MOJOK.CO – Sangat disayangkan, Presiden Jokowi malah ambigu. Bahkan terkesan semakin toleran terhadap wacana jabatan tiga periode.
Pemulihan ekonomi dan kepastian realisasi program kerja adalah faktor utama dari kemunculan wacana Presiden Jokowi menjabat tiga periode. Diperkirakan, realisasi tersebut akan memawan waktu lama. Sudah pasti lebih dari sisa satu periode.
Luhut Binsar Panjaitan, pembisik kelas satu bagi Presiden Jokowi, dianggap sebagai salah satu aktor utama di balik wacana presiden tiga periode. Bahkan beliau diberitakan sebagai aktor utama yang memanggil beberapa ketua partai sebelum mereka mengeluarkan pernyataan mendukung perpajangan masa jabatan Presiden Jokowi.
Sudah berkali-kali wacana perpanjangan jabatan Presiden Jokowi mencuat. Mulai dari ocehan Asrul Sani dua tahun lalu, berlanjut gocekan dari surveyor politik senior Qodari, dikembangkan oleh Cak Imin (Muhaimain Iskandar) belum lama ini yang diamini oleh Zulkifli Hasan dan dimoderasi oleh Airlangga Hartarto, dikalibrasi secara halus oleh Partai Solidaritas Indonesia, dan digenapkan oleh bigdata media sosial versi Luhut yang nggak boleh dibuka untuk publik, kemudian digocek oleh Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia baru-baru ini.
Dari rentetan itu, sangat jelas terlihat bahwa wacana presiden tiga periode atau amandemen konstitusi bukan wacana reaktif kelompok sempalan politik di dalam koalisi besar pemerintahan. Kemungkinan besar, wacana ini sudah menjadi operasi khusus (opsus) dari salah satu atau banyak pihak yang sudah direncanakan secara sistematis.
Dan sangat disayangkan, sikap Presiden Jokowi sampai hari ini masih ambigu. Bahkan terkesan semakin toleran terhadap perkembangan wacana presiden tiga periode.
Dari reaksi awal berupa pernyataan “menampar muka saya” melunak menjadi “taat pada konstitusi.” Pernyataan toleran tersebut menyiratkan bahwa Presiden Jokowi berpeluang menerima mandat untuk ketiga kalinya jika lahir kontrak politik baru di parlemen terkait penambahan satu atau dua periode masa jabatan.
Wacana presiden tiga periode atau penundaan Pilpres adalah wacana adalah penentu apakah Indonesia masih mampu bertahan dengan ambisi konsolidasi demokrasi atau justru kembali terjebak ke dalam jurang non-demokratik ala Orde Baru.
Bagaimana tidak, jika para elite berhasil menjadikan satu dari dua wacana tersebut sebagai kebijakan, peluang kelompok antidemokrasi dalam mengutak-atik proses instutusionalisasi demokrasi nasional akan semakin besar. Dengan kata lain, jika masa jabatan Presiden Jokowi berhasil diubah menjadi tiga kali, tidak menutup kemungkinan akan berhasil juga di kemudian hari jika mereka kembali mengusulkan menjadi empat kali atau lima kali atau tanpa batas.
Oleh karena itu, mengapa masa-masa sekarang adalah masa krusial bagi masa depan demokrasi Indonesia. Artinya, jika seorang Luhut atau Andi Widjajanto bisa mempersiapkan langkah-langkah sistematis untuk menunda Pilpres atau memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi dengan dukungan para elit partai, tokoh-tokoh yang memang kurang dikenal sebagai tokoh demokrasi tersebut memang memiliki kekuasaan untuk menundukan kekuatan-kekuatan demokratis, baik yang ada di dalam pemerintahan maupun di luar. Jika itu sampai terjadi, detik-detik napas demokrasi nasional untuk berhenti tinggal menunggu waktu.
Elite prodemokrasi, bersama masyarakat sipil, memang harus menunjukan penolakan secara masif. Selain itu, mereka harus bisa membangun garis batas yang tegas antara mana kekuatan prostatus quo dan kekuatan reformis demokratis.
Sebagaimana diketahui, baik elite non-partai seperti Luhut maupun Andi Widjajanto maupun elite partai politik seperti Cak Imin, Airlangga Hartarto, dan Zulkifli Hasan, bukan tokoh yang kental track record perjuangan demokrasinya. Jadi sangat bisa dipahami mengapa sebagian dari mereka memunculkan wacana penundaan Pilpres atau penambahan masa jabatan Presidem Jokowi dan sebagian lagi mengamininya di ruang publik.
Lantas, mengapa wacana ini dimunculkan?
Secara ekonomi politik, Benjamin Friedman punya jawaban ciamik tentang melemahnya kekuatan demokrasi. Dalam bukunya yang berjudul The Moral Consequences of Economics Growth, Benjamin memostulasikan bahwa jika perekonomian sebuah negara mengalami stagnasi ekonomi, bahkan resesi, gerakan kanan, baik kanan religius atau gerakan supernasionalis yang cenderung non demokratis, akan bersemi.
Namun, jika ekonominya tumbuh, justru gerakan liberal progresif akan berkembang pesat. Misalnya seperti menguatnya isu pemerataan ekonomi (inequality), feminisme, antidiskriminasi, antirasisme, gender, LGBT, dan sejenisnya.
Harus diakui bahwa memang banyak positifnya jika ekonomi tumbuh progresif ketimbang stagnan. Apalagi resesi. Sebagaimana tendensi yang diamati Benjamin Friedman, demokrasi memang harus ditopang oleh prosperity (kemakmuran) agar dinamikanya stabil dan semakin mapan.
