MOJOK.CO – Jogja memang menyimpan aura negatif bagi perantau dari Jakarta. Namun, Jogja juga mengubah saya menjadi pribadi yang lebih baik.
Nama saya Ifa. Saya lahir di Jakarta, tepatnya di Manggarai. Sejak lulus dari Sekolah Dasar, saya sudah “merantau”. Orang tua saya mengirim saya ke Bekasi untuk melanjutkan studi. Setelah selesai di Bekasi, saya hijrah ke Jogja.
Hingga saat ini, setelah 7 tahun, saya merasa lebih nyaman tinggal di Jogja. Dua kota ini, Jakarta dan Jogja, punya dua kemiripan, yaitu sama-sama hectic dan mobilitas masyarakatnya tinggi.
Untuk perbedaan saya merasakan satu hal yang sangat kontras, yaitu karakteristik masyarakatnya. Sebagai orang yang lahir dan besar di jakarta lalu merantau lama di jogja, saya merasakan perbedaan atmosfer yang kentara. Khususnya saat saya berkesempatan pulang ke kampung halaman.
Kilas balik awal mula perjalanan merantau ke Jogja
Kondisi masyarakat di tempat saya tinggal, hampir-hampir tidak jauh berbeda dengan cerita zaman jahiliyah di buku-buku sejarah yang saya baca. Bobrok.
Miris, memang. Karena lantaran itulah, 10 tahun silam, kedua orang tua saya memaksa saya untuk meneruskan pendidikan menengah di pondok pesantren. Sebuah pondok yang berada di bagian ujung utara Kota Bekasi.
Kalau kalian tanya mengapa harus pondok? Entah. Tapi, menurut pengamatan saya, pondok adalah satu-satunya pilihan terbaik bagi orang tua saya dalam ikhtiarnya mendidik saya. Di samping kedua orang tua saya yang sibuk bekerja, pergaulan lingkungan tempat saya tinggal, sangatlah rentan.
Dan setelah berhasil mengenyam pendidikan menengah selama tiga tahun, saya kembali dipaksa melanjutkan pendidikan menengah di sekolah yang sama. Hal itu jelas saya tolak. Alasannya sih sederhana.
Pasalnya, selama tiga tahun di Bekasi, saya merasa tak ada bedanya dengan di Jakarta. Maka saya memilih jalan alternatif dengan melanjutkan pendidikan di Jogja. Tepatnya di sebuah pondok pesantren yang terletak di Kota Jogja.
Nanti akan saya ceritakan betapa kerasnya Jakarta sampai-sampai saya bersikeras memilih hengkang.
Baca halaman selanjutnya: Aura negatif di Jogja.












