MOJOK.CO – Guru di sekolah alternatif ini berbagi pengalaman soal diskriminasi terhadap murid yang terjadi di sekolah-sekolah umum soal perbedaan tafsir dalam pelajaran agama.
Wacana penghapusan pelajaran agama di kelas mungkin sudah lama lewat. Kontroversinya pun mereda sesaat. Namun, kasus-kasus intoleran yang lagi-lagi terjadi di sekitar kita membuat saya kembali memikirkan hal ini; apa sebaiknya pelajaran agama tidak perlu diajarkan di sekolah umum?
Lho, lho, memang apa hubungannya?
Apa segitu berpengaruhnya pelajaran agama di sekolah umum dengan hilangnya sikap toleransi seperti yang saat ini terjadi? Apa sedemikian nggak signifikannya kurikulum pelajaran agama yang selama ini diterapkan di sekolah-sekolah umum? Apa sebegitu mubazirnya pembinaan agama melalui mata pelajaran agama yang diwajibkan di setiap jenjang pendidikan?
Sebelum lebih kusut dengan pertanyaan-pertanyaan saya sendiri, saya mau bernostalgia pada masa-masa duduk di bangku SD dulu. Saat itu, saya punya kawan, sebut saja namanya Masnin. Dia bukan ekstrak kulit manggis, ya. Karena kalau yang itu namanya Mastin.
Kawan saya si Masnin itu selain cerdas, salihah luar biasa. Sejak kelas dua SD sudah pakai jilbab. Meski pada zaman itu guru-guru kami di sekolah agak keras memprotesnya karena tidak sesuai dengan peraturan sekolah tentang tata cara berseragam di SD Negeri.
Waktu saya masih Iqra dua, Masnin udah hampir khatam Iqra enam. Saat saya baru bisa mencacah lewat kecrekan biji 100, Masnin sudah mahir berhitung pake sempoa dan paham betul konsep “kawan kecil-kawan besar”. Epiklah si Mastin, eh, Masnin itu!
Saat kelas tiga, saya berkesempatan duduk sebangku dengan Masnin. Saat itulah saya jadi tahu betul kebiasaan belajar Masnin. Lengkap dengan kelemahannya.
Pada saat saya sedang kagum-kagumnya dengan kejeniusan Masnin, suatu hari di jam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), saya dan kawan-kawan sekelas melihat pertama kali kegagalan yang dialami Masnin. Yang mengherankan kami sekelas adalah mengapa Masnin, si satu-satunya anak yang sudah fasih membaca Al-Quran itu, justru gagal di pelajaran agama yang menurut ukuran kami sangat dikuasai.
Usut punya usut, saat itu materi pelajaran agama kami adalah tentang salat. Dan, sudah beberapa pekan guru PAI kami meminta untuk menghafal sejumlah bacaan salat lengkap. Mulai dari bacaan iftitah sampai salam.
Dan hari di mana kami menyaksikan kegagalan pertama kali yang ditunjukkan oleh Masnin adalah ujian praktik ibadah yang mengharuskan kami mempraktikkan sejumlah gerakan salat dan bacaannya dengan baik. Masnin gagal karena ada beberapa bacaan salat yang tidak sama dengan kami.
Saat kami memulai doa iftitah dengan bacaan; “Allaahu Akbaru kabiiraw-walhamdu lillaahi katsiiran… dst”, Masnin mengawalinya dengan bacaan; “Allahumma ba’id baini wa baina khathayaya… dst”; sebuah doa iftitah yang asing untuk saya dan kawan-kawan sekelas ketika itu. Nilai ujian praktik ibadah Masnin tidak sesempurna nilai-nilai yang biasa dia raih di setiap mata pelajaran.
Kejadian itu membekas cukup dalam bagi saya, Masnin, dan kawan-kawan sekelas dulu. Saya sampai bertanya-tanya, memang Islam ada berapa? Mengapa bacaannya dengan bacaan saya berbeda, di ritus yang kami yakini sebagai pondasi agama kami.
