Australia bukan negara “mudah”
Nick Molodysky, warga Australia totok yang terkenal melalui akunnya @masak2dengannick mengemukakan bahwa banyak orang Indonesia yang tergiur oleh postingan influencer yang bekerja di Australia dengan daya tarik utama, gaji tinggi. Gaji di Australia memang lebih tinggi dibandingkan UMR Indonesia, tetapi biaya hidupnya juga sangat mahal, bahkan bagi warga lokal.
“Karena inflasi itu konsep universal,” tulis Nick.
Meskipun sering digambarkan sebagai tempat dengan penghasilan besar, kenyataannya banyak pekerja migran di Australia harus bekerja lebih dari 60 jam per minggu ditambah hidup super hemat. Ini sudah termasuk nggak pernah makan di luar, tinggal di satu apartemen bersama 11 orang lain, dan berbagi satu toilet (di mana ini illegal).
Banyak juga yang bertahan untuk menabung sebelum kembali ke Indonesia, bukan untuk menetap. Nick menegaskan bahwa di samping semua kelebihan yang dimiliki Australia, ada harga yang harus dibayar jika ingin bekerja di negara itu.
Mencari validasi, mencari ketenangan
Menurut Maslow, manusia butuh memiliki kebutuhan akan penghargaan dan pengakuan dari orang lain. Singkatnya, validasi.
Validasi diperlukan untuk meredam disonansi kognitif. Salah satu caranya: mengajak orang lain mengikuti jejaknya. Semakin banyak yang meniru, semakin kuat pembenarannya. Begitulah isu kabur aja dulu bekerja.
Beberapa diaspora yang saya lihat, mereka mengajak pengikutnya untuk mengikuti jejak mereka dengan konten perbandingan Indonesia dengan negeri barunya. Bahkan, tak jarang, ada yang lebay, seakan Indonesia adalah jamban mampet, padahal ya, di beberapa sudut, emang iya.
Tapi serius, narik perbandingan dari hal-hal kayak “omongan tetangga,” “santet menyantet,” atau “rekan kerja iri dengki” tuh bukan cuma malesin, tapi juga males mikir.
Perbandingan-perbandingan yang mereka buat, kebanyakan merupakan hasil cherry picking sehingga tidak bisa menjadi acuan yang akurat secara data untuk urusan kabur aja dulu. Contohnya, membandingkan kualitas pendidikan tanpa melihat konteks sosial, geografis, demografis, dan ekonomi yang sangat berbeda.
“Ketika membandingkan, banyak orang lupa bahwa penduduk Finlandia hanya 5 juta, sedangkan Indonesia ada 270 juta,” kata Dinda, pekerja startup di Jakarta yang pernah menempuh master di Finlandia.
Saya dan Dinda sedang berdiskusi soal pendidikan di Indonesia dan Finlandia. Sistem pendidikan Finlandia memang berbau wangi dan dianggap sebagai standar pendidikan yang adiluhung dan cocok untuk kabur aja dulu. Padahal pendidikan di Finlandia bukan tanpa cela.
Tidak ramah migran
“Sistem pendidikan Finlandia tidak dirancang untuk anak-anak imigran,” kata Samah Zain, imigran Arab Saudi di Finlandia, dikutip Yle.fi pada 2024. Setelah 8 tahun tinggal di Finlandia, Samah menemukan bahwa sistem pendidikan di Finlandia kadang menyulitkan anak-anak imigran untuk berkembang.
Anak-anak imigran yang tidak bisa berbahasa Finlandia dengan lancar akan dimasukkan ke sebuah kelas khusus. Menurut pengakuan Samah, pengajaran yang diberikan di kelas tersebut lebih lambat dibanding kelas reguler.
Bagaimanapun juga, Finlandia punya alasan kuat untuk merancang sistem pendidikan yang mengutamakan kebutuhan warga lokalnya. Sedangkan imigran? Mereka harus menyesuaikan diri atau tertinggal.
Melangkah, tapi jangan buta arah
Konten perbandingan 2 negara jadi semacam selimut tipis buat sebagian diaspora. Mereka membalut diri dengan cerita tentang bobroknya Indonesia dan gemerlapnya negeri baru, berharap hangat.
Keresahan mereka bisa disembuhkan oleh komentar-komentar dukungan kabur aja dulu. Validasi dari para pengikut itu mengendorkan syaraf, membuat keputusan mereka terasa sah. Tak ada lagi kegelisahan yang perlu dirawat. Tidur bisa lebih nyenyak, makan lebih enak.
Daripada mengonsumsi konten influencer diaspora, sebaiknya luangkan lebih banyak waktu untuk riset kabur aja dulu. Selain tetek bengek soal administrasi, bahasa, dan budaya, saya menyarankan untuk mempelajari kondisi politik negara tujuan.
Banyak aturan soal kesejahteraan sosial dan ketenagakerjaan bergantung pada keputusan politik. Contoh gampang: politik Eropa sekarang lagi geser ke kanan. Artinya? Kebijakan anti-imigran bakal makin kenceng.
Jangan nekat
Kenekatan adalah angin yang mendorongmu melompat ke laut. Tapi pengetahuanlah yang memastikan kau tak tenggelam di samudra gelap atau jatuh di sarang hiu.
“Kita bisa nyinyirin diaspora seperti ini mungkin karena kita tidak memutuskan menetap di luar negeri. Kalau kita hijrah ke sana, bisa jadi kita juga bakal butuh validasi kayak gitu. Mungkin, obrolan kita sekarang juga bentuk validasi. Validasi buat pilihan hidup kita sendiri,” tutup Dinda mengakhiri diskusi kami malam itu.
Ah sial, pernyataan Dinda itu terus menghantui pikiran saya sepanjang malam.
Penulis: Armandoe Gary Ghaffuri
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kerja di Jepang Bikin Kaya? Ah, Nggak Juga dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.