ADVERTISEMENT
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Beranda Esai

Blokir sebagai Panglima

Wisnu Prasetya Utomo oleh Wisnu Prasetya Utomo
17 Juli 2017
0
A A
Blokir sebagai Panglima

Blokir sebagai Panglima

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

Salah satu hal yang masih saya ingat ketika dulu ikut kuliah komunikasi dan resolusi konflik adalah kalimat ini: sebagian besar konflik di dunia berawal dari kesalahpahaman atau miskomunikasi. Prinsip ini berlaku tidak hanya untuk konflik antarnegara, tetapi juga konflik receh dengan rekan kantor, teman sepermainan, juga pacar.

Nah, ternyata ramai-ramai blokir Telegram beberapa hari belakangan kalau ditelusuri mulanya juga berasal dari kesalahpahaman. Singkat cerita, banyak teroris menggunakan Telegram untuk berkomunikasi satu sama lain. Kominfo katanya sudah minta Telegram buat memblokir kanal-kanal terorisme di platform-nya. Eh, ternyata email Kominfo tidak dibalas alias didiamkan oleh Telegram. Entah pesannya tidak sampai atau memang sengaja di-read aja.

Ketika tahu bahwa Telegram akan diblokir di Indonesia, CEO Telegram Pavel Durov via Twitternya kelihatan bingung, kok bisa mau diblokir padahal tidak pernah ada permintaan apa pun dari pemerintah Indonesia?

Beberapa saat kemudian, Pak Durov mengeluarkan rilis yang mengabarkan bahwa dia nggak sadar ada permintaan dari pemerintah Indonesia terkait konten terorisme. Saya menduga email dari Kominfo nyangkut di folder Spam Pak Durov, jadi dia nggak sadar. Email nyangkut di Spam memang problem umat milenial. Untung folder Spamnya belum dihapus.

Nah, sampai di sini, saya kembali ke kuliah komunikasi dan resolusi konflik tadi. Konon kabarnya, kalau ada dialog, kesalahpahaman dan miskomunikasi bisa diminimalisir. Dalam konteks blokir Telegram, apakah kesalahpahaman sudah bisa diselesaikan?

Barangkali iya, masalah sudah selesai dengan komitmen Telegram untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam membantu menangani terorisme. Semua tenang, nyaman, dan Telegram bisa diakses kembali. Tapi tunggu dulu, pemblokiran Telegram ini tidak bisa direduksi pada kesalahpahaman semata.

Baca Juga:

Berita Hoaks Pemilu Bertebaran, Begini Cara Mengenalinya MOJOK.CO

Berita Hoaks Bertebaran Menjelang Pemilu, Begini Cara Mengenalinya

10 Oktober 2023
Self Abuse yang Tidak Aku Sadari Setelah Melihat Media Sosial MOJOK.CO

Self Abuse yang Tidak Aku Sadari Setelah Melihat Media Sosial

9 September 2023

Saya melihat bahwa pemerintah terlihat sedang mempraktikkan prinsip blokir sebagai panglima. Cermati saja karena dalam waktu yang berdekatan, Menkominfo juga bilang bahwa ada kemungkinan pihaknya akan memblokir media sosial lain seperti Facebook, YouTube, Twitter, hingga Instagram jika tidak mau bekerja sama dalam menangani konten-konten radikalisme.

Blokir sebagai panglima ini tren yang bisa kita lihat selama usia pemerintahan ini.

Tahun 2015, Kominfo sempat memblokir 22 situs yang dianggap menyebarkan paham radikal. 2016, Tumblr juga mau diblokir karena dianggap menyebarkan pornografi. Sampai tahun 2016, Kominfo kabarnya sudah memblokir hampir 800 ribu situs. Sembilan puluh persen dari jumlah tersebut diblokir karena alasan pornografi. Dan sekarang, Kominfo mau bertindak lebih jauh dengan memblokir media sosial.

Rencana blokir besar-besaran itu katanya terkait konten terorisme. Dengan kata lain, blokir besar-besaran itu diproyeksikan sebagai kunci jawaban atas aksi para teroris menjadikan media sosial sebagai alat untuk berkomunikasi. Padahal menjadikan blokir sebagai panglima tentu bermasalah sejak dalam pikiran.

Saya kasih contoh. Telegram diblokir karena sering digunakan teroris untuk berkoordinasi. Tolong digarisbawahi, yang disasar adalah teroris dan pesan-pesan terorisme. Pertanyaannya, kalau kemudian Telegramnya yang diblokir, apakah pesan-pesan terorisme akan hilang? Tentu tidak. Yang ada, mereka yang bukan teroris dan menggunakan Telegram dengan baik-baik tentu akan jauh lebih dirugikan.

Itu ibarat memburu tikus di ladang dengan membakar ladangnya. Jangkrik-jangkrik di ladang yang bikin malam terasa syahdu juga akan terkena efeknya. Ladang pun rusak. Dengan logika Kominfo, panci semestinya diblokir karena bisa digunakan untuk membuat bom panci oleh para teroris. Telkomsel, XL, Indosat, Axis, dsb. juga harus diblokir karena sering mengirimkan SMS-SMS penipuan yang membahayakan banyak orang. Dan, Via Vallen juga mesti diblokir dari seluruh media sosial karena senyumnya yang, ah sudahlah ….