Menyebalkannya, sejak kejadian itu, Masnin berubah judes. Dia kerap menyatakan bahwa apa yang kami pelajari di buku-buku teks sekolah sebagiannya keliru. Termasuk soal hafalan doa iftitah, doa qunut, tata cara khotbah Jumat, dan banyak hal lainnya di mana Masnin melakukan praktik-praktik yang berbeda dengan mayoritas kami.
Sampai jelang lulus SD, Masnin tetap cerdas dan salihah. Tapi sayang, kami sekelas jadi sering memusuhinya karena terdorong rasa sebal dikata-katai; “Ih, kamu Islamnya nggak bener. Masa nambah-nambahin bacaan begitu!” olehnya yang melengkapi perkatannya dengan mimik muka sok tahu.
Saya dan kawan-kawan sekelas bahkan kerap menyebut justru Masnin lah yang agak menyimpang karena punya praktik ibadah yang berbeda dengan kami dan tidak ada di buku sekolah.
Bertahun-tahun kemudian setelah saya tahu ada begitu banyak perbedaan cara beribadah dalam Islam, saya agak menyesali pernah ikutan sebal dan memusuhi Masnin hanya karena dia berusaha menjalankan ritus agama Islam sesuai dengan apa yang dipelajari dan dibiasakan di rumahnya.
Kenangan saya tentang Masnin sudah lama berlalu. Sampai beberapa hari yang lalu, saya mendapat pesan dari salah seorang murid yang pernah saya ajar tiga tahun lalu.
Karena seingat saya ia beragama Kristen, setelah ia berbasa-basi soal kabar terbarunya dan hari-hari sekolah lainnya, saya pun pede saja membalas basa-basi darinya dengan bertanya soal persiapan Hari Natal yang akan segera ia rayakan. Sayang, saya dibuat kaget dengan jawabannya macam ini;
“Miss, aku Jehovah Witness, ya. Aku tidak merayakan Natal atau perayaan macam apa pun.”
Deg.
Seketika, Darren—sebutlah nama anak itu—menjelaskan dengan lancar tentang sekte Kristen yang dianutnya. Tentang ia dan jemaat lainnya yang meragukan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus karena di Alkitab tidak disebutkan secara pasti kelahiran Yesus.
Tentang bagaimana menjadi kristus justru bukan tentang merayakan semeriah mungkin kelahiran-Nya, tapi justru sebaliknya; bersimpel-simpel dalam perayaan.
“Tapi justru karena kami nggak merayakan Natal, kami seringnya dianggap Kristen yang kafir. Kami kayak dianggap nggak mengimani Yesus. Teman-teman di sekolahku sejak SD sampai sekarang juga gitu, Miss. Anggap aku bukan Kristen. Padahal yang kafir itu kan yang nggak bisa meneladani semangat kesederhanaan Yesus dengan…”
Kalimat Darren selanjutnya adalah pandangannya tentang ritus-ritus ibadah seorang Kristen yang keliru.
Sesungguhnya, sebagian yang dijelaskan Darren pada obrolan kami itu tidak saya pahami betul. Tapi saya juga jadi de javu karena penjelasannya jadi mirip-mirip seperti sebagian pemeluk Islam yang mengharamkan perayaan Maulid Nabi karena Rasulullah tak mengenal ulang tahun, apalagi perayaannya.
Namun saya menduga, inti ajaran sekte Saksi-Saksi Yehuwa yang dianutnya bukan sekadar tentang tidak merayakan Natal. Ada banyak hal fundamental lainnya yang membedakan antara praktik ibadah sektenya dengan pemeluk Kristen pada umumnya.
Sampai di sini, berkaca pada kenangan tentang Masnin dan diskusi bersama Darren, saya merasa bahkan untuk mengakomodir ritus ibadah umat yang satu agama saja, kurikulum pelajaran agama di sekolah masih tertatih-tatih.
Saya jadi berhenti pada satu kesimpulan bahwa suara rakyat adalah suara mayoritas. Maka, kurikulum sekolah untuk pelajaran agama hanya akan menyajikan materi-materi pemeluk Islam mayoritas, pemeluk Kristen mayoritas, pemeluk Katolik mayoritas Hindu mayoritas, dan pemeluk Buddha mayoritas.
Kalau sudah demikian, bagaimana pelajaran agama di sekolah dapat mengakomodir nilai-nilai persamaan antaragama sehingga yang terajut adalah tenun kebangsaan toleransi antarumat? Bagaimana pelajaran agama di sekolah bisa menemukan benang merah kisah Nabi Ayyub sang penyabar seperti versi Al-Quran dan versi Alkitab, misalnya? Toh, kesabarannya punya nilai-nilai universal yang dapat diteladani oleh siapapun, baik si Muslim maupun si Kristen.
Keterbatasan sumber daya pendidik dan masalah kualitasnya, luasan kurikulum, dan banyak hal lainnya menyebabkan sesama pemeluk agama yang sama saja masih harus tergagap-gagap belajar bagaimana mempraktikkan toleransi saat mazhab, tafsir, dan perspektif yang diajarkan di sekolah berbeda. Apalagi yang keyakinannya tidak sama.
Pada kasus kawan SD saya tadi, tidak ada upaya dari guru PAI saya ketika itu bahwa doa iftitah yang dilantunkan oleh Masnin adalah sesuatu yang juga benar dan dapat diterima, meski ia tidak ada di buku teks sekolah.
Sehingga Masnin tidak perlu mengalami kegagalan yang menjadikannya malu hingga berubah jadi judes begitu. Pun, kami sebagai manusia-manusia kecil yang masih terbatas pengetahuannya tidak perlu memandang Masnin menjadi Muslim yang salah hanya karena salah satu bacaan salatnya tidak sama dengan kami.
Begitu pun dengan Darren. Sepatutnya, ia tak perlu dilabeli Kristen yang kafir hanya karena ia tidak merayakan Natal sebagai bentuk mengimani dan coba menjalani mazhab Kristen yang berlaku di rumahnya. Meski mungkin di sebagian besar buku teks pelajaran agama Kristen di sekolah mengajarkan tentang semangat Natal.
Perbedaan-perbedaan dalam melaksanakan ritus ibadah yang lebih spesifik akhirnya menjadi ideal jika domain pelajaran agama diserahkan kepada pendidikan yang diupayakan di lingkungan sekitar rumah. Saya sebut ideal karena pendidikan yang berlangsung di rumah durasinya lebih panjang.
Dalam kondisi yang normal, orang tua biasanya dapat ditemui anak sekurang-kurangnya 12 jam sehari, tujuh hari seminggu. Bukan hanya 2 jam seminggu. Kemasan pendidikan agama yang bersifat dogmatis seperti yang selama ini terjadi di sekolah dapat dihindari melalui contoh perilaku orangtua yang bisa diamati oleh anak setiap harinya.
Kalaupun orangtua memiliki keterbatasan pengetahuan agama yang dipeluknya, sehingga menyebabkan terbatas pula dalam memberikan pengetahuan agama yang mumpuni kepada anaknya, mereka bisa memutuskan untuk bermitra kepada masjid, gereja, pura, atau vihara, tanpa melupakan peran utamanya sebagai teladan laku-laku beragama bagi anak-anaknya.
Di sekolah, biarlah anak-anak bertemu teman-teman yang berbeda dengannya dan merayakan perbedaan tersebut dengan mempelajari sejumlah nilai yang sama. Agar keberagaman di Indonesia lebih meneduhkan. Tidak hanya bagi mereka yang beda agama, tapi juga untuk mereka yang tafsir agamanya berbeda.