MOJOK.CO – Pilpres 2024 akan seru sekali karena dipenuhi kompetisi politikus dengan gaya mataraman.
Sebuah gaya politik yang menggabungkan banyak hal sebagaimana kultur masyarakat mataraman. Kaya strategi dan taktik. Penuh manuver yang sulit dipahami para rival. Punya jalan melingkar yang nyaris ajaib. Dan punya kesabaran yang ulet sekaligus licin.
Setidaknya, di Indonesia, ada beberapa presiden yang memakai gaya khas mataraman. Tentu yang pertama adalah Soeharto. Terlepas dari berbagai teori tentang bagaimana Presiden Kedua Republik Indonesia ini menaiki tangga dan merebut posisi tertinggi pemerintahan, namun tidak bisa dimungkiri, orang yang pernah hampir dipecat dari tentara karena kasus korupsi, justru bisa memaksimalkan momentum yang genting untuk meraih kekuasaan.
Ketika masih dipercaya sebagai pejabat presiden, dia mulai berhasil mengonsolidasikan kekuasaan politik dengan sabar, sembari terus mengeliminasi kekuatan Sukarno, dan menghabisi sampai tamat Partai Komunis Indonesia. Ketika kemudian terpilih sebagai presiden, dia merekrut para teknokrat, belajar dari mereka sembari terus mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Hingga akhirnya, sosok yang sebelumnya nyaris “bukan siapa-siapa” ini, menjadi penguasa tunggal yang mengontrol Indonesia dengan senyumnya yang misterius. Kekuasaan yang digenggamnya selama 32 tahun, lepas kita setuju atau tidak, dengan berbagai gaya politik yang berubah, membuat Soeharto adalah presiden terlama di Indonesia.
Presiden yang erat dengan gaya mataraman lain tentu saja SBY. Dia lahir dan dibesarkan di Pacitan, sebuah wilayah di selatan Jawa Timur, namun dari sisi kultural dimasukkan sebagai wilayah mataraman. Dididik di Akabri di Magelang, yang juga wilayah mataraman. Dan pertama kali mulai disebut-sebut sebagai calon kuat presiden saat berkarier sebagai Danrem Kodam 072/Pamungkas Yogyakarta.
Saat para jendral berkompetisi untuk jadi calon pengganti Soeharto, nyaris namanya kalah tenar dengan Wiranto dan Prabowo. Tapi SBY bisa mengambil strategi jitu ketika “disingkirkan” oleh Presiden Megawati, dan justru memenangi pertarungan yang sulit dipahami banyak pihak, yang di atas kertas mestinya dimenangkan oleh Megawati. SBY punya gaya yang kental sekali dengan kekhasan mataraman. Tenang. Sabar. Banyak kiat dan siasat. Hingga akhirnya bisa menjadi presiden dua kali di republik ini.
Termutakhir, gaya mataraman dipertontonkan dengan gamblang pada gaya politik Presiden Jokowi. Karier politiknya juga nyaris tidak dimengerti banyak orang. Jokowi memasuki karier politik di usia yang sudah bukan lagi muda, yakni 44 tahun (bayangkan di usia yang hampir sama, Sukarno bersama Bung Hatta sudah memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, dan di usia yang hampir sama pula, Soeharto sedang menghadapi fase penting dalam karier politiknya, yang sering disebut sebagai awal mula “kudeta merangkak”).
Saat itu, Jokowi baru ikut kompetisi menjadi Wali Kota Surakarta, dan memenanginya. Di usia itu pula, Jokowi baru masuk PDIP. Namun lima tahun selanjutnya, setelah dia terpilih lagi sebagai Wali Kota Surakarta yang kedua, karier politiknya mencengangkan dan tidak bisa dihentikan siapa pun. Dia ikut kompetisi pilgub DKI, menang. Tidak lama kemudian terpilih berkompetisi menjadi presiden, dan hasilnya kita semua tahu: Jokowi dua kali memenangi pertarungan politik tertinggi di negeri ini.
Gaya politik Jokowi sebetulnya jika kita telisik, tentu saja bergaya mataraman. Dari mulai istilah yang sering dicuplik orang dengan “Enggak mikir, enggak mikir…,” saat ditanya mau mencalonkan presiden atau tidak, sampai saat dia akhirnya justru memilih KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya pada pilpres kedua yang diikutinya.
Dia bisa memaksimalkan popularitas untuk menekan PDIP agar memilihnya berkompetisi di Pilpres 2014. Dia bahkan hampir tidak terpilih diusung PDIP saat kontestasi pilgub DKI 2012. Tapi semua itu bisa dimaksimalkan begitu dia mendaptkan kesempatan berkontestasi. Sampai saat ini, belum ada kandidat sepopuler Jokowi saat dia akan berlaga pada pilpres 2014, dengan mesin relawan yang tumbuh secara organik di berbagai wilayah di Indonesia.