Jadi, buat saya blokir adalah sebentuk kemalasan dan minimnya kreativitas. Itu cara mudah dan paling gampang memang. “Lantas kalau tidak memblokir, solusinya apa dong? Jangan bisa mengkritik tanpa memberikan solusinya!” ujar netizen di sebelah sana. Netizen lain lagi bilang “Kasih solusi dengan karya dong!”

Memang susah hidup di Indonesia, setiap mengkritik harus disertasi solusi. Padahal kritik adalah bagian juga dalam mencari solusi. Tapi begini, akan saya kasih contoh cerita, bukan solusi sih. Di Jerman, Juni lalu parlemennya baru saja mengesahkan undang-undang yang isinya kira-kira memungkinkan pengadilan untuk mendenda platform media sosial seperti Facebook dan Twitter apabila tidak mampu mengatasi konten hate speech dan hoax. Dendanya tidak main-main, bisa sampai 53 juta dolar (sekitar 7 miliar rupiah).

Media sosial yang bersangkutan dikasih waktu 24 jam buat menghapus atau memblokir konten tersebut. Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa platform media sosial wajib memberikan laporan per semester ke pemerintah terkait apa yang sudah mereka lakukan dalam menghadapi konten-konten kebencian dan hoax.

Sebelum jadi undang-undang, ada penelitian awal di Jerman yang menyebutkan bahwa Facebook dan Twitter tidak cukup berusaha buat menghapus konten-konten kebencian dan hoax di platformnya. Penelitian itu dilakukan kurang lebih setahun.

Jadi, kalau mau belajar sedikit saja dari Jerman, butuh proses untuk mencari solusi yang ideal sehingga tidak serta merta blokir selalu jadi solusi atas segala persoalan.

Tentu saja saya tidak sedang mengusulkan kita bikin undang-undang serupa. Poinnya adalah butuh upaya struktural untuk memecahkan problem penyebaran radikalisme dan terorisme melalui media sosial. Masalah yang kompleks tidak akan selesai dengan blokar-blokir saja.

Terakhir diperbarui pada 17 Juli 2017 oleh

Tags: BlokirKominfomedia sosialtelegram
Wisnu Prasetya Utomo

Wisnu Prasetya Utomo

Peneliti media, Dosen FISIPOL UGM, tinggal di Sleman. Plus masih jomblo, katanya.

Artikel Terkait

Berita Hoaks Pemilu Bertebaran, Begini Cara Mengenalinya MOJOK.CO
Kilas

Berita Hoaks Bertebaran Menjelang Pemilu, Begini Cara Mengenalinya

10 Oktober 2023
Self Abuse yang Tidak Aku Sadari Setelah Melihat Media Sosial MOJOK.CO
Kilas

Self Abuse yang Tidak Aku Sadari Setelah Melihat Media Sosial

9 September 2023
Belajar dari Sejarah, Twitter Nggak Akan Mati Begitu Saja karena Threads. MOJOK.CO
Kilas

Belajar dari Sejarah, Twitter Nggak Akan Mati Begitu Saja karena Threads

7 Juli 2023
johnny g plate mojok.co
Hukum

Harta Menkominfo Johnny G Plate yang jadi Tersangka Kasus BTS

19 Mei 2023
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Kaus Sponsor dan Nasib Jadi Anak Wartawan

Kaus Sponsor dan Nasib Jadi Anak Wartawan

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

Warung soto dekat Undip.MOJOK.CO

Curhat Warung Soto Pak Prie, Sempat Mendadak Sepi karena Tuduhan Telur Lalat di Menfess Mahasiswa Undip

8 Desember 2023
Stasiun Lempuyangan Jogja Bukan Lagi Stasiun Orang Miskin MOJOK.CO

Kasta Miskin Stasiun Lempuyangan Jogja yang Sudah Lebur dan Nggak Lagi Kalah dari Stasiun Tugu Jogja

6 Desember 2023
ganjar pranowo cari suara di masterchef indonesia

Netizen Sindir Ganjar Pranowo Saat Tampil di Masterchef Indonesia

5 Desember 2023
UGM ungkap bahaya manusia silver.MOJOK.CO

Pendapatan Manusia Silver Sehari Bisa Tembus Sejuta tapi Cairannya Punya Risiko Mengerikan

8 Desember 2023
Susahnya Memotret Perilaku Pemilih Generasi Z untuk Pemilu 2024

Susahnya Memotret Perilaku Pemilih Generasi Z untuk Pemilu 2024

7 Desember 2023
Suzuki XL7 Nyaman seperti Innova Reborn, Murah kayak Rush MOJOK.CO

Suzuki XL7 Nyaman seperti Innova Reborn, Murah kayak Mobil Rakyat Toyota Rush

7 Desember 2023
kecamatan depok sleman.MOJOK.CO

Geliat Kecamatan Depok Sleman dengan 24 Kampus dan Deretan Pusat Hiburan, Bisa Jadi Kabupaten Tersendiri?

9 Desember 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Liputan
    • Sosok
    • Geliat Warga
    • Kuliner
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Histori
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In