MOJOK.CO – Hidup di Manggarai Jakarta Selatan artinya hidup sambil memelihara kecemasan karena tawuran bisa terjadi kapan saja. Suram sekali.
Tahun 2022, sekitar pukul 11 malam. Saya yang waktu itu baru saja dari Salemba melewati terowongan Manggarai Jakarta Selatan, yang berdekatan dengan halte bus dan stasiun.
Suasana di jalur itu terlihat ramai. Banyak orang berlalu-lalang, tapi bukan karena ada insiden kecelakaan apalagi konser. Sebaliknya, di beberapa ruas jalan justru terlihat banyak sekali pecahan botol, batu kerikil, dan patahan kayu bambu yang berserakan.
Ternyata, beberapa waktu sebelumnya, telah terjadi tawuran remaja. Saya beruntung karena melalui area Manggarai ketika tawuran sudah mereda. Siapa juga yang mau jadi penonton tak diundang untuk tontonan yang nggak ada stuntman-nya ini. Bisa-bisa saya juga jadi korban.
Kata warga sekitar, tawuran berlangsung kurang dari 1 jam karena polisi datang dan melerai. Polisi juga menangkap beberapa remaja pelaku tawuran. Kalau tidak salah, insiden ini sempat ramai dan trending di Twitter.
Tawuran dan Manggarai di Jakarta Selatan sudah seperti sepasang kekasih yang hubungannya rumit
Mirip orang yang LDR, sekali bertemu, semuanya dibikin repot. Kawasan Manggarai di Jakarta Selatan ini bisa saya bilang mirip dengan Wilayah SWORD dalam serial Jepang High and Low.
Wilayah tersebut sering menjadi arena bertempur oleh beberapa faksi geng. Mereka bersaing demi gengsi dan kepuasaan untuk menunjukan siapa yang paling kuat dan berkuasa.
Mereka nggak peduli dengan adagium “yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu.” Harga diri yang tinggi perlu dibuktikan dan tenaga yang berlebih perlu untuk disalurkan. Dan tawuran adalah pilihan yang terlihat paling hebat.
Melansir dari Kompas, sepanjang 2022, ada 6 kali tawuran di Manggarai, Jakarta Selatan. Kemudian, pada 2023, tawuran skala besar terjadi 1 kali dan 2024 sebanyak 2 kali yaitu pada Maret dan September.
Kalau kita mengulik penyebab utama dari tawuran ini, tentu nggak naif kalau menyebut bahwa akar persoalannya berangkat dari ekonomi. Terdengar klise, tapi jadi fundamental yang menstimulasi persoalan lainnya. Keterbatasan ekonomi, pengangguran, dan putus sekolah yang dialami oleh para remaja mendorong mereka jadi individu yang sensitif sehingga mudah terprovokasi.
Solidaritas sosial yang salah arah
Persoalan ekonomi kemudian memicu solidaritas sosial yang salah arah di antara para pelajar dan warga yang terlibat tawuran di Manggarai, Jakarta Selatan. Lah, mereka susah bareng, ada apa-apa dinikmati bersama. Makanya, ketika ada di antara mereka yang disenggol oleh kelompok lain, tentu nggak terima sehingga menyulut konflik yang berujung tawuran.
Jangan harap juga tentang tanggung jawab pendidikan moral untuk mereka. Karena dalam situasi ekonomi yang sulit, orang tua mereka lebih fokus mencari uang dan nggak punya tenaga lagi untuk menanamkan nilai moral, etis, dan welas asih ke mereka. Hidup udah keras, selesaikan masalahmu sendiri!
Fenomena tawuran ini sudah pasti merugikan banyak pihak, tidak terkecuali para perantau. Mereka yang tinggal di Manggarai, atau yang harus melewati Manggarai, wajib memelihara rasa was-was dan waspada. Maklum, ledakan tawuran bisa terjadi kapan saja.
Hanya betah 6 bulan tinggal di Manggarai, Jakarta Selatan
Ada teman saya yang hanya betah bertahan 6 bulan di Manggarai, Jakarta Selatan. Setelah itu, dia memilih pindah ke lokasi lain karena beberapa kali menyaksikan tawuran.
Dari pengamatannya, fenomena terjadinya tawuran ini punya tanda-tanda tersendiri. Misalnya, mulai dari munculnya kerumunan remaja di titik-titik strategis, misalnya jalan utama, lahan kosong, atau di kawasan bangunan kosong.
Selanjutnya menyusul suara-suara gemuruh dan teriakan massa, hingga suara lemparan batu atau hentakan kayu yang terjadi berulang kali. Kalau sudah ada tanda-tanda itu, biasanya warga ikut bermunculan mencoba melerai.
Namun, gerombolan remaja itu langsung berpencar dan bergerak ke tempat lain dan melanjutkan tawuranya. Seolah mereka sudah menyiapkan rencana A dan B untuk lokasi tawuran.
Membuat cemas perantau di Manggarai, Jakarta Selatan
Bagi para perantau di Manggarai, Jakarta Selatan, fenomena tawuran ini merugikan mereka dalam 3 hal. Pertama, soal waktu. Persoalan keluar nyari makan, nongkrong, dan hal-hal lainnya bisa jadi tertunda. Mereka bisa jadi nahan lapar semalaman atau harus memutar lewat jalur lain karena menghindari area tawuran. Mereka jadi menghabiskan waktu lebih banyak hanya sekadar untuk mencari jalur aman buat makan atau nongkrong di luar.