4 politikus bergaya mataraman
Pada pilpres 2024 mendatang, setidaknya ada empat politikus yang siap berkompetisi dengan gaya mataraman yang sangat kental: Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar. Keempat politikus itu punya gaya mataraman. Wajar karena keempatnya adalah alumni UGM. Anies adalah alumni Fakultas Ekonomi UGM, Ganjar Pranowo alumni Fakultas Hukum UGM, Airlangga Hartarto alumni Fakultas Teknik UGM, dan Muhaimin Iskandar atau biasa disebut Cak Imin alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM.
Keempatnya juga “meniti karier” politik saat masih menjadi mahasiswa. Anies Baswedan sudah malang-melintang sebagai aktivis, hingga akhirnya terpilih sebagai ketua senat UGM pada 1992. Ganjar Pranowo, ketika masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UGM, aktif di tiga organisasi: GMNI, Mapala, dan Gelanggang UGM. Airlangga Hartarto, punya banyak prestasi ketika menjadi mahasiswa Fakultas Teknik UGM, dan dia pun pernah menjabat sebagai ketua senat mahasiswa Fakultas Teknik. Sedangkan Cak Imin, aktif di PMII dan menjadi ketua cabang PMII Yogyakarta, dan ketua Korps Mahasiswa Jurusan Ilmu Sosial.
Gaya mataraman keempat tokoh di atas kentara sekali. Anies misalnya, begitu kena resafel oleh Presiden Jokowi, dia justru viral karena sering mangantar anaknya sekolah dengan naik sepeda motor. Tapi begitu ada kesempatan untuk berlaga di pilgub DKI 2017, dia berhasil mengalahkan calon terkuat saat itu yakni Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Namun, untuk menuju ke jenjang kepopuleran, Anies mengerjakan banyak aktivitas seperti menginisiasi gerakan Indonesia Mengajar, ikut konvensi Partai Demokrat, menjadi rektor Paramadina, dll. Usianya memang masih muda, tapi berbagai kegiatan yang dilakukan ibarat tapak demi tapak tangga yang akan membawanya pada kemungkinan berkontestasi pada pilpres 2024 mendatang.
Hal yang serupa bisa terlihat pada karier dan gaya politik Ganjar Pranowo. Ganjar sudah aktif di GMNI, yang terafiliasi dengan PDI, saat masih mahasiswa. Kariernya di senayan pada tahun 2004 sebetulnya tidak mulus-mulus amat, karena dia masuk Senayan lewat Pergantian Antar-waktu (PAW).
Dia kemudian terpilih di periode berikutnya tahun 2009-2014, namun tidak diselesaikan karena terpilih oleh PDIP untuk berlaga pada kontestasi pilgub Jawa Tengah. Penunjukan Ganjar di pilgub Jawa Tengah memang sulit dimengerti banyak pihak waktu itu. Dia mesti berhadapan dengan petahana, Bibit Waluyo, yang bersanding dengan Rustriningsih.
Nama terakhir adalah sosok yang sangat dikenal dulunya sebagai politikus PDIP, yang dianggap banyak pihak bakal dipilih partai moncong putih itu untuk ikut pilgub Jawa Tengah. Namun akhirnya Ganjar yang dipilih.
Di situlah, dengan komandan tempur yang dipimpin langsung oleh Puan Maharani, Ganjar memenangi laga. Ganjar dengan mudah memenangi pilgub kedua di Jawa Tengah pada periode selanjutnya.
Menjadi gubernur sekitar tujuh tahun di jantung Pulau Jawa, dengan gaya komunikasi yang khas njawani, nama Ganjar terkerek sebagai salah satu capres dengan tingkat elektabilitas tiga besar di berbagai survei.
Gegeran politiknya dengan Puan dan Bambang Pacul tidak menghentikan popularitasnya. Di sini kita lihat kepiawaian politik Ganjar dengan gaya ala mataraman. Di satu sisi, dia mengungkapkan kepada publik bahwa dia tak punya mimpi jadi presiden, dan sadar betul bahwa menjadi capres lewat jalur PDIP ada di tangan Ketua Umum Megawati. Namun di sisi lain, popularitasnya makin terkerek karena berita soal perseteruan tersebut mendapatkan perhatian publik yang luas. Dan di saat bersamaan, satu per satu, dukungan masyarakat terhadap Ganjar mulai bermunculan. Gaya mataraman ini akan terus terlihat nanti sampai menjelang 2024.
Karier politik Airlangga Hartarto sebetulnya juga tidak mulus-mulus amat. Dia lebih dikenal sebagai seorang teknokrat ketimbang politikus. Namun, begitu menjabat sebagai Ketua Umum Golkar, salah satu partai yang memperoleh kursi terbanyak kedua pada pemilu legislatif 2019, barulah namanya makin moncer.