Bahkan William J. Bernstein dalam bukunya The Birth of Plenty (2004) menyimpulkan dengan tegas bahwa prosperity adalah driver krusial lahir dan bertahannya demokrasi, bukan sebaliknya. Memang ada satu dua pengecualian, seperti Cina misalnya. Namun, pada umumnya, prosperity menjadi bahan pelengkap utama lahir atau bertahannya demokrasi.
Pendeknya, menguatnya suara yang ingin mendorong democracy backsliding, meminjam istilah Stephan Haggard dan Robert R. Kaufman, disebabkan oleh kinerja ekonomi yang buruk di satu sisi dan menguatnya jejaring ekonomi politik yang menikmati konsesi ekonomi dari pusat kekuasaan atau di lingkaran Presiden Jokowi di sisi lain.
Jejaring ekonomi politik yang biasa dikenal dengan istilah oligarki tersebut menikmati kinerja ekonomi makro yang kurang baik, karena kekayaan nasional justru semakin mengerucut ke atas, yakni ke kelompok 20 persen kelas atas dan menjauh dari kelompok 40 persen kelas menengah dan 40 persen kelompok kelas bawah.
Sinyal ketidakmerataan kue ekonomi sangat mudah dirasakan. Terutama ketika daya tahan dan daya beli kelas menangah dan bawah semakin rentan digoyang, baik oleh inflasi harga komoditas pokok atau peningkatan pungutan pajak dan segala jenis tagihan layanan sosial kesejahteraan dari negara.
Sementara itu, di sisi lain, conspicuous consumption, meminjam istilah Thorstein Veblen, para crazy rich dan elite negeri semakin menggila seiring mesin jejaring ekonomi politik di dalam pemerintahan yang cenderung mengalokasikan kekuatan fiskal nasional dan lokal untuk mendapat feedback keuntungan pembiayaan politik pada kontestasi demokratik selanjutnya.
Dengan kata lain, elite penguasa (atau para calonnya) di sekitar Presiden Jokowi kian membutuhkan sumber-sumber dana alternatif untuk memenangkan kontestasi demokrasi yang semakin mahal. Dilemanya, di satu sisi, kekuatan fiskal negara terhadap dinamika ekonomi relatif konstan, termasuk terhadap perbaikan kepentingan ekonomi rakyat, bahkan tak jarang malah berkurang, namun di sisi lain aktor-aktor ekonomi (pengusaha, konglomerasi, oligarki) terjun ke arena politik untuk menawarkan sumber-sumber dana alternatif demi membiayai kontestasi demokrasi (political financing) yang kian mahal tersebut di satu sisi dan mempengaruhi alokasi fiskal negara untuk kepentingan ekonomi di sisi lain.
Nah, dalam relasi mutualisme simbiosis semacam itulah, barter dan konsesi ekonomi politik dilahirkan (Stein Ringen, Journal Democratization, vol.11, April 2004). Selanjutnya, di bawah agenda setting seperti itu, akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi/oligarki) yang mampu menjamin ketersediaan dana untuk menutupi onkos kontestasi demokrasi yang super mahal. Sudah bisa dipastikan, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the have) dengan kalangan papa (the have no) alias minimnya pemerataan.
Disparitas pendapatan akan menjadi buah lainya. Lihat saja, kian hari, mereka yang masuk dalam daftar 50 orang terkaya Indonesia berlomba menambah hartanya untuk mengejar peringkat tertinggi versi majalah Forbes seiring mengikatnya kekayaan para elite kekuasaan yang berhasil secara cerdik menyimpul tali politik dan ekonomi selama ini, misalnya.
Kecepatan penambahan harta kelompok tersebut dibanding peningkatan gaji pekerja atau standar hidup rakyat kebanyakan. Secara makro, meminjam bahasa Thomas Piketty, return of investment lebih besar dibanding growth atau pertumbuhan ekonomi (r > g).
Walhasil, kue ekonomi nasional mengerucut ke segelintir elite ekonomi politik di satu sisi dan performa ekonomi makro nasional kian hari kian kehilangan taringnya di sisi lain. Dengan kata lain, secara performa ekonomi, Jokowinomic memang tak pernah mampu mendekati angka pertumbuhan ekonomi yang pernah dijanjikannya di saat kampanye tahun 2014 atau 2019 lalu, sebut saja tujuh persen, di saat konglomerasi dan para elite ekonomi politik dengan bangga membukukan keuntungan fantastis di setiap akhir tahun.
Dari 10 janji ekonomi Presiden Jokowi di 2014 lalu, hanya angka inflasi yang terpenuhi. Sisanya masih jauh panggang dari api.
Lantas dengan latar tersebut, mengapa ada beberapa pihak di dalam jejaring kekuasaan yang berani mengaspirasikan suara sumbang berupa wacana presiden tiga periode atau perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi?
Berkaca pada rumusan Thomas Piketty di atas, besar kemungkinan suara semacam itu adalah representasi dari kepentingan kelompok atau jejaring ekonomi politik yang menikmati “r” tinggi di saat “g” rendah.
Jadi, mau tak mau, upaya untuk mendorong democracy backsliding harus dihentikan oleh para mahasiswa. Selain tidak Pancasilais secara ekonomi dan politik, juga karena semakin tenggelamnya kekuatan pengimbang di dalam sistem ekonomi politik kita yang harus diisi segera oleh para mahasiswa. Bukan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi, tapi untuk menjaga proses institusionalisasi demokrasi nasional alias agar tidak ada lagi wacana tiga periode. Semoga.
BACA JUGA Luhut Binsar Panjaitan adalah Mimpi Tertinggi Seorang Batak di Indonesia dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno