatu grup kepenulisan terus menawarkan diri membuat video singkat tutorial membakar bukunya, tentu wajar dong kalau saya terkejut dan terheran-heran sampai mau makan sayur kol!!!11!

Baca Juga:

Pramodya: Panembahan Senopati Adalah Raja Dari Segala Dusta

Pramoedya: Panembahan Senopati Adalah Raja dari Segala Dusta

15 Februari 2023
Jika Pramoedya Ananta Toer Jadi Guru Sastra Indonesia

Jika Pramoedya Ananta Toer Jadi Guru Sastra Indonesia

10 Februari 2023

Terlepas dari niatan mulianya untuk membuka keluasan berpikir dan referensi bacaan anggota grup lainnya, kok bisa ada sejenis makhluk begini sih?

Begitu saya cek latar belakang oknum book snob bersangkutan, ternyata beliau sudah punya jam terbang yang lumayan di dunia kepenulisan, bahkan jauh di atas saya.

Oh, mungkin karena sudah merasa banyak makan asam basa garam dunia literasi, jadi begitu ketemu karya yang gak sealiran langsung semangat mencibir. Jadi makin segan saya mau ngegas di grup. Mending, saya tubirin di sini aja. Hehe.

Hal yang hampir mirip, tapi nggak mirip-mirip amat, pernah terjadi sewaktu saya masih kuliah. Seorang teman pernah mendiskreditkan hobi saya membaca buku. Katanya, kalau belum baca buku-buku Pramoedya Ananta Toer, belum sah mengaku hobi membaca. Tidak pantas. Tidak layak. Invalid!!!11!

Padahal, ya, standar dari mana itu anjaaaaaay?

Maksudnya gini loh, masa cuma karena saya belum baca buku-buku Pram berarti saya nggak boleh mengklaim membaca sebagai hobi saya?

Seolah-olah, belum membaca Pram sama dengan belum membaca buku sama sekali. Seolah-olah, buku-buku yang sudah saya baca sebelumnya belum cukup layak untuk disebut sebagai buku. Tak hanya buku-buku Pram, saya juga kena standar gaje ini ketika mengaku belum pernah baca bukunya Genta Kiswara.

Perilaku book snob semacam ini bukan sekali dua kali saya temui. Berdasarkan pengalaman, sekurang-kurangnya ini yang paling sering kejadian: mengultuskan satu penulis dan karya tertentu atau justru mendiskreditkannya.

Tabiat mengultuskan atau mendiskreditkan karya ini terjadi kemungkinan dikarenakan minim atau justru saking banyaknya referensi bacaan dari yang bersangkutan.

Ketika minim referensi, bacaan si pembaca ya seputar itu-itu saja. Merasa dengan apa yang sudah dibacanya itu yang paling bagus, paling layak. Padahal ada banyak bacaan yang sama bagusnya atau bahkan lebih bagus dari yang sudah dibacanya.

Seperti katak dalam tempurung, arwana dalam akuarium, cinta dalam hati, atau seperti Rapunzel dalam menara. Dunianya sesempit itu.

Orang yang sudah banyak referensi juga berpeluang menjadi book snob garis keras semacam itu. Ketika bacaan sudah banyak, mulai deh menentukan mana yang layak baca, mana yang nggak. Mana karya sastra, mana yang nggak. Ini sedikit ironis mengingat banyaknya bahan bacaan semestinya meluaskan sudut pandang berpikir, bukan malah mempersempitnya.

Beragamnya bahan bacaan sastra yang beredar di pasaran, kan, untuk menyentuh pembaca dari beragam sektor pula. Lagian, karya sastra itu mencerminkan sisi-sisi kehidupan yang bermacam-macam.

Seperti halnya kehidupan yang punya banyak sisinya, suatu karya sastra bukanlah representasi tunggal dan satu-satunya. Keberagaman jenis karya sastra, terutama di Indonesia, sudah semestinya juga dibarengi dengan prinsip-prinsip kebhinekaan yang menghargai setiap perbedaan.

Keragaman karya sastra yang ada tak lantas membuat kita merendahkan secara sadis suatu karya apalagi sampai ke level merendahkan pembacanya. Kalau menurut pandangan pribadi kita karya tersebut jelek, ya boleh-boleh saja. Kan, jelek itu sama relatifnya dengan bagus yang berarti nggak mutlak.

Bisa saja karya yang bagus menurut kita, ternyata jelek di mata orang lain. Karya yang jelek menurut kita, ternyata malah bagus di mata Tuhan. Masya Allah.

Saya rasa, semua orang bebas untuk memilih karya sastra apa saja untuk  mereka baca. Entah itu sekadar untuk rekreasi atau referensi. Bebas. Nggak ada yang boleh melarang seseorang untuk memilih referensi bacaannya. Apalagi sampai mencibir hanya karena referensi bacaannya dianggap rendahan. Itu bukan hal yang pantas.

Lebih tidak pantas lagi jika dilakukan oleh orang-orang yang sudah berkecimpung di dunia literasi. Mau jadi apa dunia literasi kita kalau orang-orang di dalamnya membuat sastra jadi begitu eksklusif sehingga tidak mampu menerima perbedaan?