Airlangga terlihat kalem, kalimatnya tertata, dan setiap kali ditanya wartawan soal peluangnya maju sebagai capres dari Golkar, jawabannya diplomatis. Tapi yang jelas, Partai Golkar secara resmi sudah menyatakan kepada publik akan mengusung Airlangga sebagai capres dari partai berlambang pohon beringin tersebut. Lagi-lagi, pelan, pasti, terukur, dan di berbagai survei, namanya mulai merangkak naik.
Sementara Cak Imin, jelas sudah membuktikan kapasitasnya sebagai salah satu politikus ulung negeri ini. Lewat pertikaian yang keras dan lama dengan almarhum Gus Dur, Cak Imin akhirnya bisa menjadi ketua umum PKB, dan membawa partai yang dulu identik sebagai representasi warga Nahdliyin berkembang hingga akhirnya mampu duduk di rangking 5 besar hasil pemilu legislatif 2019.
Berbagai manuver dilakukan Cak Imin untuk membawa PKB kembali berkibar setelah perseteruan internal yang tidak mudah. Cak Imin pula, di pilpres 2019 lalu, ketika semua ingin berebut menjadi calon presiden, dia justru berkampanye sebagai calon wakil presiden. Bahwa akhirnya strategi itu tidak tercapai, mungkin manuver itu adalah manuver politik paling unik. Sepertinya, manuver yang sama dilakukan, ketika lewat berbagai juru bicara PKB, mulai mengembuskan agenda mengusung Puan-Muhaimin Iskandar untuk pilpres 2024.
Sebetulnya ada satu nama lagi, yaitu AHY, yang kental dengan gaya politik mataraman. Sebab bagaimanapun juga, mentor politik AHY tentu saja adalah SBY, yang sudah teruji memenangi laga pilpres dua kali. Kita bisa melihat, bagaimana gaya tersebut diterapkan saat ada percobaan “kudeta kekuasaan” yang dilakukan kubu Moeldoko. Dengan berbagai strategi dan drama, AHY bukan hanya memenangkan pertarungan, namun juga ikut mengerek untuk sementara popularitas Partai Demokrat dan elektabilitasnya. Sembari menyelesaikan masalah, bisa menangguk keuntungan politik.
Sampai menjelang 2024, kita akan terus menyaksikan berbagai jurus yang dipertontonkan oleh para politikus dengan gaya mataraman tersebut. Apalagi keempat kandidat itu alumni UGM, yang tentu saja tim inti mereka banyak diisi oleh orang-orang alumni UGM juga, yang kira-kira juga cukup piawai melakonkan gaya politik mataraman.
Tim Ganjar dan Anies jelas banyak orang UGM. Salah satu tim inti Airlangga adalah Rizal Mallarangeng, yang juga alumni UGM, dan sejak mahasiswa sudah jadi aktivis. Bahkan sempat berkampanye menjadi calon presiden.
Di tim inti Cak Imin ada sederet nama aktivis UGM, salah satunya yang sangat menonjol adalah Faisol Reza, mantan aktivis PRD yang pernah menjadi korban penculikan. Jangan lupa, jika kita masukkan nama AHY karena mentor politiknya adalah SBY, maka di tim intinya ada nama Andi Arief, yang merupakan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat. Andi juga alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, aktif di berbagai organisasi, termasuk menjadi ketua Solidaritas Mahasiwa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Andi juga seperti Faisol Reza, pernah menjadi korban penculikan. Keduanya, sejak mahasiswa, dikenal sebagai dua orang yang ahli strategi dan taktik, terutama saat menghadapi tekanan politik luar biasa dari rezim Soeharto.
Jadi bagi Anda yang suka menonton politik dari sisi kekuatan strategi, kelincahan bermanuver, dan kepiawaian melakukan serangkain taktik, pilpres 2024 akan menjadi tontonan yang menarik. Makin menarik karena akan banyak gaya mataraman yang dipakai.
Mudahnya, gaya mataraman itu jika dalam sepak bola mirip strategi catenaccio, sebuah stragegi pertahanan gerendel yang terorganisir dan efektif, agar lawan kesulitan mencetak gol. Dan di sisi lain, bisa melakukan serangan balik yang mematikan. Penuh improvisasi kelas tinggi. Memang kadang membosankan bagi penyuka stragegi kick and rush yang cenderung cepat. Sebab dalam politik, yang tidak sabar dan ingin serbacepat, hasilnya tak akan menyenangkan.
Selamat menikmati.
BACA JUGA Moeldoko Terpilih Sebagai Ketum Partai Demokrat Versi KLB, Geger Geden Dimulai dan tulisan lainnya dari Puthut EA di rubrik KEPALA SUKU.