Kedua adalah mental. Sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya. Para perantau di area Manggarai, Jakarta Selatan, harus rela berteman dengan rasa was-was dan waspada.
Tidur jadi nggak nyenyak karena chaos dan suasana intimidatif serta mencekam. Rasa lelah setelah kerja dengan harapan pulang ke kos-kosan bisa langsung rebahan dan bersantai bisa sirna ketika tawuran meledak.
Kerugian ketiga adalah materi. Entah soal makanan atau kebutuhan harian yang jadi susah dicari. Barang-barang pribadi juga bisa rusak karena kena lemparan. Kerugian materi berupa fisik bisa saja terjadi kalau kamu terjebak tawuran.
Hilangnya rasa aman
Para perantau harus rela kehilangan rasa aman karena fenomena tawuran ini. Pasalnya, Manggarai di Jakarta Selatan adalah daerah yang strategis.
Lokasinya yang dekat dengan stasiun transit, halte bus, dan dekat dengan Jakarta Pusat membuatnya sering dilalui perantau. Tapi, gara-gara tawuran, tiap langkah mereka jadi dihantui perasaan takut dan deg-degan. Mirip kayak main survival game.
Sebenarnya Pemprov DKI selaku pihak yang punya otoritas dan perangkat keamanan, sudah mengeluarkan beberapa kebijakan. Mulai dari pembentukan Satgas Anti Tawuran, pemasangan CCTV di beberapa titik yang rentan jadi tempat tawuran, dan pelatihan keterampilan.
Cuma, dalam implementasinya, langkah yang dilakukan tetap gagal mengantisipasi terjadinya tawuran. Pasalnya, banyak kasus CCTV yang dipasang tapi rusak, atau satgas yang dibentuk datangnya setelah kejadian.
Menurut saya, seharusnya satgas melakukan investigasi intensif. Sehingga, bakal ketahuan pemicunya tawuran. Jadi, mereka bisa melakukan langkah preventif. Selain itu, keterbatasan ekonomi dan perilaku sensitif yang sudah menahun dan turun-temurun di antara warga juga membuat tawuran jadi tetap terjadi.
Dan yang paling penting adalah nggak ada data yang akurat mengenai persoalan dan konflik di antara warga. Makanya, pemerintah nggak punya database yang mencakup soal pelaku, pola konflik, dan zona rawan secara sistematis.
Program baru dari gubernur baru
Belakangan, Gubernur baru Jakarta, Pramono Anung, menginisiasi program bersalawat untuk mencegah terjadinya tawuran. Sekilas, dari kaca mata agama, pendekatan ini menarik karena memanfaatkan nilai budaya dan spiritual yang bisa jadi relevan di Jakarta sehingga berpotensi meningkatkan kohesi sosial di antara warga. Ada intervensi spiritual yang bisa mengalihkan depresi, sensitif, yang biasanya disalurkan melalui tawuran.
Tapi persoalannya, pendekatan ini sama aja dengan program sebelumnya yang sifatnya reaktif. Sekarang begini. Mau berapa kali salawatan? Apakah ada jaminan, ketika selesai salawatan mereka nggak tawuran?
Kenyataannya, kegiatan bersama seperti salawatan nggak lepas dari potensi timbulnya gesekan kalau tidak dikelola dengan bijak. Apalagi jika jemaah yang datang dari lintas kelompok belum benar-benar akur. Lagian, yakin itu yang selalu terlibat tawuran itu hanya remaja-remaja muslim?
Saya tidak benci salawatan. Tapi, bukankah lebih baik anggaran ini dialokasikan untuk pembaruan dan perbaikan pelatihan-pelatihan sebelumnya yang kurang berkelanjutan?
Selain itu, yang lebih penting adalah pendekatan berbasis pada saintifik dan data. Sehingga bisa dilakukan pemetaan masalahnya, siapa saja pelakunya, dan apa saja yang jadi pemicu setiap kali ada tawuran di Manggarai, Jakarta Selatan.
Semua data tersebut tentu bisa dijadikan landasan untuk menciptakan solusi yang langsung menyasar pada hal-hal yang preventif. Kemudian, yang nggak kalah penting adalah penyelesaian perihal perkara ekonomi. Mulai dari kemiskinan dan pengangguran. Kalau mereka punya pekerjaan, sudah pasti nggak punya tenaga untuk ikut-ikutan tawuran.
Memelihara kecemasan
Terlepas dari itu, kalau fenomena tawuran di Manggarai, Jakarta Selatan ini berlanjut, para perantau tentu harus terus bersabar untuk memelihara kecemasan. Bagi mereka, hidup bukan lagi hanya soal bekerja, bayar kos-kosan tepat waktu, dan menikmati kesumpekan Manggarai. Tapi juga tentang rasa waspada ketika melihat kerumunan remaja membawa kayu dan batu.
Makan malam yang tertunda dan tidur dengan gelisah jadi makanan yang harus ditelan agar tetap bertahan. Pada akhirnya, dari sekian masalah di Jakarta, tawuran ini seperti mantan yang toksik. Ia selalu ada, susah pergi, tapi entah kenapa semua orang berpura-pura move on darinya.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi Maramis
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Manggarai, Saksi Bisu Sarjana Pura-pura Sukses di Jakarta Selatan: Tinggal di Gang Sempit dan Bertahan Hidup Rp20 Ribu Sehari dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.