Ditambah lagi, jika membuat indikator pantas tidaknya suatu karya layak dianggap sebagai “karya sastra” dengan standar, yang bisa dikatakan, terlalu maksa dan hanya berdasarkan perspektif pribadi semata alih-alih dengan pendekatan yang lebih ilmiah.

Sikap eksklusivitas dan radikal terhadap sastra semacam ini nggak akan membawa kesastraan Indonesia ke mana-mana. Malahan yang ada membuat kesastraan kita hanya jalan di tempat.

Sikap book snob kayak gini juga justru semakin menyempitkan sudut pandang banyak orang terhadap sastra itu sendiri. Membuat orang-orang jadi takut, dan bukan tidak mungkin, makin malas membaca karya sastra lantaran malas dikatain selera bacaannya jelek.

Eksklusivitas tersebut juga tentunya sedikit banyak bakal berpengaruh bagi orang-orang yang ingin mulai menulis. Kalau yang sudah punya karya populer saja dianggap bukan termasuk karya sastra, bagaimana dengan yang baru menulis. Bisa terkejut dan terheran-heran dongs!!!1!1

Sampai saat ini, saya berharap mas-mas yang ngegas itu sebenarnya punya niatan luhur untuk memperkenalkan kesastraan Indonesia. Bahwa karya sastra tak cuma karya Fiersa Besari, Boy Chandra, atau sederet nama-nama populer lainnya.

Ada juga karya beliau sendiri yang meski sudah dapat penghargaan di mana-mana, tak lebih populer dari karya-karya yang dianggapnya bukan karya sastra itu.

Terakhir diperbarui pada 30 April 2019 oleh

Tags: book snobcoffe snobFiersa BesariliterasiPramoedya Ananta Toersnob
Redyantino Susilo

Redyantino Susilo

Artikel Terkait

Pramodya: Panembahan Senopati Adalah Raja Dari Segala Dusta
Movi

Pramoedya: Panembahan Senopati Adalah Raja dari Segala Dusta

15 Februari 2023
Jika Pramoedya Ananta Toer Jadi Guru Sastra Indonesia
Movi

Jika Pramoedya Ananta Toer Jadi Guru Sastra Indonesia

10 Februari 2023
minat baca mojok.co
Uneg-uneg

Rendahnya Minat Baca dan Mendengar

13 November 2022
Umbu Landu Paranggi hingga Pentingnya Festival Literasi: Raudal Tanjung Benua & Hairus Salim
Movi

Umbu Landu Paranggi hingga Pentingnya Festival Literasi: Raudal Tanjung Banua & Hairus Salim

21 Oktober 2022
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Tukang Onar di Negeri Ini Memang Babi Namanya!

IFDC Gemes Sama Kamu yang Asal Boikot Film Tanpa Nonton Dulu

Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Tukang Onar di Negeri Ini Memang Babi Namanya!

Menyebalkannya Book Snob yang Lebih Literasi daripada Literasi Itu Sendiri

30 April 2019
5 Jurusan yang Lulusannya Paling Dicari Perusahaan

5 Jurusan yang Lulusannya Paling Dicari Perusahaan

27 Maret 2023
unpad mojok.co

10 Jurusan Tersepi di UNPAD yang Pendaftarnya Hanya Ratusan

27 Maret 2023
sekolah kedinasan mojok.co

10 Sekolah Kedinasan yang Paling Ramai dan Sepi Peminat

22 Maret 2023
perguruan tinggi muhammadiyah mojok.co

5 Perguruan Tinggi Muhammadiyah Terbaik di Indonesia

25 Maret 2023
kip mojok.co

Kecewa dengan Mahasiswa Penerima KIP

26 Maret 2023
kampus bumn mojok.co

9 Kampus Milik BUMN di Indonesia, Prospek Lulusannya Bisa Kerja di Perusahaan Plat Merah

29 Maret 2023

Terbaru

anak band jadi politisi

Dari Panggung Musik ke Panggung Politik, Ini Daftar Musisi yang Jadi Politisi

1 April 2023
pendanaan politik mojok.co

Mengenal Modus Pencucian Uang untuk Pendanaan Politik 

1 April 2023
Kartu Merah untuk Indonesia dari FIFA yang Nggak Punya Power di Tragedi Kanjuruhan. MOJOK.Co

Kartu Merah untuk Indonesia dari FIFA yang Nggak Punya Power Mencoret Israel

1 April 2023
ptn mojok.cp

20 PTN Paling Diminati dalam SNBP 2023, Bukan UI ataupun UGM!

1 April 2023
sma terbaik di yogyakarta mojok.co

10 SMA Terbaik di Yogyakarta Versi LTMPT

1 April 2023
Ibadah Sastra dan Cinta Ala Jalaluddin Rumi di Pesantren Maulana Rumi

Ibadah Sastra dan Cinta Ala Jalaluddin Rumi di Pesantren Maulana Rumi

31 Maret 2023
piala dunia u-20 mojok.co

Jogja Gagal Dapat Limpahan Wisatawan Akibat Indonesia Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20

31 Maret 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Sosial
    • Tekno
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In