MOJOK.CO – Menurut Pak Bambang Widjojanto atau akrab disapa BW, Pemilu 2019 adalah terburuk. Buruk pemilunya, bukan Prabowo dan Sandiaga sebagai peserta.
Jumat (24/4), pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno akhirnya resmi melaporkan kecurangan Pemilu 2019 ke Mahkamah Kalkunbakar, aahh maksud saya Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan mereka diserahkan ke panitera MK oleh Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto (BW).
Kubu Prabowo diwakilkan oleh BW menyerahkan bukti-bukti kecurangan yang jumlahnya sangat banyak itu, 51 buah, sebagian berupa link berita. Selain menyerahkan bukti-bukti kecurangan, BW melontarkan sebuah pernyataan yang sungguh menarik. Mantan Ketuka KPK itu menyebut Pemilu 2019 sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia berdiri.
Menurut BW, pemilu paling bagus terjadi di awal Perang Kemerdekaan, yaitu Pemilu 1955. “Inilah pemilu terburuk di Indonesia selama Indonesia pernah berdiri. Yang paling mengerikan kalau menggunakan standar pemilu 1955, itu menjelaskan bahwa pemilu yang paling demokratis terjadi ketika awal kemerdekaan.”
Hingga tiga hari kemudian, pernyataan BW itu masih menjadi bahan tertawaan. Banyak orang, termasuk KPU yang mencibir pernyataan itu. Bahkan KPU menyebut pengacara Prabowo untuk kasus kecurangan Pemilu 2019 di MK itu ahistoris.
“Pernyataan Mas BW yang menyatakan bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia merupakan pernyataan yang ahistoris, serta tidak didasarkan pada data dan argumen yang jelas,” kata Pramono Ubaid Tantohwi, Komisioner KPU.
Cibiran untuk BW juga berasal dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Adalah Dedek Prayudi, Juru Bicara PSI, menyebut “yang terburuk” itu bukan Pemilu 2019, melainkan peserta pemilunya, atas nama Prabowo dan Sandiaga Uno. “Bukan, Pak. Bukan Pemilu 2019 yang terburuk tapi Prabowo – Sandi lah peserta Pemilu terburuk sepanjang sejarah,” cuit Dedek.
Lho, ini kenapa malah Pak Prabowo dan Sandiaga disebut sebagai peserta terburuk? Apakah karena enggan mengakui kekalahan dari pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin? Ketahui ya, Pak Dedek, tidak ada orang di luar sana yang suka dengan kekalahan. Apalagi kalau sudah ia rasakan berkali-kali.
Tenang Pak BW, menerima kekalahan itu memang bukan perkara mudah. Nggak usah munafik, deh, kalian. Apalagi kalau kalian itu kalah berkali-kali. Oleh sebab itu, ketika Pak Prabowo nggak mau menerima kemenangan Jokowi begitu saja, pada titik tertentu, kalian ya nggak bisa menyalahkan beliau sepenuhnya.
Ingat ya, pada titik tertentu, bukan semuanya. Untuk semua orang yang berkompetisi, ya politik, ya olahraga, ya di pendidikan, tidak ada (orang yang niat berkompetisi) yang mau kalah. Atau untuk mereka yang tetap bisa bersikap profesional ketika “tidak mau menerima kekalahan”.
Soal kata “ahistoris”, Pak BW dianggap nggak peka dengan sejarah karena mengeluarkan rezim Orde Baru dari perhitungan mencari pemilu terbaik dan terburuk. Padahal, di rezim Orba, pemilu berjalan sesuai “skenario” yang sudah diatur. Hmm, tenang, Pak BW, saya rasa mereka-mereka ini cuma bingung saja. Nggak pernah merasakan “Penak zamanku, to?”
Masak sih BW ahistoris?
Wah, nggak betul itu kalau rezim Soeharto memobilisasi pegawai negeri.
Mulanya para PNS dilarang ikut partai. Lalu pemerintah menerbitkan Kepres No.82/1971 tentang pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sebagai wadah satu-satunya bagi pegawai negeri. Korpri pun lalu dimasukkan sebagai bagian dari Golkar.
Partai berlambang pohon beringin itu menang mudah. Partai ini mengantongi 62,8 persen suara dan mendapat 236 kursi di DPR dalam Pemilu 1971. Urutan kedua ditempati Partai Nahdlatul Ulama dengan 18,6 persen dan 58 kursi di parlemen. Suara PNI, sebagai pemenang Pemilu 1955 malah amblas. Parpol yang dibentuk oleh Sukarno ini mendapatkan 6,9 persen suara dan 20 kursi di DPR.
Selanjutnya, PNI, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sejak 10 Januari 1973. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik ikut peleburan ini.
Meleburnya beberapa partai menjadi satu membuat Golkar tak tergoyahkan di Pemilu 1977. Pemilu kian tertutup dengan aturan baru yang hanya memilih partai. Nama calon-calon anggota parlemen yang akan dipilih tidak lagi dicantumkan.
Golkar menang telak (62,1 persen suara dan 232 kursi DPR), disusul PPP (29,2 persen suara dan 99 kursi DPR), dan PDI (8,6 persen suara dan 29 kursi DPR). Golkar dominan, Soeharto nyaman.
Masih ingat dengan pemilu 1982? Yang paling diingat orang adalah kampanye Golkar di Lapangan Banteng yang rusuh. Diduga, massa Golkar bentrok dengan massa PPP.
Isu yang berhembus, kerusuhan Golkar dan PPP itu direkayasa untuk mendiskreditkan Ali Sadikin, salah satu penandatangan Petisi 50.
“Insiden itu juga disebut-sebut untuk menjegal Ali Sadikin yang digosipkan akan menyalonkan diri sebagai presiden. Rekayasa kerusuhan Lapangan Banten itu tampak dari keterlambatan Ali Sadikin untuk datang ke Lapangan Banteng, tempat di mana ia akan berbicara sebagai juru kampanye Golkar,” tulis Viva.
Orde Baru kembali “memainkan” Pemilu 1987. Kontrol pemerintah dan ABRI dalam lembaga penyelenggara pemilu sangat kuat. Pemerintah menerapkan aturan lain yang diskriminatif tapi menguntungkan Golkar, misalnya larangan pembentukan cabang partai di bawah tingkat provinsi, pengurangan masa kampanye, dari sebelumnya 45 hari ke 25 hari, hingga pelarangan kritik terhadap pemerintah. Kritik ya, bukan hoaks atau ancaman rusuh seperti sekarang-sekarang ini.
Sekali lagi, tenang Pak BW. Mereka itu cuma nggak suka saja sama Pak Prabowo, yang bisa menerima kekalahan dengan lapang dada. Ya seperti sekarang ini, kalau nggak suka Prabowo, langsung dianggap cebong. Kalau mengkritik kebijakan Jokowi langsung dicap kelelawar tukang embat buah alias kampret.
Mereka ini asal menuduh saja. Siapa tahu, Pak BW itu hibernasi selama 32 tahun, selama Orde Baru berkuasa. Captain America saja bisa tidur selama 70 tahun, masak Pak Bambang Widjojanto enggak bisa. Lho, ini saya mengajak kalian semua untuk husnuzon, je.
Itu kemungkinan pertama. Kemungkinan kedua, bisa saja ada omongan Pak BW yang terpotong. Kalimat sebenarnya berbunyi demikian:
“Inilah pemilu terburuk di Indonesia selama Indonesia pernah berdiri (yaitu pemilu-pemilu selama zaman Orba). Yang paling mengerikan kalau menggunakan standar pemilu 1955, itu menjelaskan bahwa pemilu yang paling demokratis terjadi ketika awal kemerdekaan (dan di Pemilu 2019 ini).
Ilmu bahasa mengenal istilah lesap. Siapa tahu, kata-kata Pak BW juga lesap, disambar jin dan genderuwo, di mana kita selalu diingatkan bahaya jin dan genderuwo oleh Ki Amien Rais. Ohh, senja, ohh, Ki Amien Rais, weruh sak durunge winarah. Panutanqu uwuwu~
*Menjura….